Pernah tidak kalian mendengar sebuah ungkapan kalau mimpi itu janganlah ketinggian, nanti jatuhnya bakalan “sakit”. Ungkapan tersebut mungkin berasal dari orang-orang yang sangat realistis dalam hidupnya atau mungkin saja dari mereka yang sudah bosan merasakan kegagalan hingga menolak untuk sekedar percaya pada sebuah mimpi yang terkesan membawa harapan berujung kecewa.
Namun bagi orang yang optimis, tidaklah demikian. Mereka cukup yakin bahwa ketika seseorang telah berani menggantungkan mimpinya setinggi langit, maka kalaupun ia jatuh, Mimpi mereka bisa saja berbeda namun satu hal yang mungkin dimimpikan oleh banyak orang adalah bermimpi untuk menghabiskan sisa hidup (baca: menikah) dengan orang yang “tepat”. Harapan untuk bertemu dengan sang “pangeran” bak cerita dongeng atau kisah manis yang sering kita saksikan dalam drama.
Nah, sosok “ideal” disini bisa saja berbeda karena setiap orang punya kriteria “ideal” mereka sendiri. Lalu apa saja yang ada di benak ya saat kita mempertimbangkan sosok ideal?
Adakah Sosok “Ideal” itu untuk kita?
Sekarang pertanyaannya adalah “mungkinkah untuk mendapatkan pasangan “ideal’’ tersebut?” Bisa iya bisa juga tidak. Semua tentunya kembali pada seberapa “ideal” kriteria yang kita harapkan dan seberapa besar batas “toleransi” kita untuk kriteria tersebut. Kadang kita terlalu “egois” dalam menetapkan kriteria tanpa bisa menilai seberapa pantaskah kita untuk mendapatkan pasangan yang kita impikan. Saya percaya bahwa jodoh adalah cerminan dari diri kita sendiri. Jadi, bukankah lebih baik jika ingin mendapatkan sosok “ideal” yang diharapkan? Kita perlu berusaha untuk memenuhi atau setidaknya mendekati kriteria tersebut? Sehingga kita “pantas” untuk kriteria “ideal” tersebut.
Dalam hidup, kita kerap kali dihadapkan pada sebuah “dilema” untuk menerima atau menolak kehadiran seseorang yang memiliki perasaan pada kita. Dia yang datang bisa saja jauh berbeda dari apa yang kita harapkan. Sehingga kita terjebak diantara dan ketakuan akan “ketidakpastian”. Saat Itulah realitas dan idealitas yang telah kita ciptakan bertemu.
Jadi Menunggu atau Terima saja?
Jawabannya kembali kepada diri kita sendiri tentunya. Karena sejatinya setiap orang pasti memiliki pertimbangan tersendiri. Tidaklah salah untuk menunggu, namun yang perlu diingat bahwa ketika kita telah memutuskan untuk menunggu, artinya kita juga harus siap untuk “mengorbankan” waktu demi sebuah “ditidakpastian” yang kita mimpikan.
Mengapa Tidak Menerima Realitas Menjadi Idealitas yang Nyata?
Gambaran indah yang telah terprogram di otak kita, mengenai sosok pasangan “ideal” yang terlalu “sempurna” bisa saja akan membatasi penilaian kita terhadap orang yang dengan jelas menunjukkan ketulusannya. Selalu akan muncul sebuah perbandingan antara realitas yang ada di depan mata kita dengan kriteria “ideal” yang kita impikan. Padahal mungkin saja realitas itu adalah sebuah idealitas yang terlalu “sulit” untuk kita sadari dan terima. Dan dia sudah sangat dekat dengan kita.
credit: The Lucky One/Village Roadshow Pictures/www.imdb.com