Sepertinya nggak ada satu pun manusia biasa di dunia ini yang nggak pernah berbohong, baik dengan tujuan baik atau memang ingin menipu orang lain. Tapi, tahukah kamu kalau pembohong juga bisa terbagi ke dalam dua jenis?
Di artikel ini Popbela akan memberitahukan dua jenis pembohong yang bisa terjadi pada seseorang, atau bahkan pasanganmu. Jika si dia mulai menjadikan berbohong menjadi kebiasaan dalam berhubungan dengan orang lain, kamu harus tahu dia masuk jenis yang mana. Dengan begitu, kamu juga akan tahu cara untuk menghadapinya.
Pembohong patologis dan pembohong kompulsif
Ketika berbohong menjadi kebiasaan, atau garis antara kebenaran dan kepalsuan mulai kabur, kemungkinan seseorang akan menjadi pembohong kompulsif dan patologis.
Well, keduanya memang sama-sama pembohong. Tapi, mempelajari perbedaan utama antara kedua tipe tersebut dapat membantumu lebih memahami maksud orang yang berbohong dan bagaimana cara berhubungan dengan secara lebih efektif dengan orang tersebut.
Kedua jenis pembohong ini cenderung sangat sering berbohong, tapi ada yang membedakan diantara keduanya. Pembohong patologis berbohong dengan kecenderungan manipulatif untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, menyelamatkan dirinya, atau bahkan keluar dan menghindari masalah, kata psikolog klinis Ramani Durvasula, PhD.
Sementara seorang pembohong kompulsif, melakukannya kebohongannya karena kebiasaan, serta sering kali dengan konsekuensi minimal dan tanpa alasan yang nyata. Jadi, sebenarnya nggak ada untungnya juga kalau mereka berbohong, tapi tetap saja itu dilakukannya.
Pembohong patologis, berbohong dengan tujuan manipulatif
Perbedaan utama pembohong patologis dengan pembohong kompulsif adalah pembohong patologis cenderung mewujudkan pendekatan yang lebih manipulatif untuk berbohong. Mereka sering memutar jaring kebohongan yang rumit untuk mencapai beberapa keuntungan pribadi.
Dr. Ramani bilang, hal tersebut membuat kebohongan yang mereka lakukan sering kali merugikan orang lain, yang mungkin nggak disadari oleh si pembohong patologis ini.
Kurangnya empati atau kesadaran tentang bagaimana tindakan berbohong yang mereka lakukan itu dapat berdampak pada orang lain, menjadi salah satu penyebab kebohongan patologis cenderung berhubungan dengan sifat narsistik atau gangguan kepribadian narsistik.
Pembohong kompulsif, berbohong tanpa tujuan
Jika pembohong patologis melakukannya karena ingin memanipulasi orang lain, pembohong kompulsif justru sebaliknya.
“Pembohong kompulsif biasanya akan berbohong dalam situasi rendah atau tanpa risiko, mungkin mengatakan mereka pergi ke tempat liburan tertentu padahal tidak, atau berbohong tentang apa yang mereka tonton di TV malam sebelumnya,” jelas Dr. Ramani.
Psikolog klinis ini membandingkan jenis kebohongan kompulsif dengan kejahatan kecil. Meskipun mungkin nggak banyak merugikan saat ini, tetap saja itu sebuah kejahatan yang akan merugikan suatu saat nanti.
Begitu juga dengan kebohongan kompulsif. Meskipun nggak merugikan orang lain, si pembohong ini jadi sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain dan omongannya jadi sulit diketahui mana yang benar dan mana yang bohong.
Penyebab orang jadi pembohong patologis atau kompulsif
Karena bertujuan untuk memanipulasi orang lain, kebohongan patologis biasanya terjadi sebagai mekanisme pertahanan yang dikembangkan sebagai respons terhadap trauma, yang umumnya terjadi pada usia dini.
Jadi, kebohongan ini bisa jadi mulai dikembangkan sejak mereka masih kecil, dimulai dari dengan hal kecil hingga menjadi besar seiring dengan semakin dewasanya si pembohong tersebut.
Sementara untuk kebohongan kompulsif, hal ini kemungkinan terjadi karena kesulitan menghadapi kebenaran, yang dapat berasal dari pengalaman masa kecil di suatu lingkungan, di mana berbohong adalah suatu rutinitas atau hal yang diperlukan.
Lama-kelamaan, pembohong kompulsif ini jadi terbiasa untuk berbohong. Meskipun sebenarnya dia nggak perlu melakukannya ataupun nggak ada untungnya jika dia melakukan kebohongan.
Bagaimana hubungan dengan kedua jenis pembohong ini?
Dr. Ramani menyarankan untuk berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan kedua jenis pembohong ini, karena efek dari segala jenis kebohongan yang berulang dapat mengikis kekuatan suatu hubungan. Tidak peduli bagaimana atau mengapa kebohongan itu terjadi.
“Kebohongan berbahaya karena dapat membuat orang salah mengambil keputusan, menyebabkan orang lain terluka oleh pengkhianatan, serta melemahkan dan merusak kepercayaan,” kata Dr. Ramani.
Lagipula, memiliki komponen kepercayaan sangat penting untuk setiap hubungan yang kuat (baik itu platonis, romantis, atau sebaliknya). Dengan kebohongan, kemampuan untuk mengandalkan orang lain akan menjadi rentan dan fondasi kepercayaan mulai hilang.
Terakhir, Dr, Ramani menyarankan, “Jika ingin mengetahui informasi berisiko tinggi yang perlu keakuratan, jangan mendapatkannya dari pembohong patologis atau kompulsif. Hindari mengkonfrontasi pembohong, terutama dengan pembohong patologis, yang cenderung menanggapinya dengan penyangkalan atau pembelaan diri.”