Jejak sejarah dunia tidak terlepas dari sorotan perang antarbangsa yang sering kali dipicu oleh kepentingan politik, termasuk perebutan wilayah ataupun sumber daya alam, perbedaan ideologi yang memengaruhi tujuan negara, serta ancaman terhadap keamanan nasional dan kedaulatan negara.
Namun, banyak pihak meyakini adanya harapan bahwa umat manusia abad ke-21 akan menjadi masyarakat global pasca-konflik yang lebih fokus pada hubungan antarnegara yang mengindahkan nilai-nilai perdamaian dan kemakmuran bersama.
Sayangnya, perang masih terjadi di beberapa belahan dunia hingga kini, seperti konflik Rusia dan Ukraina yang telah menelan banyak korban jiwa. Selain itu, penjajahan Israel terhadap Palestina yang masih berlangsung, memicu campur tangan dari berbagai pihak.
Kabar terbaru, Israel mendapat serangan dari Iran berupa ratusan drone peledak dan rudal yang meluncur pada Sabtu, 13 April 2024. Ini merupakan balasan atas serangan Israel terhadap kompleks kedutaan mereka di Suriah pada 1 April 2024, mengakibatkan potensi konflik yang memburuk di Timur Tengah dan dapat menciptakan perang skala besar.
Tentu saja, tak seorang pun berharap perang besar—apalagi perang dunia ketiga, terjadi. Pasalnya, sejarah telah membuktikan betapa merugikannya dampak perang berdasarkan rekam jejak peristiwa perang mematikan yang pernah terjadi di abad ke-21.
Melansir dari britannica.com, berikut adalah perang-perang mematikan yang pernah terjadi di abad ke-21. Ingin tahu betapa merugikannya dampak bagi umat manusia pada masanya?
1. Perang Kongo Kedua
Mengakibatkan dampak kehancuran yang signifikan, Perang Kongo Kedua dijuluki sebagai Perang Besar di Afrika atau Perang Dunia Pertama Afrika. Perang tersebut dipicu oleh Genosida Rwanda yang juga menyebabkan kematian Presiden Zaire Mobutu Sese Seko serta konflik etnis antara suku Hutu dan Tutsi pada abad ke-20.
Pada awalnya, pemimpin pemberontak Laurent Kabila menggulingkan Presiden Zaire Mobutu Sese Seko pada Mei 1997, dan kemudian mengubah nama Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo (RDK). Langkah ini memicu respon pemberontakan baru yang menyebabkan perang saudara hingga abad ke-21, tepatnya tahun 2003.
Diperkirakan sepertiga wilayah timur RDK menjadi medan perang yang serupa dengan Front Barat dalam Perang Dunia I. Dalam upaya mereka, pemberontak menghancurkan pedesaan dan memberi ruang bagi para pelaku kriminal untuk melakukan kejahatan seperti pemerkosaan massal, perampasan, perampokan, dan penjarahan.
Menurut laporan data, sekitar tiga juta orang tewas dalam perang tersebut, dengan kebanyakan korban adalah warga sipil. Banyak juga yang meninggal karena penyakit atau kelaparan yang timbul akibat konflik, serta orang-orang yang dipaksa untuk terlibat dalam pertempuran berdarah tersebut.
2. Perang Sipil Suriah
Menyikapi pemberontakan rakyat yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter di Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman, Presiden Bashar al-Assad di Suriah berupaya mempertahankan negaranya dengan kombinasi konsesi politik dan eskalasi kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.
Langkah tersebut justru berdampak negatif, bahkan meningkatkan intensitas pemberontakan rakyat dan menciptakan perang saudara serta aksi kekerasan di seluruh Irak. Bahkan, hal ini memberi kesempatan bagi kelompok militan, seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), untuk berkembang.
Dalam kondisi tersebut, perebutan wilayah pun mulai terjadi hingga berhasil menyebabkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol pemerintah mulai menyusut. Akhirnya, pemerintah hanya dapat melindungi sebuah wilayah kecil di bagian barat Suriah.
