Saat mendengar kata pemerkosaan, kamu mungkin berpikir hal itu hanya terjadi di antara orang asing atau orang yang tak dikenal. Namun faktanya, pemerkosaan juga kerap terjadi dalam sebuah hubungan, termasuk hubungan pernikahan.
Marital rape atau pemerkosaan dalam hubungan pernikahan adalah hubungan seks yang dipaksakan atau tanpa persetujuan salah satu pihak, tetap bisa disebut sebagai kekerasan seksual. Bahkan dalam sebuah pernikahan dan hubungan romantis, hubungan seksual yang dipaksakan merupakan bentuk kekerasan seksual dan itu tak bisa dibenarkan.
Lalu apa sajakah yang termasuk dengan marital rape dan bagaimana cara kita menyikapinya? Simak ulasannya di bawah ini.
1. Definisi marital rape
Menurut European Institute for Gender Equality, marital rape didefinisikan sebagai berikut:
"Penetrasi vagina, anal atau oral non-konsensual dari tubuh orang lain di mana penetrasi bersifat seksual, dengan bagian tubuh atau dengan objek apa pun, serta tindakan non-konsensual lainnya yang bersifat seksual, oleh pasangan atau mantan pasangan atau oleh pasangan saat ini dengan siapa korban perkosaan pernah atau telah hidup dalam kemitraan yang diakui oleh hukum nasional."
Selain itu, menurut USLegal, marital rape atau pemerkosaan dalam pernikahan adalah, "Setiap tindakan seksual yang tidak diinginkan oleh pasangan yang dilakukan tanpa persetujuan (consent). Terkadang, marital rape dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau intimidasi ketika persetujuan untuk berhubungan seks tidak diberikan."
Meski begitu, kekerasan seksual di dalam pernikahan juga tidak selalu melibatkan kekerasan. Misalnya, jika suami memberikan obat penenang kepada istrinya tanpa sepengetahuannya dan melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan sang istri, hal itu sudah termasuk pemerkosaan dalam pernikahan.
2. Marital rape bisa terjadi pada siapa saja
Kita juga perlu memahami bahwa marital rape bisa terjadi pada siapa saja, meski begitu faktanya di lapangan tak semua perempuan berani buka suara mengenai hal ini.
Berdasarkan data yang dikutip dari National Resource Center on Domestic Violence (NRCDV), sebanyak 10-14 persen perempuan yang menikah diperkosa oleh suaminya di Amerika Serikat (AS).
Sedangkan menurut catatan tahunan yang dipaparkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), perkosaan dalam perkawinan atau marital rape mencapai 195 kasus pada tahun 2018. Yang sebenarnya terjadi mungkin lebih banyak, hanya saja tidak dilaporkan.
Berdasarkan laman resmi NRCDV, ada beberapa kalangan yang dinilai rentan mengalami perkosaan dalam pernikahan. Mereka adalah:
- Perempuan yang menikah dengan laki-laki yang dominan dan memandang mereka sebagai properti
- Perempuan yang berada dalam hubungan yang dipenuhi kekerasan fisik
- Perempuan yang sedang hamil
- Perempuan yang sakit atau baru pulih dari operasi
3. Kenapa hal itu bisa terjadi?
Mungkin sulit bagi kamu memahami, kenapa pemerkosaan dalam pernikahan itu bisa terjadi, khususnya jika kamu atau orang terdekatmu yang menjadi korban. Jawaban untuk pertanyaan "kenapa?" ini bisa bermacam-macam, namun satu hal yang perlu kamu ingat adalah pihak korban adalah pihak yang tak bersalah.
“Pemerkosaan adalah tentang dominasi dan kekuasaan atas seseorang,” kata Charna Cassell, seorang terapis seks dan trauma di California, seperti dilansir Psychcentral.
“Meskipun tampaknya bersifat seksual, ini bukan tentang seks, bahkan di dalam suatu hubungan atau pernikahan. Sebaliknya, ini tentang pasangan yang percaya bahwa mereka memiliki hak untuk berhubungan seks, dengan atau tanpa persetujuan.”
