Menurut sensus BPS tahun 2010, Indonesia memiliki 300 kelompok etnik dengan sebanyak 1.340 suku bangsa. Banyak sekali bukan, Bela. Masing-masing suku memiliki aturan hidup tersendiri dalam bermasyarakat dan berbudaya.
Begitupun dnegan pernikahan. Tentu adat pernikahan antara etnik Jawa dan Sunda berbeda. Begitupun bagian Indonesia Timur. Pasti berbeda. Hal tersebut didasari perbedaan lingkungan, serta budaya turun temurun yang berbeda. Berikut beberapa larangan pernikahan dari beberapa adat di Indonesia.
Jika calonmu adalah asli Jawa, tentu keluarganya percaya bahwa memilih tanggal pernikahan itu merupakan suatu keharusan. Larang menikah di Bulan Suro memiliki alasan tersendiri. Menurut adat Jawa, Bulan Suro merupakan sebagai bulan keramat yang terkait dengan mitos adanya hajatan yang dilangsungkan oleh Nyi Roro Kidul sebagai penguasa Ratu Selatan. Jadi bila menikah di Bulan Suro, disinyalir rumah tangga kalian kelak akan tertimpa musibah.
Di Suku Tidong, para pengantin sengaja hanya diperbolehkan sedikit makan dan minum agar tidak pergi ke kamar mandi selama 3 hari 3 malam. Hal tersebut dipercaya menghasilkan pernikahan panjang, bahagia, subur dan jika melanggar akan mendapatkan nasib buruk.
Maksud dari Marboru Namboru/ Nioli Anak Ni Tulang yakni laki-laki boru (anak perempuan) dari Namboru kandung dan sebaliknya. Seorang perempuan tidak bisa menikahi anak laki-laki dari Tulang kandungnya.
Dilansir dari Gobatak, dua punggu saparihotan mengandung arti tidak diperkenankan melangsungkan pernikahan antara saudara abang atau adik laki-laki marga A dengan saudara atau adik perempuan istri dari marga A tersebut. Atau kakak/adik kandung memiliki mertua yang sama.
Sirih lamaran terdiri dari 5 macam yakni sirih, kapur sirih, gambir, pinang dan tembakau. Sirih melambangkan habis nafsunya, kapur sirih melambangkan sifat perempuan yang suci dan menerima, gambir melambangkan sikap pria bertanggung jawab, serta tembakau melambangkan mabuk cinta. Jika dilanggar dikhawatirkan akan memberikan pengaruh buruk pada pernikahan.