Dalam rangka merayakan Hari Santri 2021, PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur mengadakan bahtsul masail atau diskusi pada Minggu (24/10/2021) lalu. Kegiatan tersebut berlangsung di kantor PWNU Jawa Timur, Jalan Masjid Al-Akbar Timur 9 Surabaya ini juga diikuti utusan dari sejumlah pesantren.
Dalam diskusi tersebut ada dua pokok topik yang didiskusikan, antara lain tentang cryptocurrency atau mata uang digital dalam pandangan fiqih serta telaah UU No. 1/PNS/1965 tentang penodaan agama.
Dari hasil diskusi tersebut, dikeluarkanlah fatwa bahwa cryptocurrency sebagai alat transaksi adalah haram. Lantas apa yang menjadi dasar dikeluarkannya fatwa tersebut? Berikut penjelasannya.
Proses diskusi bersama ahli cryptocurrency
Dalam kegiatan bahtsul masail tersebut, juga turut menghadirkan utusan dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) dan beberapa pesantren se-Jawa Timur. Tak hanya itu, tim ahli cryptocurrency juga diundang untuk menjelaskan kronologi perihal praktik yang benar dalam penggunaan cryptocurrency.
Kegiatan diskusi berlangsung sangat dinamis. Proses tanya jawab disampaikan dengan referensi otoritatif dan valid, serta bisa dipertanggungjawabkan. Dalam perjalanannya juga sempat terjadi perdebatan panas antar musyawirin dan perumus.
Keluarkan fatwa cryptocurrency haram
Setelah perdebatan dan diskusi panas, PWNU pun akhirnya memutuskan bahwa hukum penggunaan aset kripto sebagai alat transaksi adalah haram. Pasalnya, hal tersebut bakal menimbulkan sejumlah kemungkinan yang bisa menghilangkan legalitas transaksi.
“Para peserta bahtsul masail memiliki pandangan bahwa meskipun crypto telah diakui oleh pemerintah sebagai bahan komoditi, tetap tidak bisa dilegalkan secara syariat,” kata Kiai Azizi Chasbullah, selaku mushahih, seperti dikutip dari situs NU Jatim, Kamis, 28 Oktober 2021.
Ia menyebutkan salah satu pertimbangan keputusan fatwa haram itu adalah ada risiko penipuan dalam transaksi tersebut. “Atas beberapa pertimbangan, di antaranya adalah akan adanya penipuan di dalamnya, maka dihukumi haram,” tuturnya.
Dianggap tidak sesuai dengan kitab-kitab fikih dan seperti berjudi
Dalam pembahasan itu, peserta musyawarah juga menganggap bahwa cryptocurrency tidak memiliki manfaat secara syariat sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih. Crypto juga dianggap lebih banyak memiliki unsur spekulasi dan tidak terukur.
Dalam acara yang dihadiri para kiai dan sejumlah ahli hukum Islam itu, disimpulkan bahwa crypto tak memenuhi unsur jual beli, dan justru cenderung mengandung praktik penipuan dan perjudian.
"Jadi secara fikih, jual beli itu harus ada kerelaan dan tidak ada penipuan. Tapi dalam crypto itu orang lebih banyak tidak tahu apa-apa, orang itu terjebak, ketika tiba-tiba naik karena apa, turun karena apa. Sehingga murni spekulasi, mirip seperti orang berjudi," ujar Wakil Ketua PWNU Jatim, KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) dalam perbincangannya dengan media.
Akan dilanjutkan ke forum Muktamar PBNU
Cryptocurrency sendiri terdiri dari berbagai jenis dan berjumlah banyak. Hal ini juga disadari oleh PWNU, untuk ini perlu adanya kajian mendalam untuk menindak lanjuti fatwa tersebut. Keputusan bahtsul masail ini akan dibawanya ke forum Muktamar PBNU di Lampung, Desember 2021 mendatang. Pihaknya juga akan menyerahkan kajian NU Jatim ini ke pemerintah sebagai bentuk rekomendasi.
"Ahli-ahli mengatakan ada sekian ratus jenis. Mungkin ada yang benar, mungkin ada yang tidak benar, tapi ketika ada yang mengadung unsur spekulasi, ya itu judi dan tidak boleh," ucap Gus Fahrur.
Ini kata Al-Azhar dan MUI
Sebelum ramai tentang fatwa yang dikeluarkan PWNU, MUI dan Al-Azhar sendiri telah merilis pernyataan, poin atau telaah mengenai cryptocurrency, yang terkhusus di dalamnya adalah Bitcoin.