4. Dampak fisik bagi korban marital rape
Bagi korban pemerkosaan dalam pernikahan, tentu akan merasakan dampak secara fisik. Menurut NRCDV, dampak fisik tersebut di antaranya, cedera pada daerah vagina dan anus, nyeri, memar, otot robek, laserasi (luka dalam atau sobekan pada kulit), kelelahan, dan muntah.
Korban yang menolak hubungan seks terkadang dipukuli dan bukan tak mungkin mengalami patah tulang, hidung berdarah, mata lebam, hingga luka akibat benda tajam.
Selain itu, tak jarang pula korban mengalami dampak dari sisi ginekologi, seperti peregangan vagina, radang panggul, infeksi kandung kemih, penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, keguguran, dan infertilitas.
5. Dampak psikis bagi korban marital rape
Tak hanya fisik, ada pula dampak psikis yang dirasakan korban pemerkosaan dalam pernikahan. Cara korban memandang seks, cinta, dan hubungan romantis tentunya akan berubah setelah dia mengalami marital rape.
"Hal itu akan membentuk trauma. Seperti pada semua jenis trauma, jika tidak dirawat, hal tersebut bisa mengarah ke masalah kesehatan mental dan psikis," kata Charna Cassell.
Beberapa dampak psikis yang mungkin dirasakan:
- Depresi
- Kecemasan
- Gangguan stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD)
- Selain itu, bisa juga korban merasakan kesepian hingga berpikir untuk menyakiti diri sendiri
6. Bentuk-bentuk marital rape
Berikut ini adalah bentuk-bentuk dari marital rape:
- Berhubungan seks secara paksa
Jika seorang suami melakukan penahanan, mendorongnya secara paksa, memaksa berhubungan seks dengan menyakitinya, maka itu merupakan tindak pemerkosaan. - Berhubungan seks saat merasa terancam
Jika mengalami pemaksaan seks melalui ancaman verbal yang melukai bahkan meluapkan emosi berlebih jika menolak. - Berhubungan seks dengan manipulasi
Jika seorang suami atau istri menuduh pasangannya bukan seseorang yang baik, memerasnya atau mengatakan bahwa dia sangat buruk di ranjang sehingga ia akan pergi ke tempat lain, maka itu jelas-jelas memanipulasi. - Berhubungan seks ketika tidak memberikan persetujuan bersama pasangan.
Jika seorang istri misalnya dibius, tertidur, mabuk, atau tidak sadarkan diri, jelas tidak dapat memberikan persetujuan. - Berhubungan seks dengan cara menyandera
Mungkin beberapa pasangan ada yang memposisikan menjadi superior dengan mengendalikan semua uang, membatasi berteman, bertemu keluarga, atau keluar rumah.
7. Cara meminta pertolongan
Kamu harus tahu, bahwa perempuan dilindungi oleh Undang-undang. Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan telah dibuat untuk memberi perlindungan terhadap kekerasan terhadap perempuan.
Jika terjadi kekerasan, paksaan, dan ancaman tanpa persetujuan kedua belah pihak, maka bisa dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Perlindungan hukum terhadap marital rape tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Korban bisa melaporkan pasangannya dengan landasan UU tersebut.
Pasal 1 angka 1 UU PKDRT menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan terhadap perempuan sebagai mana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU PKDRT dipertegas lagi dalam Pasal 5 UU PKDRT bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau, penelantaran rumah tangga.
Beberapa hal yang bisa dilakukan korban sebelum melapor ke pihak berwajib adalah mengumpulkan bukti, meminta batuan pada keluarga atau kerabat terdekat, dan melaporkan ke polisi. Jika belum berani melapor ke polisi, korban bisa melapor ke pusat layanan kesehatan terdekat atau lembaga bantuan hukum, agar pelaku bisa ditindak secara hukum.
Itulah beberapa hal yang perlu kamu ketahui mengenai marital rape atau pemerkosaan dalam pernikahan. Semoga hal ini tidak terjadi padamu, ya, Bela.