Kata "kiamat" biasanya dihubungkan dengan akhir dunia, tetapi suatu fenoman membawa Jepang pada keadaan menghadapi serangkaian krisis yang bisa diibaratkan sebagai "kiamat" bertubi-tubi.
Namun, "kiamat" yang dimaksud di Jepang lebih mengacu pada krisis tenaga kerja dan demografi yang semakin parah. Fenomena ini berpotensi mengarah pada penurunan drastis populasi Jepang asli di masa mendatang hingga mengancam keberlangsungan budaya dan masyarakatnya.
Penasaran dengan fenomena yang disebut sebagai "kiamat" ganda di Jepang ini? Dan, bagaimana tanggapan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi isu besar ini?
Kiamat populasi
Melansir dari CNBC Indonesia, data pemerintah yang dirilis menjelang “Hari Penghormatan bagi Lansia” pada September 2024 menunjukkan bahwa populasi penduduk berusia 65 tahun ke atas di Jepang telah mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah, yakni 36,25 juta orang.
Menurut Biro Statistik Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang, angka tersebut mencerminkan lonjakan kelompok usia lanjut yang secara ekonomi dianggap kurang produktif yang kini mencapai 29,3% dari total penduduk di negeri Sakura tersebut.
Dengan begitu, Jepang menempati posisi teratas dalam daftar negara yang menghadapi krisis demografi paling serius. Fenomena ini memicu kekhawatiran akan apa yang sering disebut sebagai "kiamat populasi," di mana terjadi penurunan angkatan kerja muda dan angka kelahiran.
Kombinasi faktor-faktor tersebut jelas mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial Jepang, serta memunculkan ancaman jangka panjang terhadap kelangsungan negara. Dampaknya, keseimbangan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi dapat memperparah krisis populasi di Jepang.
Dampak kiamat populasi
Pergeseran demografi dan kurangnya tenaga kerja telah menjadi kekhawatiran besar sebagai dampak dari krisis “kiamat populasi” yang serius di Jepang. Survei dari Teikoku Databank membenarkannya dengan data 51% perusahaan di berbagai sektor mengalami kekurangan karyawan penuh waktu.
Salah satu penyebab utamanya adalah para pekerja lanjut usia di kebanyakan perusahaan di Jepang telah mulai mengambil hak pensiun, meninggalkan banyak posisi kosong. Di sisi lain, jumlah pekerja muda yang diharapkan menggantikan mereka terus menurun, termasuk calon karyawan baru.
Kondisi mengkhawatirkan ini diperkirakan akan semakin memburuk berdasarkan data Institut Nasional Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial. Dalam kajiannya, proporsi lansia di Jepang akan mengalami peningkatan lebih tajam hingga mencapai sekitar 34,8% pada 2040.
Data tersebut menunjukkan kesimpulan yang tidak berbeda dengan penelitian terbaru dari Feldman di Morgan Stanley yang menunjukkan bahwa penurunan drastis dalam total angkatan kerja dari sekitar 69,3 juta pada 2023 menjadi hanya sekitar 49,1 juta pada 2050.
Upaya pemerintah
Menyadari dampak ekonomi dan sosial dari “kiamat populasi” di Jepang, pemerintah pusat telah mengambil langkah-langkah solutif, termasuk meluncurkan kebijakan untuk memberikan bantuan keuangan bagi keluarga yang membesarkan anak dan memperluas fasilitas penitipan anak.
Usaha tersebut ditujukan untuk mendorong peningkatan angka kelahiran, di mana pemerintah daerah membantu dengan mendukung aplikasi kencan publik yang bertujuan memfasilitasi pertemuan, pernikahan, serta membangun keluarga bagi masyarakat Jepang.
Sebagai tambahan, Pemerintah Jepang secara bertahap membuka peluang terhadap migrasi dengan jumlah pekerja asing mencapai rekor 2 juta orang pada 2024. Selanjutnya, pemerintah menargetkan penambahan 800.000 pekerja asing dalam lima tahun mendatang.
Diharapkan langkah-langkah tersebut dapat memberikan dampak signifikan dalam memperkuat pertumbuhan dan menjaga keberlanjutan negara Jepang di masa depan.