Meski begitu, beberapa upaya tetap dilakukan. Mulai dari cara Presiden Assad yang menyerang wilayah perkotaan, milisi kurdi yang ikut maju dari wilayah otonom Kurdi di utara Irak, dan peran negara-negara Barat yang ikut terlibat dalam konflik besar tersebut untuk membantu pemerintah setempat, seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Pada 2016, setelah perjanjian gencetan senjata gagal menghentikan aksi kekerasan, diperkirakan bahwa 1 dari 10 orang Suriah telah tewas atau terluka akibat pertempuran. Sekitar 4.000.000 orang melarikan diri dari negara tersebut, sementara jutaan lainnya mengalami pengungsian internal.
Kabar terakhir, pada 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa pertempuran tersebut telah merenggut nyawa lebih dari 300.000 warga sipil. Dampaknya, sekitar 1,5% dari seluruh populasi Suriah sebelum perang telah menjadi korban jiwa perang.
3. Konflik Darfur
Pada awal 2023, terjadi pemberontakan terhadap rezim yang berbasis di Khartoum di bawah kekuasaan Presiden Sudan, Omar al-Bashir. Hal ini memicu ketegangan yang sudah lama terjadi di wilayah Darfur di barat Sudan hingga menyebabkan peristiwa yang disebut oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai genosida pertama abad ke-21.
Tak hanya aksi kekerasan dari kelompok pemberontak, Pemerintah Sudan diketahui turut melengkapi dan mendukung milisi Arab, Janjaweed, yang menargetkan penduduk sipil Darfur hingga memakan setidaknya 300.000 korban jiwa dan hampir 3.000.000 orang terusir dari wilayah tersebut.
Menanggapi data tersebut, PBB dan UNI Afrika bergabung untuk mengembalikan sedikit ketertiban ke wilayah tersebut pada 2008. Kemudian, pada 2009, Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Presiden Bashir terkait tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
4. Perang Amerika di Irak dan Afghanistan
Serangan teroris yang paling mematikan dalam sejarah Amerika Serikat terjadi pada 11 September 2001, yang kemudian menjadi alasan untuk memulai Perang Irak. Meski begitu, ada yang berpendapat bahwa Presiden George W. Bush sebelumnya telah berupaya menjatuhkan rezim Saddam Hussein di Irak.
Dalam upayanya, Amerika Serikat membentuk "koalisi yang bersedia" dan melancarkan serangan terhadap Irak pada 20 Maret 2003. Perang kemudian berkembang dalam dua fase, yakni perang konvensional pendek di satu sisi dan perang melawan pemberontakan yang berlangsung bertahun-tahun.
Kedua fase perang tersebut memakan banyak korban di antara penduduk sipil Irak, dengan perkiraan jumlah kematian lebih dari puluhan ribu, serta mengakibatkan tewasnya lebih dari 4.700 pasukan koalisi sebelum akhirnya pasukan tempur Amerika Serikat ditarik pada Agustus 2010. Namun, beberapa perkiraan menempatkan angka kematian tersebut jauh lebih tinggi.
Di samping itu, Amerika Serikat juga melancarkan serangan udara terhadap rezim Taliban di Afghanistan hanya beberapa minggu setelah peristiwa 11 September 2001. Pada saat yang sama, kelompok militan Taliban menggunakan perangkat peledak improvisasi (IEDs) dalam serangannya terhadap target militer dan sipil, yang mengakibatkan dampak yang besar.
Antara tahun 2001 dan 2016, diperkirakan sekitar 30.000 tentara dan polisi Afghanistan, serta 31.000 warga sipil Afghanistan, tewas akibat konflik tersebut. Lebih dari 3.500 tentara dari koalisi yang dipimpin NATO juga tewas dalam waktu yang sama. Namun, jumlah korban mungkin lebih tinggi dari perkiraan tersebut.
5. Perang Sipil Yaman
Pada 2010-2011, terjadi gelombang protes pro-demokrasi dan pemberontakan di Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal sebagai Musim Semi Arab atau Arab Springs. Pada saat itu, Yaman ikut terdampak oleh aksi pemberontakan yang berusaha untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Ali Abdullah Saleh.
Presiden Ali Abdullah Saleh pun berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan memanggil militer dari daerah-daerah terpencil ke Sanaa, ibu kota Yaman. Akibatnya, pemberontak Houthi di utara negara dan militan Al-Qaeda di Semenanjung Arab atau al-Qa'ida in the Arabian Peninsula (AQAP) di selatan dengan cepat memanfaatkan kekosongan kekuasaan.
