Untuk melepas penat banyak cara yang dapat dilakukan, salah satunya dengan traveling. Bagi sebagian orang, menganggap traveling merupakan hobi dan bahkan hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah profesi atau biasa disebut travel blogger. Nah, berbicara soal travel blogger yang terlintas dalam benak saya adalah Naya Anindita. Mendengar nama tersebut, nggak asing lagi bukan? Apalagi buat kamu pecinta traveling.
Awal mula saya mengetahui Naya (panggilan akrabnya) adalah pada saat dirinya menjadi host dalam travel show Jalan-Jalan Men di tahun 2013. Yup, di Jakan-Jalan Men Naya memperkenalkan berbagai destinasi yang menarik perhatian di wilayah Indonesia. Sehingga bertepatan dengan tema kampanye #IAMREAL yakni Journey Issue, saya menunjuk Naya sebagai narasumber di edisi tersebut.
Ketertarikan Naya terhadap traveling sudah timbul sejak dirinya kecil. Berawal saat sang ayah yang memutuskan untuk membeli sebuah rumah di atas bukit yang dekat dengan sawah dan sungai. Sehingga dirinya dan adik tercinta gemar berpetualang di sekitar rumahnya tersebut. “bayangin tiap minggu aku selalu main di sawah sama adikku. Bahkan aku random pernah pulang sekolah sore-sore gitu main di sawah sendirian.” Cerita Naya.
Sebelum pemotretan dimulai di kawasan Dharmawangsa, Jakarta Selatan perempuan yang juga berprofesi sebagai filmmaker ini banyak becerita mengenai pengalamannya saat traveling. Selama kurang lebih 1 jam dirinya membagikan kisah seru serta mengharukan kepada saya. Seperti saat dirinya melakukan solo travelling ke Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Dari excited sampai parno perasaan yang Naya alami. “Daerahnya gelap, terus ilalang-ilalang gitu. Waktu itu lagi on the way dari satu tempat mau pulang ke hotel, dianterin supir. Terus mobilnya pake acara mogok dulu dan aku sempet ‘aduh ini beneran mogok nggak sih. Tapi ternyata emang beneran mogok dan aku baik-baik aja.” Jelas perempuan kelahiran Bandung, 9 November 1988.
Selain itu, dirinya juga menceritakan suka duka menjadi travel blogger, pengalaman traveling yang berdampak positif, hingga cerita tak terlupakan ketika dirinya salah membeli tiket pulang saat mengunjungi Leh-Ladakh. Simak cerita lengkap Naya Anindita berikut ini ya, Bela!
Pengalaman pertama 'Solo Traveling'
"Pertama kali aku solo traveling tuh ke Wakatobi tahun 2010 akhir, saat usiaku 23 tahun. Karena aku ada kerjaan untuk bikin internastional film festival di Wakatobi. Namanya Indonsia Internasional dan Barimental Film Festival. Kebetulan, aku memiliki tugas sebagai festival manajernya jadi aku harus cek lokasi ketemu bupati, dan lain-lain. Akhirnya itu pertama kali dalam hidup aku pergi sendirian ke Wakatobi, yang traveling ya... Karena sebelumnya aku kuliah di Malaysia, jadi memang udah sering bulak-balik sendiri. Cuma, yang bener-bener jalan-jalan ke tempat unknown, ga ada siapa-siapa, ga ada yang aku kenal, literally sendirian itu Wakatobi."
"Tapi aku ngerasa ‘I think life is actually starts when you’re going out of your comfort zone’ gitu. Kayak baru berasa gitu ‘gila ini gua sendiri terus kalo ada apa-apa gimana, gua harus ngapain’, kayak gitu-gitu tuh baru kepikiran tuh ketika kita lagi traveling sendirian."
Pentingnya 'Solo Traveling' menurut Naya
"Quality time sama diri sendiri tuh sepenting itu sama halnya dengan quality time dengan orang lain. Karena pada akhirnya, mental health kita jauh lebih penting dibanding yang lain-lain. Karena ketika kita sehat secara jasmani dan rohani, hubungan kita dengan siapapun pasti akan sehat."
