Sudah tidak asing lagi bagi dunia mendengar kabar memilukan dari negara Korea Utara. Mulai dari bencana kelaparan yang sempat terjadi pada kurun waktu 1994 hingga 1998 dan muncul kembali pada 2002, hingga pemberlakuan hukum yang terkesan sangat tidak adil.
Salah satunya adalah sistem kerja paksa bagi terduga kejahatan di Korea Utara. Ironisnya, terduga kejahatan yang dimaksud adalah penduduk Korea Utara yang mengonsumsi hal-hal berkaitan budaya Korea Selatan maupun negara sekutu, seperti Amerika Serikat.
Tak pandang bulu, penetapan hukuman kerja paksa dapat diberikan kepada semua lapisan penduduk Korea Utara, termasuk anak-anak di bawah umur. Bahkan, pihak pemerintah Korea Utara tidak segan mempertontonkan hukuman tersebut secara publik.
Terbaru: dua remaja Korea Utara dihukum kerja paksa karena menonton drama Korea
Pada pertengahan Januari 2024, BBC Korea memperoleh sebuah rekaman video yang menunjukkan pihak berwajib di Korea Utara menjatuhkan hukuman kerja paksa selama 12 tahun kepada 2 remaja laki-laki atas kejahatan berupa menonton drama Korea Selatan.
Melansir dari bbc.com, rekaman video menunjukkan 2 remaja laki-laki berusia 16 tahun diborgol di hadapan ratusan siswa-siswi di sebuah stadion luar ruangan.
Diduga proses tersebut sengaja dilakukan secara terbuka sebagai peringatan keras bagi penduduk Korea Utara yang masih menyebarkan maupun mengonsumsi karya hiburan Korea Selatan, baik dalam bentuk foto, video, dan bukti kehidupan Korea Selatan lainnya.
Tidak tanggung-tanggung, rekaman yang diduga terjadi pada 2022 ini telah didistribusikan di Korea Utara dalam rangka melengkapi pendidikan ideologi Korea Utara.
Namun, pertanyaannya, seperti apakah sistem hukuman kerja paksa di Korea Utara?
1. Masa hukuman kerja paksa
Mengalami hukuman kerja paksa di Korea Utara akan terasa bagaikan seumur hidup, tetapi beberapa kasus yang mencuat ke permukaan publik menunjukkan adanya batasan waktu.
Melansir dari BBC, masa hukuman bagi pelaku kejahatan di bawah umur sempat berlangsung selama kurang dari 5 tahun. Namun, kasus terbaru yang diduga terjadi pada 2022 membuktikan adanya peningkatan dalam durasi hukuman kerja paksa.
Di sisi lain, kejahatan yang melibatkan warga negara asing dapat berujung pada hukuman kerja paksa selama 15 tahun. Hal ini terjadi pada 2013 saat Kenneth Bae, warga Amerika Serikat, terbukti melanggar aturan membawa materi keagamaan di Korea Utara.
Namun, berdasarkan laporan CNN pada 2015, kasus Pendeta Hyeon Soo Lim asal Kanada membuktikan bahwa masa hukuman kerja paksa dapat terjadi seumur hidup. Keputusan tersebut ditetapkan akibat tuduhan upaya menggulingkan pemerintah Korea Utara.
2. Jenis pekerjaan yang dilakukan secara paksa
Sesuai namanya, sistem kerja paksa di Korea Utara menuntut para pelanggar hukum untuk bekerja tanpa mendapatkan upah apapun dari pekerjaan yang diperintahkan. Kondisi ini terjadi di kwanliso, kamp-kamp penahanan dan/atau buruh di bawah otoritas penuh rezim.
Para tahanan diharuskan menjalani berbagai jenis pekerjaan paksa, seperti pertanian, konstruksi, dan manufaktur dalam kondisi yang keras dan tidak manusiawi.
Melansir dari CNN Indonesia, Kenneth Bae, warga Amerika Serikat yang telah bebas dari vonis hukuman kerja paksa selama 15 tahun pada 2013, mengungkapkan bahwa ia bekerja di tambang batu baru; mengangkut dan menyekop batu bara dari pagi sampai malam hari.
Pengalaman serupa juga dialami oleh empat mahasiswa di Korea Utara yang dihukum kerja paksa di tambang batu bara akibat ketahuan menggunakan aksen Korea Selatan saat berbicara lewat ponsel, berdasarkan laporan Radio Free Asia pada 2023.
3. Penyiksaan fisik dan mental
Perlakuan yang tidak manusiawi bagi pelanggar hukum di Korea Utara bukanlah rahasia bagi dunia, sebagaimana hal ini telah dibeberkan oleh banyak pembelot Korea Utara.
Melansir dari dw.com, pembelot Korea Utara Song Ju Kim, menceritakan pengalamannya ditempatkan di sebuah kamp penahanan untuk kerja paksa karena ketahuan melakukan upaya melarikan diri dari tanah kelahirannya, Korea Utara.
Di pusat penahanan tersebut, Song Ju Kim menyaksikan berbagai bentuk penyiksaan berupa pukulan, makanan tak layak, hingga makian. Ia sendiri mengalami paksaan untuk mengorek-ngorek kotoran tahanan lain untuk mencari uang yang diduga disembunyikan.
Tidak berhenti di situ, para tahanan harus merangkak seperti binatang.
Alasannya, “Para penjaga Korea Utara mengatakan kepada kami bahwa ketika masuk ke penjara ini, kami bukan lagi manusia, tetapi binatang.”
Meski begitu, informasi mengenai kamp tahanan maupun sistem kerja paksa di Korea Utara memang sulit untuk dikonfirmasi secara langsung. Pasalnya, negara tersebut membatasi akses dan keterbukaan dalam proses investigasi berbasis internasional.
Namun, pengakuan sejumlah pembelot Korea Utara, mantan narapidana, hingga beberapa bukti yang telah beredar cukup menyuarakan kondisi memiluhkan di negara tersebut.
Semoga akan datang waktu di mana kedamaian terjadi di Korea Utara dan seluruh dunia.