Meskipun bukan aspek utama, pekerjaan sering mendominasi kehidupan sehari-hari masyarakat. Terbukti, para pekerja cenderung menghabiskan sebagian besar waktu dan tenaga mereka di tempat kerja, dari pada bersama keluarga dan sahabat terkasih.
Tidak heran, budaya dan nilai-nilai di lingkungan kerja pun memengaruhi karyawan secara signifikan, baik perasaan maupun pola pikir. Dalam hal ini, lingkungan kerja yang sehat akan memberikan dampak positif, tetapi berbeda jika lingkungan kerja bersifat toxic.
Yup, masuk dalam lingkungan kerja yang toxic akan mengancam kesejahteraan mental seseorang, dan hal ini memengaruhi perasaan dan perilaku ketika menjalani peran di ranah kehidupan lain, seperti kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan lainnya.
Itulah mengapa, penting bagi para karyawan dan calon karyawan untuk memperhatikan lingkungan kerja secara bijak agar dapat mengantisipasi ataupun menghindari lingkungan kerja toxic yang merugikan dan menambah beban karyawan.
Namun, apa yang sebenarnya dimaksud dengan lingkungan kerja toxic dan apa saja ciri-cirinya?
Pengertian lingkungan kerja toxic
Dalam konteks perbandingan, lingkungan kerja toxic dapat dipahami dengan memahami lingkungan kerja yang sehat. Menurut WHO, mengutip dari djkn.kemenkeu.go.id, lingkungan kerja yang sehat adalah tempat di mana semua orang bekerja sama untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan pegawai serta lingkungan sekitarnya.
Dengan kata lain, lingkungan kerja yang sehat tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik, tetapi juga melibatkan budaya perusahaan dan sikap individu dalam menciptakan suasana positif. Alhasil, para karyawan dapat berkembang secara profesional, merasa dihargai, didukung, dan aman dalam menjalankan tugas mereka.
Sebaliknya, lingkungan kerja yang toxic malah mengacu pada tempat yang budaya maupun individu di dalamnya menciptakan keadaan kerja yang tidak sehat secara emosional atau psikologis. Tentu saja, ada banyak faktor yang memengaruhi dan semuanya dapat kita simak berdasarkan ciri-cirinya.
Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita pelajari ciri-ciri lingkungan kerja toxic di bawah ini.
1. Perilaku negatif pemimpin
Pimpinan memiliki peran kunci dalam menetapkan atau mencontohkan budaya organisasi, kebijakan, dan praktik di lingkungan kerja. Hal ini secara langsung memengaruhi kesejahteraan mental individu dan hubungan antarkaryawan dalam menjalankan tugas.
Apabila seorang pemimpin menggunakan kekuasaan atau perilaku yang merugikan, seperti intimidasi, tekanan, kritik yang tidak membangun, manipulasi, atau perilaku diskriminatif, maka dampak negatifnya akan dirasakan oleh semua karyawan.
Umumnya, perilaku negatif pemimpin dapat disebabkan oleh dua kepribadian negatif yang mendominasi, yakni narisis dan diktator. Keduanya menyebabkan kekurangan empati dan kemampuan emotional intelligence yang tidak stabil, padahal wajib dikuasai oleh seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya.
2. Persaingan yang tidak sehat
Setiap perusahaan melibatkan sejumlah individu yang sama-sama mengharapkan perkembangan karier atau promosi untuk mencapai tujuan masing-masing. Hal ini seharusnya menjadi metode positif yang memotivasi para karyawan untuk bekerja dengan maksimal.
Namun, dalam lingkungan kerja yang toxic, harapan tersebut justru menjadi landasan bagi para pekerja untuk menciptakan persaingan yang sengit dan tidak sehat, seperti membangun konflik, memperbincangkan kelemahan orang lain di belakang, menfitnah, dan melakukan tindakan negatif sejenis lainnya.
Masuk dalam kondisi tersebut, seseorang dapat menghadapi kesulitan untuk beradaptasi dan mempercayai rekan kerja. Tidak jarang karyawan mengalami keadaan, seperti panic attack dan cemas berlebihan akibat situasi yang mencengkam di lingkungan kerja.
3. Egois antarindividu
Dalam situasi persaingan yang sengit dan tidak sehat, mayoritas karyawan fokus pada kepentingan profesional atau personal mereka sendiri. Dampaknya, budaya yang mempromosikan rasa memiliki dan saling membantu sulit terwujud.
Hal ini ditandai dari kecenderungan para rekan kerja yang bersikap egois, memungkinkan mereka untuk mengabaikan kesulitan yang dihadapi oleh sesama karyawan. Bahkan, pertanyaan-pertanyaan tentang pekerjaan dapat dianggap sebagai tanda kebodohan yang tidak layak untuk mendapatkan bantuan.
Ironisnya, kondisi tersebut justru merugikan sistem kerja dan perusahaan itu sendiri. Pasalnya, sikap egois adalah salah satu kunci utama yang mengurangi inisiatif seseorang untuk berkolaborasi dalam tim dan menciptakan solusi atau ide-ide inovatif yang memperkuat fondasi perusahaan.