Dari situlah, pertempuran antara pasukan pemerintah dan milisi suku oposisi menjadi semakin intensif. Pada 3 Juni 2011, Presiden Ali Abdullah Saleh menjadi target percobaan pembunuhan yang membuatnya harus melakukan transfer kekuasaan kepada Wakil Presiden, Abd Rabbuh Mansur Hadi.
Sayangnya, Abd Rabbuh Mansur Hadi gagal mengembalikan kehadiran pemerintah yang efektif di wilayah yang dikuasai Houthi dan AQAP. Respons kerasnya terhadap protes di Sanaa malah memicu simpati terhadap gerakan anti-pemerintah yang semakin memperburuk kondisi saat itu.
Pada Januari 2015, pemberontak Houthi berhasil menduduki istana kepresidenan di Sanaa. Sementara itu, Abd Rabbuh Mansur Hadi ditempatkan di bawah tahanan rumah, tetapi beberapa waktu kemudian, ia akhirnya berhasil melarikan diri ke kota pelabuhan barat daya Aden.
Tidak lama setelah itu, koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi mulai bergerak untuk mengusir Houthi dari kekuasaan dan mengembalikan pemerintahan kepada Abd Rabbuh Mansur Hadi dengan harapan menciptakan kondisi yang lebih baik dan aman bagi penduduk sipil di Yaman.
Menurut PBB, perang tersebut telah menelan lebih dari 375.000 nyawa, dengan sebagian besar korban tewas akibat kelaparan dan penyakit yang masih dapat diobati. Lebih dari 3.000.000 penduduk Yaman juga terpaksa mengungsi akibat perang yang merugikan negara tersebut.
6. Konflik Israel-Palestina
Melansir dari CNBC Indonesia, konflik antara Israel dan Palestina telah berlangsung selama lebih dari 100 tahun, tepatnya berakar dari surat "Deklarasi Balfour" pada 2 November 1917, yang dituliskan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour.
Ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris, surat tersebut mengikat pemerintah Inggris untuk mendukung pembentukan rumah nasional bagi orang Yahudi di Palestina yang mayoritas penduduk aslinya adalah Arab Palestina.
Dari situlah, kekuatan Eropa mulai menjanjikan isi surat tersebut melalui Mandat Inggris pada 1923 yang berlangsung hingga 1948, menyebabkan gelombang migrasi massal orang Yahudi, berikut dengan perubahan demografi negara dan penyitaan tanah oleh Inggris.
Pada 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 181 yang menyerukan pembagian Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi. Namun, Palestina menolak karena pembagian lahan tersebut dianggap tidak sesuai dengan fakta bahwa 94% wilayah bersejarah adalah milik Palestina dan mencakup 67% populasi.
Meski begitu, sebelum Mandat Kekuasaan Inggris berakhir pada 1948, paramiliter Israel sudah memulai operasi militer guna memperluas perbatasan Israel. Dampaknya, sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Saat ini, keturunan mereka hidup sebagai 6.000.000 pengungsi di 58 kamp pengungsi di seluruh Palestina dan di negara-negara tetangga, seperti Lebanon, Suriah, Yordania, dan Mesir.
Pada 15 Mei 1949, Israel mengumumkan pendiriannya, memicu perang Arab-Israel pertama yang berakhir dengan persetujuan gencetan senjata pada Januari 1949.
Namun, perang tersebut bukanlah satu-satunya aksi penolakan bangsa-bangsa Arab atas kependudukan Israel di Palestina. Pada 5 Juni 1967, koalisi Arab kembali melawan Israel dalam pertempuran berdarah yang disebut dengan istilah Perang 6 Hari.
Para penduduk Palestina juga mengadakan perlawanan yang disebut intifada dalam bahasa Arab. Pemicu intifada pertama adalah kematian 4 warga Palestina dalam kecelakaan tabrakan antara truk Israel dan dua van yang membawa pekerja Palestina.
Selanjutnya, setelah Perjanjian Oslo dan pembentukan Otoritas Palestina (PA), intifada kedua mulai terjadi pada 28 September 2000 akibat kunjungan provokatif pemimpin oposisi Partai Likud Israel, Ariel Sharon, ke kompleks Masjid Al-Aqsa.
Setahun kemudian, intifada kedua berakhir, pemukiman Israel di Jalur Gaza dibongkar, dan tentara Israel serta 9.000 pemukim meninggalkan daerah tersebut.
