Perceraian orangtua memang menjadi momok paling mengerikan bagi seorang anak. Tapi bagaimana ketika broken home terjadi ketika seseorang sudah dewasa? Ternyata dampaknya lebih mengerikan, Bela.
Mungkin saat usia kanak-kanak mereka belum mengetahui dengan jelas apa yang terjadi pada keluarganya. Tapi saat pertengkaran-pertengkaran terjadi di depan sang anak yang sudah berusia dewasa, tentu sang anak mengetahui dengan jelas akar masalah dan ujung dari masalah tersebut.
Saat dewasa adalah saat di mana seseorang sudah cukup matang untuk berpikir. Melihat retaknya hubungan antara orangtua membuatnya ragu apakah hubungan yang selama ini terjalin sia-sia. Perasaan takut ditinggalkan jelas membuat seorang merasa bahwa dia tak layak dicintai.
Melihat konflik yang terjadi pada orangtuanya, apalagi kesalahan lebih besar kepada sosok ayah, tentu membuatnya menganggap bahwa semua pria seperti itu. Hal itu wajar karena sosok ayahnya lah pria pertama yang paling dekatnya.
Melihat kegagalan dari kedua orangtuanya membuat si anak takut berkomitmen dan menikah. Apalagi di saat mereka sudah saatnya menikah namun harus melihat perceraian dari orangtuanya. Tentu akan timbul trauma tentang sebuah pernikahan.
Melihat orangtuanya yang telah hidup bersama-sama, tentu dia jadikan relationship goals. Lalu adanya keadaan di mana mereka bercerai tentu akan membuatnya meragukan tentang adanya cinta sejati. Dia tidak akan yakin apakah dia akan dicintai seumur hidupnya atau akan tersakiti lagi karena sebuah kehilangan.
Semua orang tentu ingin berkeluarga, apalagi ketika kariernya telah lumayan sukses. Tapi bagi seorang korban broken home yang tentu memiliki trauma, berkeluarga adalah sesuatu yang mengerikan. Kenangan-kenangan tentang kegagalan orangtua tentu terus terbayang. Lalu, dia mulai bertanya untuk apa hidupnya terus berjalan.