Ada yang menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup. Ada juga yang memandang pernikahan sebagai salah satu tahapan penting yang perlu dilalui dengan perayaan besar dan suka cita. Namun beberapa orang juga melihat pernikahan sebagai hal terakhir dalam prioritas hidupnya. Semua itu wajar-wajar saja karena setiap orang memiliki pandangan dan perjalanan hidup yang berbeda.
Rasanya hampir semua manusia pada dasarnya sama, ingin mencintai dan ingin dicintai. Namun pengalaman dalam kehidupan percintaan nyatanya bisa mengubah pandangan seseorang terhadap lawan jenis. Perasaan dikhianati, disakiti bahkan dilukai berkali-kali membuat sebagian orang menyerah. Pada akhirnya, cinta menjadi suatu hal yang menyakitkan, pahit dan kehadirannya nggak lagi dirindukan.
Menyatakan bahwa dirinya bisa bahagia tanpa cinta dan teman hidup butuh keyakinan yang penuh. Tapi, apakah mungkin jika seseorang nggak percaya akan cinta dan mati rasa? Apakah jika suatu saat nanti ketika ia bertemu dengan seseorang yang bisa menyentuh hatinya, cinta itu seperti tumbuhan kering yang nggak akan pernah berbunga?
Seorang relationship coach bernama Satria Utama menjelaskan bahwa inti masalahnya bukan pada cinta. Ketika wanita memutuskan untuk nggak percaya cinta atau bahkan nggak percaya pria, sebenarnya masalah itu terletak pada kepercayaan diri wanita itu sendiri. “‘Semua cowok sama!’, cewek kalau terluka akan seperti itu,” tutur Satria. “Padahal sebenarnya, ‘Kenapa sih aku bisa sampai salah pilih? Kenapa sih aku bisa sebodoh itu?’”
Hal ini bisa dipahami dilihat dari cara komunikasi dan psikologi antara pria dan wanita. Pria punya gaya komunikasi yang langsung atau direct sehingga maksud yang disampaikan sesuai dengan apa yang diutarakan. Sebaliknya, wanita punya gaya bahasa nggak langsung atau indirect sehingga jika menyatakan A maka makna sebenarnya bukanlah A. “Aku bisa melihat fenomena sekarang bahwa banyak cowok yang mundur secara mental. Misal, si cowok punya penghasilan yang lebih rendah dibanding ceweknya. Nanti dia akan bikin kasus sehingga dia bisa lepas dari ceweknya dan mencari cewek lain yang penghasilannya lebih rendah dari cowok tersebut,” ucapnya.
Hal tersebut mudah dipahami karena secara naluriah, pria punya tendensi untuk merasa dominan dari pasangannya. Ketika dia merasa lemah, maka dia cenderung mencari orang yang bisa dia pimpin. Tentu saja, nggak semua pria berpenghasilan lebih rendah seperti itu. “Misal cewek ini punya jabatan tinggi, cewek ini nggak mau ‘lepas atribut’ ketika berada di rumah. Tapi apakah itu salah ceweknya? Bukan, tapi cowoknya yang nggak paham bagaimana memerlakukan ceweknya.”
Kepekaan seorang pria juga dilihat dari sikapnya saat menyatakan perasaan. Ketika wanita memutuskan untuk memikirkan jawabannya, pria sering salah mengartikan bahwa wanita yang disukai ragu untuk menerima cintanya. Pria pun bingung dan nggak melakukan apa-apa. Padahal, saat itulah pria bisa melakukan hal-hal yang bisa menarik perhatian pujaan hatinya. Karena enggan untuk merayu itulah, maka pria dianggap sebagai makhluk yang nggak peka.
Nasihat orangtua tentang kriteria pasangan juga bisa menjadi hal yang membuat wanita ragu untuk menikah. Mencari pria yang mapan menjadi syarat utama, padahal tolok ukur kemapanan seorang pria pun masih kabur. Masa lalu orangtua yang kecewa dengan pasangannya disalurkan kepada anak lewat wejangan untuk nggak menggantungkan hidup kepada pria. Akhirnya, keinginan untuk melangkah, bahkan untuk mengambil keputusan secara mandiri, harus tertahan.
Lalu, apakah orang yang nggak percaya akan cinta bisa kembali merasakan cinta itu kembali? Jika ternyata masalahnya ada pada kepercayaan diri, maka itu bergantung pada pribadi masing-masing. Memilih untuk sendiri sama sekali nggak masalah, namun jika ingin menemukan cinta, ingatlah bahwa cinta bisa ditemukan jika dirimu juga ingin membuka hati.