Tahun baru merupakan momen yang dirayakan oleh banyak orang di seluruh dunia. Namun, dalam agama Islam, terdapat beberapa pendapat mengenai apakah merayakan tahun baru dianggap halal atau haram.
Menurut sebagian ulama, merayakan tahun baru dianggap haram karena merupakan tradisi non Islam yang berasal dari budaya Barat. Menurut pendapat ini, merayakan tahun baru dianggap sama dengan mengikuti kebiasaan orang-orang kafir dan dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa merayakan tahun baru dianggap halal, asalkan tidak merugikan orang lain dan tidak melanggar ajaran Islam. Menurut pendapat ini, merayakan tahun baru dianggap sebagai sebuah kebiasaan yang tidak berbahaya dan tidak merugikan orang lain, sehingga tidak ada alasan untuk tidak merayakannya.
Untuk mengetahui penjelasan lengkap terkait hukum merayakan tahun baru masehi menurut Islam, simak ulasan berikut ini.
1. Sejarah tahun baru masehi
Sebelum membahas lebih dalam mengenai hukum merayakan tahun baru menurut Islam, perlu diketahui mengenai sejarah tahun baru masehi. Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru bermula pada abad 46 sebelum masehi (SM).
Pada masa itu, kaisar Julius Caisar membuat kalender matahari yang dinilai lebih akurat dibandingkan kalender lain sebelumnya. Penguasa Romawi itu menerapkan 1 Januari sebagai permulaan tahun baru.
Orang-orang Romawi mempersembahkan tahun baru kepada Janus yang diyakini dewa segala gerbang, pintu, dan permulaan waktu.
Oleh karena itu, keterkaitan sejarah antara tahun baru dengan ritual Romawi tersebut menjadi salah satu alasan sebagian ulama melarang perayaan ini.
2. Hukum merayakan tahun baru menurut NU
Melansir NU Online, pergantian tahun baru masehi dinilai tidak bermakna khusus. Tahun baru dinilai sebagai momentum pergantian tahun saja. Hal itu disampaikan Ahmad Samsul Rijal, Katib Syuriah PCNU Jombang.
Menurutnya, banyak ulama salaf dan khalaf yang memandang momen ini melalui sudut sosial. Apalagi mengingat bahwa masyarakat hidup di tengah keberagaman agama, budaya, dan tradisi.
Hal itu kemudian membuat banyak ulama yang berfatwa tidak ada larangan mengucapkan atau merayakan tahun baru. Arti dari fatwa tersebut adalah perayaan tahun baru boleh dilakukan dalam kaitannya dengan kehidupan sosial.
Kemudian, perayaan ini tidak masuk dalam kategori bid'ah. Bahkan, perayaan momentum ini bisa menjadi kebaikan jika muncul kebaikan di dalamnya.
3. Catatan kebolehan merayakan tahun baru menurut NU
Jadi, dapat disimpulkan bahwa NU melihat momen tahun baru sebagai sudut pandang sosial. Hal itu menunjukkan perlunya toleransi dalam kehidupan sosial.
Namun, dalam perayaan tahun baru tersebut perlu digarisbawahi untuk tidak mengikuti kebiasaan yang buruk. Mengingat momen tahun baru kerap lekat dengan kemaksiatan, kesenangan, dan hal-hal yang dilarang agama. Hal itu berdasarkan sabda nabi berikut.
من تشبه بقوم فهو منهم
Man tasyabbaha bi qoumin fahuwa minhum
Artinya: "Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia menjadi bagian daripadanya."
Sebaliknya, peringatan tahun baru perlu menjadi momen untuk lebih banyak bersyukur. Hal itu bisa diwujudkan dnegan zikir, selawat, sedekah, dan lain sebagainya.
4. Hukum merayakan tahun baru menurut Muhammadiyah
Sementara itu, hukum merayakan tahun baru menurut Islam dalam Muhammadiyah adalah dilarang. Sebab, hal itu dianggap melestarikan perayaan kaum pagan Romawi yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.
Hal itu didasarkan pada hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi.
"Jauhilah oleh kalian musuh-musuh Allah dalam perayaan mereka."
Melansir PWMU, makna toleransi cukup pada membiarkan dan tidak mengganggu ibadah orang lain. Perayaan tahun baru mirip dengan kasus Hari Raya Nairuz dan Mihrajan yang merupakan perayaan umat Majusi pada zaman Nabi.
Pada perayaan tersebut, Rasulullah SAW melarang umatnya untuk makan dan bersenang-senang pada hari raya tersebut. Pada perayaan tahun baru kini, banyak orang yang makan-makan dan minum-minum yang sama dengan yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Tak hanya itu, pelarangan untuk merayakan tahun baru juga karena 1 Januari dipersembahkan untuk Dewa Janus, sosok dua wajah yang menghadap ke depan dan belakang.
Landasan lainnya adalah QS. Al Isra ayat 36 yang artinya adalah sebagai berikut.
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."
Kesimpulannya, hukum merayakan tahun baru masehi menurut Islam tergantung pada pendapat masing-masing ulama. Beberapa ulama berpendapat bahwa merayakan tahun baru dianggap haram karena merupakan tradisi non Islam.
Sementara, ulama lain berpendapat bahwa merayakan tahun baru dianggap halal asalkan tidak merugikan orang lain dan tidak melanggar ajaran Islam. Sebaiknya, setiap orang memutuskan sendiri apakah ingin merayakan tahun baru atau tidak sesuai dengan kepercayaannya masing-masing.