Kemarin, Selasa, 4 Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyatakan harapannya agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) bisa segera disahkan. Menurut Presiden Jokowi, maraknya kasus kekerasan seksual yang mencuat belakangan ini membuat perlindungan terhadap korban kekerasan seksual perlu menjadi perhatian bersama. Hal ini menjadi masalah yang mendesak dan harus segera ditangani.
"Saya mencermati dengan seksama Rancangan Udang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sejak dalam proses pembentukan pada tahun 2016 hingga saat ini masih berproses di DPR," tutur Jokowi, seperti dikutip dari IDNTimes.com.
Selain itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga memerintahkan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati untuk segera berkoordinasi dengan DPR agar RUU TPKS bisa segera disahkan.
"Saya memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR dalam pembahasan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini agar ada langkah-langkah percepatan," kata Jokowi.
Sebenarnya, apa itu RUU TPKS yang sebelumnya dikenal dengan RUU PKS? Simak deretan faktanya berikut ini.
Apa itu RUU PKS?
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) merupakan rancangan undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual, yang di dalamnya juga mengatur tentang pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, hingga penanganan selama proses hukum.
Rancangan undang-undang ini sebenarnya sudah masuk ke Prolegnas sejak tahun 2014. Namun, bertahun-tahun RUU PKS ini mangkrak di Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat karena berbagai alasan. Bahkan di tahun 2020, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang mengatakan pembahasan RUU PKS ini diundur lagi ke tahun 2021 agar beban kerja DPR tak terlalu banyak.
Padahal, jika melihat angka kasus kekerasan seksual di Indonesia belakangan ini, sangat memprihatinkan. Pada tahun 2016 terdapat 259.150 kasus, kemudian meningkat menjadi 348.446 kasus pada tahun 2017, hingga 406.178 kasus pada tahun 2018. Tentu, jumlah ini terus bertambah mengingat masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang mencuat belakangan ini.
Apa saja isi dari RUU PKS?
RUU PKS sudah mulai dibahas dan didiskusikan di Komnas Perempuan sejak tahun 2010. Dari berbagai kajian, diskusi, dan dialog yang telah dilakukan oleh pihak terkait, maka dirumuskanlah rancangan undang-undang yang mengatur dan memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Jika dirangkum, ada enam pokok utama yang menjadi bahasan RUU PKS. Apa saja?
1. Mengatur sembilan tindak pidana kekerasan seksual
Dalam RUU PKS ada sembilan tindak pidana pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa RUU PKS menjadi peraturan pertama dan satu-satunya yang mengatur mengenai sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual.
2. Memuat enam elemen kunci dan prinsip HAM perempuan
Dengan segera disahkannya RUU PKS, diharapkan ada undang-undang yang memuat enam elemen kunci dan prinsip HAM perempuan. Hal itu terdiri dari pencegahan, hukum acara termasuk hak korban dan keluarganya, sembilan jenis tindak pidana, pemidanaan, serta pemantauan dan pemulihan.
3. Mencantumkan hak korban dan keluarga secara terperinci
RUU PKS juga mencantumkan secara terperinci hak korban dan keluarga. Dalam RUU ini, korban berhak mendapat penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Salah satu hak yang diberikan kepada keluarga korban adalah berhak untuk dirahasiakan identitasnya, serta tidak dituntut secara pidana dan perdata oleh tersangka atau keluarganya.
4. Mengatur hak asasi
Selain mengatur mengenai hak korban dan keluarganya, RUU ini bahkan mengatur mengenai hak saksi sehingga dapat mendorong masyarakat untuk tidak takut dalam menolong korban. Saksi mendapat hak seperti mendapat bantuan dan pendampingan hukum, dirahasiakan identitasnya, dan tidak dituntut pidana atau perdata karena kesaksian yang diberikannya.
5. Menjelaskan definisi masing-masing jenis kekerasan seksual
RUU ini mencantumkan definisi masing-masing jenis kekerasan seksual dan pemidanaan terhadap pelaku. Pemidanaan juga dirincikan pada beberapa jenis korban yaitu anak, orang dengan disabilitas, dan anak dengan disabilitas. Pemidanaan juga dibedakan untuk beberapa jenis pelaku seperti atasan kerja, tokoh masyarakat, pejabat, dan keluarga.
6. Mengatur pemidanaan berdasarkan dampak yang dialami korban
Selain itu, terdapat aturan mengenai pemidanaan yang didasarkan pada dampak yang dialami korban seperti keguncangan jiwa, disabilitas permanen, luka berat dan gangguan kesehatan berkepanjangan, serta meninggal dunia. RUU ini juga ada sanksi pidana yang dikenakan ke penegak hukum jika lalai dalam menangani perkara kekerasan seksual.
RUU PKS berubah nama menjadi RUU TPKS
Pada September 2021, nama RUU PKS kemudian berubah menjadi RUU TPKS yang merupakan kepanjangan dari Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Melansir dari Republika.com, Badan Legislasi mengubah RUU PKS menjadi RUU TPKS dengan alasan agar lebih membumi dan memudahkan para penegak hukum. Rancangan undang-undang ini dinilai akan berpihak pada korban. Menurut Badan Legislasi, perubahan nama ini sudah melalui diskusi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Mulai dari para ahli, Komnas Perempuan, hingga Majelis Ulama Indonesia.
Perubahan RUU PKS menjadi RUU TPKS mengubah isi dan menghilangkan 85 pasal
Perubahan nama RUU PKS menjadi RUU TPKS tidak serta merta diterima begitu saja. Hal ini menuai pro dan kontra. Apalagi, saat melihat substansinya, banyak hal yang diubah dan 85 pasal RUU PKS hilang saat berganti menjadi RUU TPKS.
Melansir dari CNNIndonesia, RUU TPKS membuat definisi perkosaan menjadi samar. Tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya dibagi menjadi sembilan jenis, kemudian diubah dan hanya ditetapkan empat jenis. Yakni, pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.
Selain itu, ada 85 pasal hilang dari naskah sebelumnya. Hal ini berpotensi merugikan korban. Terutama, bagi korban kekerasan seksual dengan disabilitas yang membutuhkan bantuan khusus. Sebelumnya, pasal tentang korban kekerasan seksual dengan disabilitas sudah masuk dalam naskah RUU PKS. Namun, di RUU TPKS, pasal tersebut kosong.
Itulah tadi fakta RUU TPKS yang akan segera disahkan Presiden Joko Widodo. Meskipun masih menimbulkan pro dan kontra, semoga undang-undang ini dapat memberikan perlindungan maksimal terhadap korban kekerasan seksual dan tak ada lagi tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kita.