Perayaan Halloween yang harusnya penuh suka cita berubah menjadi kabar duka ketika banyak tubuh mendadak terjatuh di Itaewon, Seoul. Pada Sabtu (29/10/2022) lalu, tepatnya di sebelah landmark Hotel Hamilton, kerumunan massa bergerak ke gang sempit yang miring, menewaskan dan melukai ratusan orang.
Saat ini, Korea Selatan tengah memasuki masa berkabung nasional selama satu minggu untuk para korban. Sampai tulisan ini diunggah, diperkirakan ada 153 orang yang meninggal, 82 orang terluka, dan 19 orang lainnya masih dalam kondisi kritis. Polisi memperkirakan—malam itu—ada sekitar 100.000 orang berkumpul di Itaewon, merayakan Halloween pertama sejak pembatasan pandemi berakhir.
Kasus kerumunan atau gelombang massa yang menjatuhkan korban bukan pertama kali terjadi. Saat Astroworld Festival 2021 berlangsung di Amerika Serikat, terungkap ada 10 orang yang meninggal karena mati lemas setelah terinjak-injak. Belum lagi tragedi Kanjuruhan yang masih dalam tahap pemeriksaan, serta yang terbaru, 11 orang dinyatakan tewas dalam konser musik di Kinshasa, Republik Kongo, menurut laporan pada hari Senin (31/10/2022).
Namun, bagaimana kerumunan massa bisa menjadi begitu fatal?
1. Kekurangan oksigen di ruang sempit
Di tengah rasa panik, semua orang mulai berlari dan mengabaikan sekitar, tidak menyadari beberapa orang lainnya terinjak, dan terus mendorong agar dapat segera keluar dari situasi menakutkan itu. Akibatnya, beberapa orang mulai terjatuh akibat terdesak dan kekurangan oksigen.
Merangkum dari berbagai sumber, apa yang terjadi di Itaewon, Seoul, merupakan akibat dari lonjakan massa di tempat sempit sehingga banyak orang kekurangan oksigen. Menurut beberapa ahli, penyebab utama kematian dalam situasi mencengkam tersebut adalah mati lemas.
2. Tidak diberi ruang untuk bernapas
Menurut Steve Allen, seorang konsultan di Crowd Safety, ia menjelaskan jika di dalam kerumunan, orang pingsan dan bahkan mati saat masih berdiri bisa saja terjadi. Hal ini memungkinkan, apabila tubuh ditahan oleh banyak orang sehingga sulit untuk bernapas.
Profesor ilmu kerumunan di University of Suffolk di Inggris, G. Keith Still, menjelaskan apa yang terjadi ketika seorang terjebak di lonjakan kerumunan. Menurutnya, dibutuhkan 30 detik sebelum kehilangan kesadaran, sekitar 6 menit untuk mengalami asfiksia kompresif atau restriktif, dan berakibat mati lemas.
3. Kurangnya kontrol massa
Tentu ada banyak faktor yang membuat keadaan menjadi begitu sulit terkendali, salah satunya akibat kurangnya kontrol massa. Meski terdapat aparat keamanan, massa yang overload akan sulit dikendalikan dan berpotensi menjadi ancaman keselamatan bagi orang-orang yang hadir.
Mengintip kasus yang baru-baru ini terjadi di Tanah Air, salah satu festival musik yakni Berdendang Bergoyang kini tengah diusut oleh pihak kepolisian, sebab diperkirakan penonton yang hadir seharusnya 3-5 ribu namun polisi menemukan fakta jika acara tersebut dihadiri lebih dari 20 ribu orang di hari pertama dan kedua.
4. Ada pemicu yang membuat kerumunan menjadi panik
Tahun 2003, di sebuah klub malam di Chicago, penjaga keamanan menggunakan semprotan merica untuk membubarkan perkelahian. Akibatnya, 21 orang tewas akibat panik.
Belum lama ini, di Indonesia ada 131 orang yang tewas akibat tragedi Kanjuruhan—ketika gas air mata ditembakkan di dalam stadion yang mendorong orang untuk menyelamatkan diri dan berdesak-desakan di pintu keluar.
Menurut G. Keith Still, orang-orang meninggal bukan karena panik, “Mereka panik karena mereka sekarat. Jadi yang terjadi adalah, saat tubuh jatuh, saat orang-orang berjatuhan, orang-orang berjuang untuk bangun dan Anda berakhir dengan lengan dan kaki terpelintir bersama-sama,” tuturnya, melansir dari The Washington Post.
5. Keadaan mulai kembali 'normal'
Saat pandemi, acara-acara televisi berupaya membuat keadaan seakan-akan normal dengan memberikan efek suara tepuk tangan di latar belakang, serta tambahan standing picture di kursi penonton. Kini, setelah semua mulai berjalan normal, orang-orang mulai kembali ke keramaian untuk membebaskan diri setelah lama terkurung di dalam rumah.
Steve Allen dari Crowd Safety mengatakan bahwa penting untuk memantau kerumunan, terutama saat ini. Karena, massa meningkat setelah pandemi, melansir dari Public Broadcasting Service. Lonjakan tidak selalu terjadi karena orang lari dari sesuatu, terkadang mereka bergerak ke arah sesuatu.
Lantas, apa yang perlu kita lakukan jika tidak sengaja terjebak di dalam kerumunan massa? Jika kamu menyadari sedang berada di kerumunan yang berbahaya, usahakan untuk selalu berada di tepi dan menjauh dari dorongan di tengah keramaian.
Menurut Mehdi Moussad—ilmuwan peneliti di Berlin—ia menuliskan jika yang paling penting adalah mempertahankan keseimbangan agar tetap tegak untuk mengurangi risiko cedera, mencoba untuk tidak berteriak untuk menjaga oksigen, serta menjaga lengan setinggi dada untuk menjaga tulang rusuk.