Destinasi favorit
"kalau di Indonesia, Labuan Bajo Flores sih masih nomor satu di hati aku.. Tapi kalo di luar aku suka Leh-Ladakh. Alamnya gila, itu kayak New zealand, Mars sama Grand Canyon di satuin.Tuh kayak gitu, bagus banget.. Berasa masuk dunia fantasi, bagus, nggak ingin pulang gitu. Orang-orangnya tuh baik-baik banget. Mereka lebih ke Tibetan gitu ya sebenernya. Jadi banyak Tibetan Refugee terus mayoritas agamanya Buddha, jadi banyak monastery gitu. Disana jadi ada satu gunung gede, lalu tiba-tiba ada monastery gitu warna putih dan ada lagi pinggir bukit, bagus banget."
Cerita tak terlupakan saat di Leh-Ladakh
"Suatu hari di Leh kita salah beli tiket. Harusnya udah pulang tanggal 2 Oktober, ternyata temen aku belinya tuh 2 November. Jadi kita udah checkout, di airport sempat kesal, karena banyak orang India yang nggak bisa ngantri jadi kita di serobot-serobot mulu. Udah nyampe depan counter check-in tiba-tiba kayak ‘petugasnya bilang kalau kita salah tanggal dan ‘Oh my God’, kita langsung lemes gitu. Pas banget saat itu semuanya lagi pada keluar dari Leh-Ladakh, karena Leh-Ladakh itu tutup Oktober. Jadi, flight yang keluar semuanya udah abis. Kalau pun ada itu tuh mahal banget untuk ke New Delhi."
"Akhirnya kita memutuskan untuk telepon Jikmet (Supir). Jikmet jemput lagi kita, terus kita dibawa lagi ke guest house, ketemu lagi sama travel guide yang mengantar kita namanya Lin, dia juga baik banget. Beliau bantuin nyariin tiket dan adanya buat besok, itupun kita harus transit berkali-kali. Jadi, beli tiketnya tuh tek-tokan gitu dari Leh ke Candigarh, dari Candigarh ke Srinagar, pokoknya kayak pindah-pindah flight gitu.. Terus dari Srinagar harus naik mobil lagi 8 jam, intinya super ribet gitu untuk kita bisa pulang. Terus kita dapat satu hari free nginep di situ dari Lin. Bahkan, mereka sempat bikinin farewell party gitu. Saat kita mau bayar mereka tidak mau, 'it’s not good buat bisnis kita kalo kita meminta bayaran dari orang yang kena musibah, jadi kita gak mau terima uang kamu’."
"Dia yang udah nge-booking semuanya dan karena itu tiba-tiba jadi harus ada uang untuk beli tiket extra charge gitu kan yang kita sebenernya ga ada budget untuk itu. Terus dia sempet bilang ‘yaudah tidak apa-apa, kalian saya beliin dulu aja. Nanti pas kalian udah di Indonesia, uangnya transfer aja’, terus dia bilang ‘It’s ok, I know you guys. Tapi aku bilang 'kita akan usahain untuk coba ambil uang’, akhirnya kita lunasin pada saat itu juga. Intinya sih dia mau sepercaya itu lho sama kita."
Hambatan yang pernah dialami
"Kalau aku sebenernya setelah di luar dari shooting Jalan-Jalan Men ya, kayak waktu aku ke India gitu kan itu budget aku sendiri gitu lho. Tidak ada sponsor jadi memang pure pakai uang aku sendiri. Jadi paling hambatannya ya gimana caranya supaya aku bisa ke tempat yang aku suka, ke tempat tujuan aku dengan budget yang seminim mungkin, semampu aku tapi juga nyaman traveling-nya. Itu paling hambatannya itu."