4. Tidak ada hitam di atas putih
Para karyawan memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan dalam periode tertentu. Selain tugas-tugas yang diwajibkan, mereka juga harus mampu mengantisipasi serangkaian tugas baru yang mendesak, bersama dengan perubahan dan penyesuaian yang dibutuhkan.
Dalam konteks ini, sistem kerja yang transparan sangat diperlukan dengan cara membuat surat atau proposal tertulis dalam bentuk email, menyodorkan kontrak baru secara tertulis, membangun sistem monitoring dengan spreadsheet atau platform tertentu, dan metode serupa yang mengindikasikan "hitam di atas putih."
Jika suatu lingkungan kerja tidak membangun sistem kerja tersebut dan hanya mengandalkan permintaan secara verbal tanpa bukti tertulis, maka para karyawan berpotensi menjadi sasaran tuduhan apabila terjadi masalah, seperti perubahan timeline, detail yang terlewat, dan masalah sejenis lainnya.
5. Menormalisasikan kebiasaan buruk
Di samping aktivitas kerja yang mendominasi, lingkungan kerja juga melibatkan individu untuk beristirahat pada waktu yang telah ditentukan, dan kadang-kadang bersenda gurau, berceloteh, serta berbagi cerita serta selera humor. Tujuannya adalah untuk menciptakan suasana yang menyenangkan.
Namun, suasana tersebut tidak dapat disebut menyenangkan apabila kegiatan bersenda gurau melibatkan kebiasaan buruk, seperti mengejek rekan kerja, berbicara di belakang mengenai orang lain, menyebarkan gosip yang tidak bertanggung jawab, menggunakan kata-kata ofensif yang merendahkan, dan lainnya.
Tahukah kamu? Menjadi sasaran dari tindakan-tindakan tak terpuji tersebut dapat mengakibatkan dampak serius pada keadaan psikologis seseorang, menyebabkan rasa malu dan membuat mereka merasa tidak mampu menolak kebiasaan-kebiasaan buruk yang dinormalisasikan oleh setiap individu.
Istilahnya, sih, seperti terjebak dalam suatu keadaan yang sulit untuk bersuara dan lari. Padahal tersimpan segala perasaan negatif yang membebani diri seseorang saat harus menghabiskan waktu lebih banyak di lingkungan kerja toxic tersebut.
6. Komunikasi yang 'menyerang'
Industri pekerjaan selalu menekankan pentingnya sistem komunikasi yang melibatkan berbagai pihak, baik atasan dengan bawahan, karyawan dengan rekan kerja lainnya, maupun perwakilan perusahaan dengan klien. Hal ini diyakini memengaruhi kelangsungan suatu proyek dan kondisi perusahaan itu sendiri.
Dalam pelaksanaannya, komunikasi bertujuan untuk merencanakan, menetapkan, memonitor, dan mengevaluasi kinerja dengan masukan dan kritik yang konstruktif. Sayangnya, beberapa pihak justru menggunakan komunikasi dengan tujuan berbeda, yaitu menyerang dan menjatuhkan orang lain secara personal dan di depan publik.
Tindakan tersebut biasanya ditandai dengan pembahasan yang menyimpang dari topik diskusi, pembicaraan tentang hal-hal pribadi yang tidak profesional, penggunaan kata-kata kasar dan merendahkan, serta cara penyampaian yang menggunakan nada atau volume suara yang tinggi, sinis, atau lainnya.
Dampaknya, karyawan menjadi tidak termotivasi untuk menyampaikan pendapat dan cenderung bersikap pasif saat berkolaborasi dengan pihak lain. Tidak hanya itu, keadaan mental seseorang juga dapat terganggu apabila komunikasi yang menyerang terus-menerus terjadi.
7. Favoritism yang tidak adil
Dibutuhkan kesetaraan hak bagi para karyawan yang telah mendedikasikan waktu dan energi untuk menjalankan kewajiban. Kesetaraan hak ini mencakup peluang karier atau promosi, akses fasilitas perusahaan untuk karyawan, dan hal lainnya.
Sayangnya, ada lingkungan kerja toxic yang memberikan perlakuan istimewa kepada pihak tertentu dengan beragam alasan, entah bertujuan untuk kepentingan pribadi atau keuntungan perusahaan. Pada intinya, perlakuan tersebut bisa terjadi secara terang-terangan atau terselubung dan direncanakan dengan cermat.
Untuk mengidentifikasinya, perlakuan istimewa tersebut bisa terlihat dari cara pimpinan memberikan jabatan tertentu kepada pihak yang tidak memiliki pengalaman memadai atau rekam kerja yang luar biasa. Bahkan periode kerja pun tidak cukup lama dibandingkan rekan kerja lain yang sebenarnya lebih berpotensi.
Kondisi ini membuahkan istilah "anak titipan" yang sering digunakan dalam konteks lingkungan kerja yang toxic, membuat kesempatan bagi pihak lain menjadi nyaris tidak mungkin, tanpa harapan, atau setidaknya sulit untuk dicapai dengan berusaha keras.
Ingat, jangan mengorbankan kesehatan mental maupun fisikmu demi bertahan di lingkungan yang tidak sehat, seperti penjelasan di atas, ya. Namun, kamu harus bisa membangun rencana dan strategi yang matang sebelum memutuskan, oke?