Terdengar klise memang, saat matahari disebut jawara cinta yang begitu putih, tulus karena selalu setia menggandeng sang pagi di setiap hamparan waktunya. Seperti aku yang menggandeng dia, tidak pernah lelah, tidak pernah surut. Sedang kamu, bagai rembulan yang bernafas tanpa henti di pekatnya sang malam. Tak perlu ditegaskan lagi, matahari dan rembulan bukanlah pasangan yang nyata, seberapapun mereka tenggelam dalam lumuran rindu yang tak berpura-pura. Matahari milik pagi, rembulan milik malam. Langit memberi jeda abadi di antaranya. Aku dan kamu tidak mungkin bersatu.
Before Sunrise/Warner Independent Pictures/www.cinemum.com
Tidakkah sang pagi dan malam menyadari, bahwa ada kekosongan di mataku dan kamu. Sinarku perlahan menipis di saat rembulanku merambat, akibat rindu yang tak bisa diingkari. Ya, matahari dan bulan, tak mungkin bertautan. Selalu ada jarak antara kita, yang mencabik hati, menyimpan rahasia terlarang tanpa jemu. Apalagi saat senjaku meretak-retak, hendak membelai, menuntun rembulan ke pecahan hatiku yang berpendar bersama sore.
Seumpama saja, sang waktu lengah dan mengabaikan tugasnya, mungkin kita akan bertemu, saling berbagi nafas ke bagian terintim tanpa perlu rundungan resah dari semesta. Namun, tentu saja melepas menjadi satu-satunya pilihan, agar kita dapat bertahan untuk kembali setia: aku pada pagi, dan kau malam. Sebab sebanyak apapun matahari mampu mencintai, mencintai pagi satu-satunya jalan yang diizinkan langit. Aku hanya bisa mengeja rasa rindu pada rembulan dalam 24 jengkal tiap hari yang kita bagi dua rata.