Dalam Alternativa Film Festival, POPBELA berkesempatan langsung untuk mewawancarai Liza Surganova, sosok di balik perhelatan tersebut. Dalam wawancara ini, Liza berbagi cerita menarik seputar film, tantangan industri, hingga visi besar festival yang ia jalankan.
Alternativa Film Festival, yang berfokus pada karya-karya dari negara-negara Global Selatan, hadir untuk membuka mata dunia akan realitas sosial yang jarang tersorot. Tak hanya itu, Liza juga mengungkapkan bagaimana film mampu menjadi medium yang menginspirasi perubahan sosial dan budaya. Berikut lima fakta menarik dari perbincangan seru bersama Liza Surganova.
Alternativa Film Festival, lebih dari sekadar festival film
Alternativa Film Festival hadir sebagai platform untuk menyuarakan kisah-kisah yang selama ini kurang mendapat perhatian di panggung global. Liza mengungkapkan bahwa salah satu tujuan utama festival ini adalah memberikan sorotan bagi sineas dari Asia Tenggara, Asia Tengah, hingga Amerika Latin. Dengan menampilkan film-film yang membahas isu sosial, Alternativa Film Festival mengajak audiens untuk lebih peka terhadap realitas di berbagai belahan dunia.
Bukan hanya menampilkan film, festival ini juga menjadi ajang diskusi antara pembuat film, penonton, dan para ahli dari berbagai NGO. Melalui sesi diskusi tersebut, festival ini tak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga sarana edukasi dan kolaborasi. Menurut Liza, pendekatan ini membuat Alternativa lebih berdampak karena mendorong dialog dan aksi nyata.
Antusiasme penonton Indonesia yang mengejutkan
Meski baru pertama kali diadakan di Indonesia, Festival Alternativa berhasil menarik lebih dari 2.000 pengunjung. Liza bercerita dengan antusias tentang bagaimana beberapa sesi pemutaran film penuh sesak hingga penonton rela duduk di tangga. Menurutnya, hal ini sangat mengesankan karena film yang ditayangkan bukanlah blockbuster Hollywood, melainkan karya yang menyentuh isu-isu sensitif dan mendalam.
Antusiasme ini membuktikan bahwa penonton Indonesia memiliki apresiasi tinggi terhadap film berkualitas dan bermuatan pesan sosial. Mereka tak hanya datang untuk menonton, tetapi juga berdiskusi dan berbagi emosi setelah menonton. Bagi Liza, ini adalah sebuah pencapaian besar yang membuktikan bahwa seni dapat menyatukan orang dari berbagai latar belakang.
Pentingnya peran media independen bagi film dengan dampak sosial
Dalam wawancara, Liza menyoroti pentingnya media independen atau kritikus film dalam memberikan sorotan bagi karya-karya kecil yang sering diabaikan media arus utama. Baginya, media independen memiliki peran penting dalam mengangkat film-film berkualitas yang mungkin tidak memiliki "suara besar" di industri.
Kritikus film membantu audiens memahami mengapa sebuah film penting untuk ditonton dan bagaimana karya tersebut dapat mempengaruhi persepsi penonton.
Selain itu, Liza mengungkapkan bahwa media independen sering kali menjadi jembatan antara pembuat film dan penonton. Melalui ulasan yang jujur dan mendalam, mereka mampu memperkenalkan karya-karya tersembunyi kepada khalayak yang lebih luas. Dengan begitu, film-film independen dapat lebih dikenal dan diapresiasi oleh publik.
Dampak film dalam membuka wawasan dan membangun empati
Bagi Liza, salah satu kekuatan terbesar film adalah kemampuannya untuk membuka wawasan dan membangun empati. Ia bercerita tentang bagaimana film independen sering kali mengeksplorasi isu-isu kompleks seperti trauma masa lalu, kekerasan seksual, hingga konflik sosial.
Sebagai contoh, sebuah film tentang perempuan dengan albinisme di India berhasil menggugah perasaan audiens dan membuat mereka memahami realitas yang jarang diketahui.
Menurutnya, film bukan sekadar hiburan, melainkan medium yang dapat memicu percakapan penting dan mendorong perubahan sosial. Dengan menonton film dari berbagai negara, penonton belajar tentang budaya, tradisi, dan masalah yang dihadapi orang lain, serta bagaimana mereka bisa berempati dan menghargai perbedaan tersebut.
Tantangan besar bagi sineas independen
Liza tak menampik bahwa membuat film independen memiliki tantangan besar, terutama dalam hal pendanaan dan akses pendidikan. Banyak sineas di negara-negara berkembang kesulitan mendapatkan dana untuk membuat film yang berfokus pada isu sosial, karena karya seperti itu sering kali dianggap tidak menguntungkan secara komersial. Akibatnya, mereka harus mencari pendanaan dari luar negeri, yang tentunya membutuhkan sumber daya tambahan.
Selain itu, akses terhadap pendidikan perfilman berkualitas juga menjadi masalah. Program pelatihan dan sekolah film sering kali terkonsentrasi di kota-kota besar dan memerlukan biaya tinggi.
Melalui Alternativa Film Festival, Liza berharap bisa menawarkan solusi melalui hibah, program pelatihan, dan kolaborasi lintas negara agar para sineas independen bisa terus berkarya.