Sudah dua hari pasca salah satu personel boyband SHINee, Kim Jonghyun, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pada 18 Desember 2017 lalu. Namun hingga artikel ini ditulis, pemberitaan tentang kepergiannya yang begitu menyedihkan masih ramai diperbincangkan. Berita ini pun nggak hanya menarik perhatian media dalam dan luar negeri tapi juga beberapa pihak, termasuk dari dunia kesehatan dan psikologi.
Lalu, sebenarnya apa saja yang membuat seseorang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya? Ada baiknya jika kita melihat dari sisi personal dan sisi sosialnya.
1. Masalah dari diri sendiri
Salah seorang sahabat Jonghyun berinisial ‘A’ mengungkapkan bahwa penyanyi berusia 27 tahun tersebut sempat curhat terkait kondisinya. Dalam percakapan yang dirilis Dispatch, ‘A’ menyatakan kalau Jonghyun sering menyalahkan dirinya sendiri karena selalu berusaha menjadi lebih baik namun sulit untuk mencapai ekspektasinya. Dari pernyataan tersebut, kita bisa melihat bahwa masalah bisa datang dari diri sendiri.
2. Pengaruh dari lingkungan
Sampai saat ini kita belum bisa memastikan hal apa yang benar-benar menjadi pemicu Jonghyun untuk pergi meninggalkan keluarga, teman, penggemar dan kariernya untuk selama-lamanya. Namun kita juga nggak bisa menyangkal bahwa pengaruh lingkungan dan pekerjaan sering membuat seseorang merasa depresi, apalagi jika orang tersebut berprofesi sebagai artis. Selama 9 tahun terakhir setelah SHINee debut, kita tahu bahwa Jonghyun dan teman-teman sudah banyak melewati berbagai tekanan, tantangan dan masalah. Tapi kita nggak akan pernah tahu sampai kapan seseorang bisa bertahan berada di lingkungan tersebut.
3. Jiwa yang hampa
Bagi kita yang posisinya sebagai penggemar, kita bisa berpendapat jika kehidupan mereka sangat nyaman. Bisa keliling dunia untuk tur, terkenal bahkan menerima hadiah-hadiah mahal dari penggemar. Sebagian orang bisa bahagia dengan kondisi seperti itu, tapi sebagian orang tetap merasa kosong dan nggak puas dengan hidupnya meski dikelilingi harta. Ketika seseorang sudah memiliki banyak materi tapi belum merasa bahagia, lalu apa lagi yang bisa memuaskan hidupnya untuk merasa bahagia?
4. Kehilangan makna
Sebelum mengakhiri hidupnya, Jonghyun sempat mengirim pesan terakhir kepada kakaknya. Isi pesan tersebut menyatakan bahwa dirinya telah mengalami kesulitan selama ini, menginginkan kakaknya untuk membiarkan dia ‘pergi’ dan Jonghyun juga menginginkan bahwa sang kakak menyampaikan kepada semua orang bahwa dirinya telah menderita. Melansir dari Psychology Today, pesan terakhir tentang keinginan mengakhiri rasa sakit dan kehilangan harapan cukup menggambarkan motif mereka. Seseorang melakukan bunuh diri bukan karena ingin menghindari masalah atau menghentikan penderitaan, tapi didukung dengan nggak memiliki alasan untuk tetap hidup. Menurut penelitian, depresi yang kuat bisa ‘menggerakkan’ seseorang untuk memiliki nyali melukai, meracuni atau menggantung dirinya sendiri.
5. Kondisi sosial
Kasus Jonghyun bukanlah kasus bunuh diri pertama di Korea Selatan. Ketika kita ingin menganalisis suatu kasus bunuh diri, sebaiknya kita nggak melupakan di mana kasus tersebut terjadi. Negara Asia Timur misalnya, mereka memiliki kondisi sosial di mana bunuh diri adalah bagian dari sejarah dan budaya mereka. Di satu sisi, ada masyarakat yang berpikir bahwa melalui kematian, mereka akan mendapat kehidupan baru atau reinkarnasi. Ada juga yang berpikir bahwa bunuh diri adalah cara yang ‘tepat atau terhormat’ ketika merasa gagal atau malu seperti seppuku yang dilakukan samurai di Jepang. Cara pandang suatu masyarakat terhadap bunuh diri tentu tiap negara berbeda-beda. Indonesia misalnya, yang memiliki tingkat religiositas yang berbeda dan nggak memiliki budaya seperti itu.
Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal pernah berpikir untuk bunuh diri, hubungi Layanan Telepon Pencegahan Bunuh Diri di nomor (021)7256526, (021)7257826, (021)7221810.