"Selain itu menurut aku tergantung traveling-nya sama siapa. Kalau pergi dengan kelompok yang menyenangkan, bagaiamana pun kondisinya akan tetap have fun. Even, shooting Jalan-Jalan Men pun ya paling hambatannya cuaca, karena shooting di alam tuh nggak akan pernah tahu, bisa tiba-tiba hujan. Kayak waktu itu mau shooting di air terjun dan ternyata air terjunnya ga bisa dikunjungi karena habis hujan dan air terjunnya meluap jadi nggak bisa dilewati karena bahaya. Sehingga harus mencari solusi lain kemana selain air terjun. Paling seribet-ribetnya itu, tapi pada akhirnya karena aku pergi dengan tim yang solid, happy, always have fun, positif."
Dampak positif yang Naya alami saat traveling
"Tanjung Puting, di Kalimantan. Ada penangkaran orangutan. Terus saat ke penangkaran orangutan, disana bisa ngobrol sama orang utan rangers gitu, jadi kita bisa tau berapa banyak orangutan yang dibunuh, dibakar sama palm oil, karena itu buat palm oil. Yang menarik, jadi aku bertemu dengan salah satu orang yang dulunya dibayar untuk membunuh orang utan. Tetapi akhirnya dia tobat dan menjadi orangutan rangers. Disana ramai dikunjungi orang barat, sedangkan orang Indonesianya saat itu cuma grup aku doang yang ke sana. Menurutku bagus banget sih, karena selama ini kita liat di tv doang masalah pembakaran hutan. Tapi kalo kita langsung ke sana nyaksiin langsung hutan-hutan kita, sedih banget..."
"Aku ketemu satu warga local namanya pak Lahajo, beliau tunanetra namun juga berpartisipasi sebagai orangutan rangers. Dan aku nanya ‘pak, gimana caranya?’, ternyata ia bukan buta dari lahir, melainkan karena penyakit. Aku tanya dia kenapa segitu maunya tergabung dalam orangutan rangers. Dia jawab simpel banget ‘yah mbak kita sesama makhluk hidup bukannya harus bantu ya? Dan kalo bukan saya, siapa lagi yang mau bantu?’ Mendengar ucapan tersebut, aku juga tergerak buat do something gitu. Itu trip yang impactful banget buat aku. Pulang dari situ aku nonton berita gunung Sinabung meletus, karena Pak Lahajo aku beneran do something, langsung pergi ke Sinabung berdua sama temen. Aku bikin charity-nya lewat twitter dan mencari informasi lewat twitter. Lalu, kita pergi ke Sinabung berdua, memberikan bantuan. Terus dari situ aku juga jatuh cinta sama kegiatan sosial. Ternyata aku juga nemuin kebahagiaan, hidup aku lebih berharga ketika bantuin seseorang. Aku mikir ‘kalo gue nggak ada, siapa yang membantu mereka’, aku ngerasa kayak gitu. Ketika kita ngebantu dan ketemu langsung justru membuat aku merasa hidup lebih berharga."
Tips jadi traveler a la Naya
"Pertama harus nekat, karena kadang kita banyak mikir 'duh di sana gimana ya'. Langsung aja nekat, diniatin dan langsung beli tiketnya meskipun itu buat tahun depan. Kamu bisa langsung nabung buat hotelnya dan uang selama disana. Nggak semahal itu kalo kamu tau caranya, lalu yang kedua kamu juga harus berani untuk coba hal-hal yang baru. Percuma juga kalo traveling kamu udah pergi kesana tapi nginep di hotel, kegiatannya di pantai, gitu-gitu doang. Menurut aku sayang. Karena harusnya saat travelling kamu harus coba explore tempat-tempat baru, lifestyle-nya gimana, budayanya ngobrol sama orang-orang di sana gimana, biar ada cerita juga yan akan merubah perspektif kamu."
Photo Credit:
Photographer: Yohan Liliyani
Makeup & Hair: Shella & Sari / Hello Beauty
Stylist: Geofanny Tambunan
Fashion Editor: Michael Richards
Wardrobe: Oversized bag Raf Simons, topi milik stylist, kemeja, celana dan sepatu milik model