Dari Romusha hingga Jugun Ianfu, 7 Kekejaman Penjajahan Jepang

Singkat, namun sangat kejam

Dari Romusha hingga Jugun Ianfu, 7 Kekejaman Penjajahan Jepang

Mengaku sebagai "saudara tua", Jepang menjajah Indonesia sejak 1942. Tak lama, tapi penjajahan itu menoreh luka mendalam karena kekejamannya.

Masa pendudukan Jepang relatif singkat, yakni 3,5 tahun. Jauh lebih singkat dibandingkan Belanda yang berabad-abad. Namun, Jepang "berhasil" mengubah mimpi buruk menjadi nyata. 

Berikut beberapa kekejaman yang disarikan dari berbagai sumber. 

1. Tak lama setelah Jepang menduduki Banten, makanan, obat-obatan, pakaian dan berbagai barang kebutuhan lainnya menghilang dari pasar

Dari Romusha hingga Jugun Ianfu, 7 Kekejaman Penjajahan Jepang

Saat tiba di Tanah Air, Pasukan Jepang mengawali penjajahan dengan mengaku sebagai "saudara tua" untuk mendapatkan simpati dari rakyat Indonesia. Tak hanya itu, janji kemerdekaan juga digemborkan di awal kedatangan untuk memperoleh kepercayaan rakyat.

Namun, semua kebaikan itu hanya berlangsung sebentar saja. Tak lama setelah Jepang menduduki Banten, makanan, obat-obatan, pakaian dan berbagai barang kebutuhan lainnya menghilang dari pasar.

Akibatnya, rakyat pun sangat menderita. Mereka terpaksa makan seadanya dan mengenakan karung goni sebagai alat penutup tubuh. Belum lagi jika sakit, tak ada obat yang bisa diakses, sehingga rakyat menggunakan tumbuh-tumbuhan herbal seadanya. 

2. Romusha

Ini adalah kekejaman Jepang paling dikenal luas, romusha! Pasukan Jepang memaksa rakyat, terutama para petani, untuk mengerjakan berbagai hal. Mulai dari terjun ke medan perang, hingga membangun berbagai benteng dan penjara.

Para pekerja romusha pun direkrut dengan paksa. Setiap kepala daerah harus menyetorkan data laki-laki usia produktif, setelah itu mereka akan dipanggil untuk menjadi romusha. Saat panggilan datang, keluarga harus merelakan mereka karena sering kali para pekerja tersebut tidak kembali lagi ke rumahnya.

Setelah menjadi romusha, mereka akan diberi pakaian "seragam" berupa karung goni yang berkutu. Setiap hari para pekerja paksa itu harus melakukan tugas yang berat tanpa istirahat dan makanan yang cukup. Tubuh mereka pun kurus dan lemah, namun tetap harus bekerja dengan berat.

Para tentara Jepang pun mengawasinya setiap waktu. Cambuk, pentungan logam dan berbagai senjata siap untuk diayunkan kapan saja ketika ada romusha yang melawan, berusaha melarikan diri, atau mencuri waktu istirahat. 

3. Jepang membangun penjara-penjara yang tidak manusiawi. Salah satunya, Lawang Sewu

Jepang juga terkenal dengan penjara-penjaranya yang tak kenal ampun dan tidak manusiawi. Salah satu contohnya adalah penjara bawah tanah yang ada di Lawang Sewu, Semarang, Jawa Tengah. 

Bangunan tersebut awalnya dibuat oleh pemerintah Belanda untuk kantor kereta api. Namun saat Jepang menguasai Indonesia, ia dialihfungsikan menjadi penjara. Terdapat dua macam penjara yang terkenal di Lawang Sewu, yakni penjara jongkok dan berdiri. 

Penjara jongkok dibuat seperti bak dengan tinggi 50 sentimeter. Para tahanan harus jongkok di dalamnya. Seakan tak cukup kejam, bak tersebut diisi air yang mencapai leher lalu ditutup dengan besi. 

Sementara penjara berdiri dibuat dengan ukuran 1 x 1 meter. Ruangan tersebut biasanya diisi oleh delapan orang. Para tahanan yang berasal dari pribumi maupun warga Belanda harus berdiri berdesak-desakan di dalamnya. 

4. Menyiksa dan membiarkan tahanan mati kelaparan

Penjara tak manusiawi tak cukup bagi Jepang. Mereka kerap membiarkan tahanannya mati kelaparan. Para sipir dengan sengaja tidak memberikan makanan kepada tahanan selama berhari-hari.

Ketika diberi pun, makanan tersebut tidak cukup untuk memenuhi nutrisi yang diperlukan. Ini terjadi karena penjajah Jepang menganggap penjara adalah tempat untuk menyiksa, bukan hanya menahan. Maka, tak heran jika banyak tahanan yang mati sebelum dieksekusi. 