Pada 28 Desember 2017 lalu, lembaga Fatwa Darul Ifta Al-Azhar Mesir merilis kajian tentang Bitcoin. Menurut Al-Azhar, berdasarkan kajian Bitcoin itu berstatus haram secara syariat. Ditemukan unsur gharar, seperti sesuai istilah fikih yang mengindikasikan adanya keraguan, pertaruhan (spekulasi), dan ketidakjelasan yang mengarah merugikan salah satu pihak.
Berselang satu bulan, MUI pun merilis 11 catatan tentang cryptocurrency dan Bitcoin. Dalam catatan tersebut, MUI menjelaskan Bitcoin memiliki dua hukum terpisah yakni mubah dan haram. Dapat dikatakan mubah jika digunakan sebagai alat tukar bagi dua pihak yang saling menerima.
Ini juga harus sesuai dengan hukum Islam, di mana harus dengan nilai yang sama.
7. Defini uang: "النقد هو كل وسيط للتبادل يلقي قبولا عاما مهما كان ذلك الوسيط وعلى أيّ حال يكون" "uang: segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun". Ini berdasarkan Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami, 1996, halama 178.
8. Fatwa DSN MUI Transaksi jual beli mata uang adalah boleh dengan ketentuan: tidak untuk spekulasi, ada kebutuhan, apabila transaksi dilakukan pada mata uang sejenis nilainya harus sama dan tunai (attaqabudh). Jika berlainan jenis harus degan kurs yang berlaku saat transaksi dan tunai.
9. Bitcoin sebagai alat tukar hukumnya boleh dengan syarat harus ada serah terima (taqabudh) dan sama kuantitas jika jenisnya sama. Jika jenisnya berbeda disyaratkan harus taqabudh secara haqiqi atau hukmi (ada uang, ada bitcoin yang bisa diserahterimakan).
Diqiyaskan dengan emas dan perak, semua benda yang disepakati berlaku sebagai mata uang dan alat tukar.
Sementara akan menjadi haram hukumnya bila Bitcoin digunakan sebagai investasi. Hal tersebut disampaikan oleh Prof. K.H. Muhammad Cholil Nafis, Lc., M.A., Ph.D. atau biasa disapa Kiyai Cholil yang merupakan Ketua Bidang Pengurus MUI Pusat KH Cholil Nafis.
10. Bitcoin sebagai investasi lebih dekat pada gharar (spekulasi yg merugikan orang lain). Sebab keberadaannya tak ada aset pendukungnya, harga tak bisa dikontrol dan keberadaannya tak ada yang menjami secara resmi sehingga kemungkinan besar banyak spekulasi ialah haram.
11. Bitcoin hukumnya adalah mubah sebagai alat tukar bagi yang berkenan untuk menggunakannya dan mengakuinya. Namun Bitcoin sebagai investasi hukumnya adalah haram karena hanya alat sepekulasi bukan untuk investasi, hanya alat permainan untung rugi buka bisnis yang menghasilkan.
Ini akan menjadi haram saat investasi karena Bitcoin diperlakukan sebagai alat spekulasi bukan investasi, dengan kata lain hanya menjadi alat permainan untung-rugi, bukan suatu bisnis yang menghasilkan.
Hingga saat ini belum ada fatwa resmi yang dikeluarkan mengenai haram atau halalnya cryptocurrency. Para cendekiawan muslim di berbagai dunia juga masih menelaah tentang crypcocurrency dan hukum Islam.
Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fahmi Salim menyatakan bahwa di dunia Islam belum ada fatwa khusus yang dapat dijadikan pedoman untuk bersama-sama menyepakati hukum uang kripto. Menurutnya secara pribadi, hukum mata uang kripto tergantung pada penggunaannya apakah digunakan untuk kebaikan atau kejahatan.
"Teknologi 'kripto' ini sebetulnya adalah bebas nilai. Kalau digunakan untuk melahirkan produk yang haram atau jasa yang haram, maka produknya haram. Kalau digunakan untuk menghasilkan yang halal maka produknya bisa tetap halal," jelasnya.
Akan tetapi, ia sendiri cenderung menghindari penggunaan mata uang kripto karena fungsi mata uang kripto belum diakui oleh negara sebagai alat tukar, timbangan ataupun komoditas. Belum lagi, angka fluktuasi mata uang kripto yang dapat berubah secara tajam dalam waktu singkat.
Itulah penjelasan mengenai fatwa PWNU yang menyatakan cryptocurrency haram.