Mercury Retrogade sepertinya sedang berpihak pada tim Popbela di hari pertama BNI Java Jazz Festival 2024. Konon dalam ilmu astrologi, Merkurius dikatakan menguasai berita, komunikasi, perjalanan, informasi, bahkan teknologi dan gosip. Tidak banyak hal yang berjalan lancar di hari Jumat tersebut.
Namun, berbeda pada perhelatan hari ketiga JJF 2024. Minggu (26/05/2024) angin terasa sejuk, cuaca sedikit mendung dan pendar matahari terasa lebih lembut.
Oke, ini waktunya menikmati panggung outdoor yang sebenarnya tidak banyak kami ketahui. Hitung-hitung, jadi lebih mengenal grup musik yang belum sampai ke telinga kami sebelumnya.
Nyore di MLD Spot Stage Bus dan Java Jazz Stage
Dua Empat menjadi band yang menemani pengunjung di area food court. Apalagi ketika baru sampai di venue, pengunjung lebih memilih untuk ngemil dan bersantai sejenak. smooth jazz yang lembut, menjadi pengantar yang santuy dari duo gitar Jazz, Alvin Ghazalie dan Misi Lesar tersebut. Sementara, vokal diisi oleh Marini Nainggolan, yang juga merupakan backing vocal untuk Raisa.
Bukan kaleng-kaleng, Dua Empat sudah meraih penghargaan Album Jazz Terbaik di AMI Awards 2023, lho!
Dari area food court, bergeser ke panggung outdoor besar, Java Jazz Stage. Terlihat komposisi big band yang sepertinya dari kawasan Asia. Mereka adalah Galaxy Big Band Jazz Orchestra, yang ternyata sudah berdiri selama 32 tahun di Indonesia. Mengaku amatir, personelnya sendiri adalah mayoritas ekspatriat Jepang dan sedikit Indonesia. Mereka memainkan berbagai macam lagu big band, terutama traditional swing seperti Count Basie, Duke Ellington Orchestra atau nomor Latin.
Jika menilik ke belakang, sore ini mengingatkan saya pribadi ketika venue Java Jazz baru pindah dari Jakarta Convention Center ke JIEXPO Kemayoran. Ketika musisi lokal dan internasional bisa berlalu lalang dengan bebas tanpa ada kerumunan penggemar. Bersantai hingga tertidur di barisan penonton, tanpa ada yang mengganggu. Sungguh sebuah sore yang santai dan menyenangkan.
Tentu ketika matahari mulai beranjak ke sebutan "senja", Tompi sudah lebih dulu menghangatkan suasana di Teh Botol Sosro Hall. Meski kami masuk bertepatan dengan lagu terakhir, "Menghujam Jantungku", namun kami tidak ketinggalan aksi brass section yang asyik dengan tabuhan gendang yang disusul oleh tabuhan drum, sebelum menutup acara.
Rasanya segan sekali dengan dokter bedah satu ini. Tidak hanya di dunia kedokteran, fotografi yang ciamik serta selera musik yang mampu membuat hall besar penuh dengan penonton, layaknya membuat Tompi seperti tidak memiliki kekurangan.
Malam yang lebih groovy
Bagi pencinta R&B, umumnya tidak asing dengan Maxwell, musisi sekaligus produser asal Amerika. Di Indonesia, kita punya Teddy Adhitya. Penyanyi pop dan R&B tersebut mengisi panggung MLD Spot Stage Bus, yang sepertinya sulit menampung antusiasme penonton terhadap pria kelahiran 21 Juni 1991 itu. Membawakan 11 lagu termasuk "Kini", "Let Me", Takkan Berpaling", hingga "Sumpah Mati" dan "Just You", Teddy mampu mengumpulkan penggemar baru yang turut berdesakan di depan panggung bersama para penggemar setianya.
Asyiknya malam terakhir JJF 2024 tidak lengkap tanpa kehadiran Project Pop. Turut merayakan 28 tahun berdiri sebagai squad, grup musik asal Bandung tersebut sukses memadatkan area outdoor sejak 15 menit sebelum jadwal mereka dimulai. Grup musik gen-X ini menjadi contoh bahwa penyampaian musik yang tepat, karakter yang kuat dan konsistensi karya, mampu menarik masa dari berbagai generasi, meskipun dengan atau tanpa materi baru.
Sebut saja "Tuwagapat", "Pacarku Superstar", "Dangdut is the Music of My Country" hingga rilisan tahun 1996 yang berjudul "Lumpia vs Bakpia" adalah nomor lama yang rasanya tetap relevan hingga kini.
Sungguh hari terakhir JJF 2024 benar-benar menyenangkan untuk didatangi. Tidak perlu terburu-buru memasuki maupun keluar hall. Pengunjung tertib dan makanan yang tersedia bagaikan festival jajanan tersendiri. Kami melihat audience begitu beragam, mulai dari generasi boomer yang menjadikan JJF 2024 sebagai ajang reuni, hingga generasi Alpha pun ada yang begitu bersemangat ingin menonton Laufey.
Bagaimana mungkin dari sekian banyak festival baru dengan target penonton mayoritas Gen-Z, Java Festival Production tetap bisa mempertahankan tahtanya sebagai pelopor festival jazz di Indonesia dan kini sudah menjadi festival jazz terbesar di dunia?
Seperti yang dikatakan oleh Dewi Gontha, selaku President Director Java Jazz Festival Production, "JJF mulai tahun 2005. So, by 2017, kami menyadari audience kami itu bertambah mature. Mulai banyak nama baru dan audience baru yang lebih muda," terang Dewi kepada Popbela.
"Lalu 2018 kami memang mengubah cara kami membuat program, cara pemilihan artis, materi komunikasi kami ubah. Jika dulu selalu dark dan materinya serba hitam, very conservative, namun setelahnya lebih berwarna. Sama pemilihan artis. Kalau kami belajar dari festival yang lebih tua pun, it's a combination of everything. It's not purely jazz, kalau ada festival jazz yang lain purely jazz, pasti ada satu, dua nama yang tidak di kategori itu. Nah, itu salah satu cara kami dari dulu yang ingin menarik anak-anak mudanya mau datang dulu, biar dengar dulu, sehingga terekspos dengan jazz dan menyadari bahwa jazz itu turunan dan varietasnya banyak. Sehingga, yang muda-muda ini dari 2018 sudah mulai datang, dan tercermin dari pembeli tiket sekarang udah mulai muda-muda usianya," tambahnya lagi.
Jadi, apakah kamu juga hadir di JJF 2024 kemarin, Bela?