Belum lagi, tahanan juga sering mendapatkan siksaan dari Kempeitai, polisi militer Jepang yang sangat sadis. Metode untuk menyiksa orang yang dipakai Jepang, mulai dari mencambuk, menggantung tubuh secara terbalik, hingga memukul dengan pentungan logam.

5. Dugaan para tahanan menjadi kelinci percobaan

Tak banyak yang tahu bahwa penjajah Jepang juga menggunakan senjata biologis untuk upaya memenangkan Perang Dunia II. Metode ini disebut sebagai operasi Unit 731 yang memiliki laboratorium di Harbin, Tiongkok. 

Mereka sering melakukan uji coba obat kimia, virus, dan bakteri terhadap manusia. Misalnya dengan menyuntikkan bakteri sifilis kepada perempuan hamil, meledakkan bom untuk melihat efeknya pada manusia, hingga membedah tahanan tanpa bius.

Walaupun menurut sejarah, orang Tiongkok yang sering menjadi "kelinci percobaannya", banyak ahli yang mengatakan bahwa Indonesia juga tak luput dari sasaran Unit 731. Dilansir Historia, salah satunya terjadi di markas romusha Klender, Jakarta. 

Sekitar tahun 1942-1943, ratusan pekerja paksa tiba-tiba ditemukan dalam kondisi yang kritis dan menunjukkan gejala tetanus. Hal yang sama ditemukan pada romusha Surabaya dan Kalimantan. Diduga Unit 731 terlibat ketika para tentara memberikan injeksi imunisasi kepada romusha. 

6. Tragedi Mandor Berdarah

Pembantaian yang paling tak terlupakan di masa penjajahan Jepang adalah Tragedi Mandor Berdarah yang terjadi di Mandor, Kalimantan Barat. Peristiwa ini terjadi pada 28 Juni 1944.

Diawali dengan rasa benci rakyat yang memuncak terhadap Jepang, munculah sebuah kelompok antifasisme. Mereka berencana untuk berpura-pura kerja sama dengan pemerintah Jepang. Kelompok tersebut terdiri dari generasi unggulan Kalimantan, mulai dari cendekiawan, politisi, hingga tokoh agama.

Jepang pun mengakomodasinya dengan membentuk Nissinkai, organisasi politik yang bertujuan untuk mendukungnya. Namun, tokoh di dalamnya diam-diam memata-matai pergerakan Jepang untuk melakukan serangan balik. 

Sayangnya, gerakan bawah tanah mereka ketahuan. Semua tokoh Nissinkai, keluarga, kerabat dan siapa pun yang terlibat di dalamnya diciduk. Dengan mata tertutup dan tangan terikat, mereka dibawa ke tempat tersembunyi dan dibunuh dengan cara dipenggal atau ditembak mati. Tercatat korban peristiwa ini mencapai ribuan orang yang terdiri atas generasi unggulan Kalimantan Barat. 

7. Budak seks (jugun ianfu)

Ini merupakan istilah yang diberikan untuk memanggil para perempuan yang dijadikan budak pelacuran paksa untuk tentara Jepang. Korbannya mayoritas berasal dari Korea, Malaysia, Tiongkok dan tak terkecuali Indonesia. 

Perempuan-perempuan itu dijemput paksa dari keluarganya dan ditempatkan dalam sebuah rumah yang disebut sebagai "rumah bordil". Tujuannya adalah untuk mempermudah tindak perkosaan di setiap wilayah yang didiami oleh tentara Jepang. Di dalamnya, tak hanya perempuan Indonesia, mereka juga menahan perempuan keturunan Tiongkok, Belanda, Prancis, dan Portugis. 

Para tentara akan datang setiap harinya untuk memperkosa mereka. Bahkan mereka juga tak ragu memukul, menampar dan bahkan menikamnya hingga mati ketika perempuan itu melawan. Suntik kontrasepsi yang tidak dilakukan secara steril juga sering dilakukan agar para jugun ianfu tidak hamil.

Dilansir BBC, tak terbayangkan betapa buruknya perlakuan tentara Jepang terhadap ianfu hingga mayoritas dari mereka mengalami kerusakan rahim. Pemerintah Jepang telah meminta maaf akan kejadian dalam Perang Dunia II ini. Namun, hal itu tentu tidak sebanding dengan luka fisik dan mental yang dibawa para penyintas ianfu seumur hidupnya. 

Disclaimer: artikel ini sudah pernah tayang di laman IDNTimes.com dengan judul "Dari Romusha hingga Jugun Ianfu, 7 Kekejaman Penjajahan Jepang" ditulis oleh Izza Namira

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here

























© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved

Follow Us :

© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved