Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta masyarakat untuk lebih aktif menyampaikan kritik serta masukan terhadap kinerja pemerintah. Hal tersebut, menurut Presiden Jokowi, penting agar penyelenggara pemerintahan dapat memperbaiki kinerjanya.
“Masyarakat harus aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan,” kata Jokowi dalam peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI yang diatangkan melalui YouTube Ombudsman, Senin (8/2/2021).
Hari ini, Selasa (9/2/2021) di tengah perayaan Hari Pers Nasional, Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga meminta agar media terus menyampaikan kritik pedas kepada istana. Menurut Pramono, kritik ibarat jamu untuk demokrasi yang lebih baik.
“Kita memerlukan kritik yang terbuka, pedas, dan kritik yang keras. Karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun dengan lebih terarah dan benar,” kata politikus Partai Demorkasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Benarkan pemerintah selama ini telah membuka pintu seluas-luarnya terhadap kritik dari publik?
1. Warganet banyak yang ogah mengkritik pemerintah karena UU ITE
Sontak pernyataan dua elite Istana itu menjadi bulan-bulanan publik. Penyebabnya adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap digunakan pemerintah untuk membungkam kritik di dunia maya.
“Publik sudah ndak percaya. Para pengkritik banyak dilaporkan dg menggunakan UU ITE,” cuit cendikiawan muslim Ulil Abshar-Abdalla melalui akun Twitter @ulil.
“Kritik saya: Bapak tidak dengar kritik!” kata Marco Kusumawijaya yang merupakan mantan Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
“Ahhhh yang bener, Pak?” kelakar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu, sembari mengunggah poster yang berisi salah satu kasus pidana dengan UU ITE.
Kelakar yang sama juga diutarakan @Notalislimboy, “Hati-hati jebakan betmen.”
Cibiran juga disampaikan oleh Kate Walton, warga Australia yang bekerja sebagai staf USAID. “Aku aktif sampaikan kritik dan masukan, kok, malah dideportasi dan dicekal,” tulis dia melalui @waltonkate.
2. Sejumlah kasus jeratan UU ITE
I Gede Ari Astiana atau karib disapa Jerinx, salah satu personel band Superman Is Dead (SID), merupakan salah satu contoh bagaimana UU ITE bekerja. Jerinx keras dalam mengkritik pemerintah dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena menolak aturan pembatasan sosial di tengah pandemik COVID-19.
Terlepas dari pro-kontra kritik yang disampaikan, Jerinx kemudian dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 UUD No. 19 Tahun 2016 tentang UU ITE. Dia divonis 14 bulan penjara.
Data SAFEnet menunjukkan, sekurangnya ada delapan jurnalis yang berurusan dengan ranah pidana atas tuduhan melanggar UU ITE pada 2019, salah satunya adalah Dhandy Laksono. Ada pula pegiat hak asasi manusia Ananda Badudu.
Musisi kondang Tanah Air sekaligus kader Partai Gerindra, Ahmad Dhani Prasetyo, juga divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada 2019 karena melanggar UU ITE.
3. Komnas HAM desak DPR untuk mengevaluasi UU ITE
Tuntutan untuk merevisi UU ITE telah digemakan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), mulai dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ICJR, SAFEnet, KontraS, Elsam, dan masih banyak lagi. Tuntutan serupa juga datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyayangkan karena korban dari pasal karet semakin bertambah.
“Semakin banyak laporan dugaan pelanggaran HAM terkait UU ITE. Ini bukan teknis lapangan, tapi ini ada problem di UU ITE. Sebelum nambah korban banyak sebaiknya DPR dan pemerintah kembali mengevaluasi UU ITE ini lagi,” kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, kepada IDNTimes.com beberapa saat lalu.
Disclaimer: artikel ini sudah pernah tayang di laman IDNTimes.com dengan judul "Gegara UU ITE, Masyarakat Ogah Kritik Pemerintah"