Sejak itulah, Hamas mulai menguat, memicu konflik internal antara Fatah dan Hamas. Konflik ini tidak hanya menimbulkan korban jiwa di kalangan penduduk Palestina, tetapi juga pengusiran Fatah dari Jalur Gaza dan aksi perlawanan terhadap Israel oleh Hamas.
Menyikapi keadaan tersebut, Israel memberlakukan blokade darat, udara, dan laut di Jalur Gaza. Dengan tuduhan Israel kepada Hamas atas aksi “terorisme,” Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza pada 2008, 2012, 2014, dan 2021.
Diperkirakan jumlah total korban jiwa di antara penduduk sipil berkisar dari puluhan hingga ratusan ribu, dengan mayoritas korban yang dirugikan terjadi di pihak Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak yang memiluhkan hati para penduduk dunia.
Diyakini bahwa angka kematian sebenarnya mungkin lebih tinggi, terutama ketika konflik antara Israel dan Palestina kembali pecah sejak penyerangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, memicu perang yang belum menemukan kesepakatan gencatan senjata.
Berdasarkan laporan Al Jazeera pada 15 April 2024, Kementerian Kesehatan Gaza mengungkapkan bahwa jumlah warga Palestina yang tewas sejak Israel melancarkan serangannya enam bulan lalu mencapai 33.797 orang, belum termasuk para korban yang terkubur di puing-puing bangunan yang runtuh akibat serangan Israel.
Sementara itu, jumlah korban luka-luka mencapai 76.465 orang, yang mana para petugas medis juga mengalami kesulitan untuk mengobati para korban akibat situasi perang yang masih berlanjut, menyebabkan keadaan yang tragis bagi para penduduk Palestina.
Di satu sisi, jumlah korban tewas di Israel akibat serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 mencapai 1.139 orang. Selain itu, berdasarkan informasi dari akun Instagram resmi Israel, 133 tawanan masih ditahan di Gaza hingga saat ini.
7. Perang Rusia dan Ukraina
Pada bulan Februari 2014, Ukraina menyaksikan peristiwa bersejarah ketika serangkaian demonstrasi rakyat yang berlangsung selama berbulan-bulan berhasil menggulingkan Presiden Viktor Yanukovych, yang kemudian melarikan diri ke Rusia.
Memahami situasi tersebut, pasukan Rusia yang menyamar pun melancarkan serangan terhadap Republik Otonom Krimea, meskipun wilayah tersebut masih dianggap sebagai bagian administratif Ukraina yang tunduk pada hukum dan yurisdiksi Ukraina.
Namun, Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengumumkan aneksasi ilegal di Krimea pada bulan Maret, yang mengakibatkan pasukan Rusia yang menyamar tidak hanya berhenti di Krimea, tetapi juga melanjutkan serangannya ke wilayah lain, seperti Donetsk dan Luhansk.
Setelah berhasil merebut sebagian besar wilayah, Rusia baru menandatangani perjanjian gencatan senjata pada Februari 2015. Namun, pertumpahan darah nyatanya masih terjadi, menyebabkan lebih dari 14.000 orang tewas dalam pertempuran di Ukraina bagian timur.
Tidak berhenti di situ, Rusia kembali melancarkan invasi penuh terhadap Ukraina pada 2022. Langkah ini menimbulkan penolakan keras dari pihak pembela Ukraina yang bersikeras untuk tidak menyerang kembali agar tidak bertambah korban jiwa.
Diperkirakan sekitar 40.000 warga sipil Ukraina tewas, sementara 200.000 tentara Ukraina gugur dalam pertempuran. Selain itu, diketahui juga bahwa sekitar 1.600.000 warga Ukraina dipindahkan paksa dari beberapa wilayah di Ukraina yang diduduki Rusia ke wilayah Rusia.
Di satu sisi, Rusia juga mengalami akibat perang, yakni sekitar 340.000 pasukan Rusia tewas atau terluka. Kemampuan militer konvensional Rusia pun diketahui telah mengalami penurunan yang signifikan sehingga turut merugikan negara tersebut.
Dengan demikian, perang memberikan manfaat bagi kepentingan kelompok, bukan untuk seluruh masyarakatnya. Dari masa lalu, bukankah lebih baik jika setiap negara berupaya mencapai perdamaian dunia yang saling menguntungkan, setuju?