Surfing, offroad, traveling sudah jadi bagian hidup David John Schaap sedari dulu, jauh sebelum ia dikenal sebagai presenter program traveling di stasiun televisi swasta. Bisa dibilang David punya ketertarikan dengan motor offroad karena tertular sang kakak. Ia tak takut meski harus jatuh terjerembab di lubang yang dibuat kakaknya sebagai jebakan ketika bermain motor offroad. Begitu juga ketika mau surfing, sejak SMP David rela naik bus umum sendirian dari rumahnya di Lembang menuju pantai Pangandaran. Di sana ia menanti gulungan ombak yang memacu adrenalinnya. Ya, David memang nggak punya rasa takut dan terkadang membuatnya tak sadar menantang alam dan berkata sompral.
Tapi kamu salah jika menilai karier David terjun ke dunia traveling dan hiburan berjalan begitu mulus, pun ia bukan sosok angkuh hanya karena sering menantang alam karena hobi ekstremnya. Sebab, sikapnya seketika berubah setelah ia terombang-ambing di tengah laut karena Tsunami menerjang Pangandaran pada 17 Juli 2006.
Simak cerita David yang harus merantau demi mengejar passionnya.
Perantauan Berbuah Manis
Semesta memang tak langsung menyambut keinginan David berkutat di bidang perfilman, dunia yang sesuai dengan ketertarikannya. Malahan, demi menuruti bapaknya untuk tetap kuliah di Bandung, David harus rela jadi mahasiswa desain produk dan menjadikan kampusnya sebagai ‘rumah kedua’, yap ia lebih sering menginap di kampus karena tugas kuliahnya harus dikerjakan dengan detil.
“Nah, setahun kemudian saya sampai stres gitu karena kan mau liburan ke laut tuh nggak bisa. Tugasnya tuh bikin nggak pernah pulang juga. Kan anak seni rupa harus tinggal di kampus juga. Ada selama satu bulan di kampus, paling pulang lima atau enam kali lah. Terus akhirnya wah ga bisa nih kalo kayak gini, jadi kurus gitu kan. Kayak penyakitan, yang jadinya jarang rokok jadi ngerokok. Yang tadinya ringan, jadi berat. Terus yang tadinya jarang ngopi, jadi ngopi. Yang tadinya kopi susu, jadi kopi item,” ucapnya sambil tertawa.
Tapi tekadnya mengejar passion memang masih hidup, akhirnya David nekat mendapatkan lampu hijau dari bapaknya untuk merantau di Bali seorang diri. Terlebih lagi Pulau Dewata ini jadi pusatnya para surfer mengadu ombak, pas banget dengan keinginan David.
“Teman rekomendasi ada kampus di Bali. Cuma satu tahun aja jadi anak desain grafis. Gue minta izin ke bokap, ya bokap kecewa sih tapi akhirnya gue dikasih kesempatan, uang jajannya dikurangin. Gue siap lah, yang penting bisa cabut, memang sejak lulus SMA maunya ke gunung dan laut, tapi kan jauh. Pengennya Bali lah,” ceritanya.
David memang nggak salah pilih, jika diibaratkan nih, Bali seolah membuka pintu lebar buat David untuk mengembangkan kemampuannya sebagai surfer, pehobi motor offroad, hingga the man behind the camera, walau dulunya harus numpang hidup di rumah teman dan nggak segan nyapu, ngepel, nyuci piring, bersihin kamar mandi, sampai mencuci mobil di kediaman temannya.
Seolah sudah mendengar keinginannya, semesta pun membuka jalan untuk David meniti kariernya. Dari jadi kameraman pribadi atlet surfer, lalu bekerja di Deus ex machina dan mendapatkan kepercayaan untuk membuat dokumenter, hingga mengerjakan proyek iklan Djarum sampai mengerjakan video klip temannya.
Setelah itu lah tawaran menjadi presenter traveling terbuka, yang tadinya jauh terjamah, jalan David menuju dunia perfilman pun jadi lebih dekat. Bahkan David nggak menyangka dengan pencapaian hingga seperti sekarang.
“Ya, nggak nyangka aja sih bisa sampe sini. Udah sampe posisi ini, like me right now? Di hidup sekarang bakal kayak gini. Unexpected aja sih. Dengan jalanin hidup dengan ikhlas pas kita achieve something itu yang bikin kita surprise bisa kayak gini. Experience itu paling penting dan jadi ilmu yang bikin kita bisa belajar,” ucap David yang punya keinginan ke Hawaii dan menjelajahi Eropa.
Tsunami dan Tato yang Jadi Pengingat Jalan Hidupnya
David memang mengakui kalau dirinya pernah menantang alam dan berbicara sompral. Apalagi ia yang punya hobi ekstrem ini nggak punya rasa takut. Tapi semua itu seketika berubah ketika tsunami menerjang Pangandaran di tahun 2006. Ia yang tadinya sangat menanti ombak lebih besar ketika surfing, langsung tunduk dengan ciptaan sang Maha Esa. David yang saat itu berada di kapal sampai semalaman terombang-ambing ombak di tengah laut akhirnya selamat berkat pertolongan nelayan.
“Pas pagi-paginya, aku dan teman-teman baru sadar ternyata yang di Pangandaran itu tsunami. Nah dari situ aku belajar, karena sebelumnya aku agak sedikit sompral, lagi pengen surfing gitu, mana sih ombaknya? Kurang gede nih, gitu. Akhirnya pas dikasih gede, buset! Pengalaman emang penting,” ucapnya sambil tertawa miris.
Tsunami memang menjadi teguran buatnya dalam bertindak, bahkan David pun mempunyai tato di pergelangan tangannya sebagai tanda pengingat dalam menjalani hidup. Kedua tato berbentuk lingkaran di lengannya menunjukkan grafis yang berbeda, makna masing-masing tato pun bercerita soal pegangan hidup dan berkaitan dengan hobinya. Salah satu tato berbentuk satu mata pun punya arti yang berbeda.
“Emang mirip, tapi tolong ya, tato di tangan kiri ini bukan iluminati, maknanya life and adventure. Kalau yang satu mata ini artinya misalnya kita masang target kalo pegang sniper gitu kan pake satu mata. Dan kita harus satu target, hidup itu kayak gitu. Lalu kenapa ada sunrise dan garis-garis, karena sunrise dan matahari itu indah dan bisa menghangatkan, maknanya rendah hati, gitu lah. Nah kalo garis ini, kan gue suka video jadi di karier kita bakalan ada ups and down nya, itu bakal terus berputar. Lagi bagus ya bagus, kalo jelek ya jelek. Kalau tato sebelah kanan bentuk kompas dan gear motor karena emang suka kendaraan roda dua. Maknanya kompas kan identik dengan penunjuk,” jelasnya.
Photo credit:
Photographer: Yohan Liliyani
Makeup & Hair: Shella & Sari from Hello Beauty
Stylist: Geofanny Tambunan
Fashion Editor: Michael Richards
Jacket: Topman
Pants, Shoes, camera, sunglasses: model own