Tahun 2017 bisa dibilang sebagai tahun keemasan bagi aktris yang satu ini. Berbagai judul film telah ia bintangi. Tapi ketika bicara tentang kehidupan pribadi, cewek berzodiak Gemini ini lebih banyak diam. Saat diwawancarai Popbela, Ayushita mengungkap fakta kelam dalam kehidupannya yang belum banyak diketahui orang. Lalu bagaimana pandangan Ayu tentang tipe pasangan ideal dan cara dia berhasil bangkit dari masa lalu? Yuk, ikuti kisahnya.
"Cuma satu, fleksibel. Bukan dalam arti bahasa tubuh, ya. Fleksibel yang dimaksud itu waktunya, bercandaannya tuh nyambung. Setidaknya harus paham lah gimana bercandaanku. Bisa fleksibel juga ke teman-teman aku. Tipe ideal yang lainnya, kalau dia beriman setidaknya harus lebih baik dariku. Dalam segala hal sih, karena itu bisa jadi patokan gimana kita bersosialisasi."
"Nggak sama sekali."
"Dia itu obsess sama bebatuan. Dia dominan diantara teman-temannya. Dia bersahabat dengan dua orang cowok. Suka banget road trip tapi ada reckless."
"Cewek mandiri itu ya mandiri, nggak bergantung sama orang. Bisa kemana-mana sendiri, taking care of themselves, tahu bagaimana bertahan hidup walau nggak lagi bersama siapa-siapa. Setidaknya tahu kapan waktu kerja, main dan belajar."
"Kalau di-bully itu sudah jadi ‘makanan’ aku dari kecil. Yang paling sering terjadi itu karena aku sudah syuting sejak kecil, jadi biasanya diledekin, atau project yang aku ambil itu komersial banget, biasanya dicela. Dulu pernah waktu SD, jadi kakiku bermasalah dan harus pakai sepatu khusus. Dulu diejek karena sepatunya memang aneh, sampai akhirnya aku memutuskan untuk masuk Paskibra aja biar nggak diejek dan sepatuku sama dengan anak-anak lain. Dampaknya sampai sekarang kalau aku kelelahan atau kedinginan, rasanya ngilu banget. Tulangnya sudah nggak bisa diperbaiki lagi karena aku sudah dewasa, beda dengan dulu masih kecil jadi tulangnya masih bisa diatur. Dulu pernah juga jadi korban kekerasan waktu SMP, ceritanya panjang. Tapi aku merasa beruntung karena ibuku seorang konsultan dan bekerja di LSM selama bertahun-tahun dan kerjanya mengurus orang-orang yang mengalami kekerasan. Jadi aku punya tempat untuk bercerita dan menyelamatkan diri. Alhamdulillah keluargaku adalah sebuah support system yang baik dan berdasarkan komunikasi aja. Jadi ketika aku atau saudara-saudaraku punya masalah yang nggak bisa dihadapi sendiri, kita punya keluarga yang siap membantu. Mengobatinya nggak sebentar dan harus ada kesadaran dari dalam diri sehingga akhirnya aku merasa ada perubahan yang signifikan sampai detik ini."
"Iya, oleh cowok. Dulu Mama sampai ngasih kebebasan ke aku untuk ambil keputusan, apa yang ingin aku lakukan terhadap cowok ini, mau menempuh jalur hukum atau dibebaskan. Waktu itu aku masih kelas 2 SMP dan aku menjawab, ‘Kalau dia ditindaklanjuti secara hukum, dia nggak punya masa depan dong, Ma.’ Saat itu Mama seperti sedikit tersenyum, aku nggak tahu mungkin orang bilang aku punya hati yang besar apa gimana. Tapi aku nggak merasa puas jika orang itu tetap di dalam penjara. The point is, ‘lo bisa nggak, nggak gangguin gue lagi dan urus hidup lo, just go with your life’. Aku memutuskan untuk memaafkan dia, tapi walau dia memohon untuk bertemu dan minta maaf, aku bilang nggak perlu. Setelah itu, proses bertahannya juga ada. Itu juga hal yang mengubah aku menjadi perempuan yang mandiri sehingga banyak yang bilang aku susah dapet cowok karena terlalu independen. I believe that once there is a time, ada cowok yang siap dengan apapun keadaannya, aku pikir itu menguntungkan si cowok. Aku bayangin kalau aku jadi cowok dan cewekku terlalu bergantung sama aku kayaknya gerah."
"Dulu waktu kuliah aku pernah dapat tugas untuk buat akun dan mendapatkan banyak follower. Akhirnya aku memutuskan untuk buat akun untuk menampung cerita korban kekerasan dan nggak butuh waktu lama, follower-nya banyak banget. Aku berkunjung ke kelas-kelas untuk promosi ide dari akun ini dan banyak dari mereka yang beneran curhat, bukan hanya follow. Setelah itu aku berkunjung ke LSM tempat ibuku dulu bekerja, namanya Mitra Perempuan dan aku minta izin ke mereka untuk ikut ke setiap seminarnya sebagai mediator. Jadi hal nggak enak yang aku alami di masa lalu bisa jadi sesuatu, di mana hal kecil dariku bisa menjadi hal besar untuk mereka."
"Dengarkan permasalahan mereka. Karena the best communication is listening. Kalau nggak mendengarkan, kita nggak bisa menenangkan orang tersebut. Didengarkan adalah salah satu obat atau pertolongan yang paling signifikan untuk korban. Kalau dari sisi korban, dalam proses pemulihan bisa belajar dan mengalihkan pikiran. Kalau aku biasanya olahraga banyak banget, punya kesibukan yang bermanfaat. Alhamdulillah, kejadian yang aku alami kan tahun 2003, sampai sekarang 2017, sudah 14 tahun aku nggak pernah setengah detik pun ketemu dia. Seolah-olah dunia memang nggak mau mempertemukan aku sama dia lagi."
"Kita nggak bisa menghakimi hal itu. Namun yang bisa dilakukan adalah mengekspresikan semua yang kamu rasakan. Bukan berarti mengekspresikan tapi nggak di-filter, tapi hanya cerita aja ke teman yang paling dipercaya. Ketika mendapat nasihat, didengarkan. Orang boleh sakit hati, terpuruk, sedih, tapi jangan berada di situasi itu terlalu lama atau nggak nanti bisa gila. Ketika keyakinan kamu sudah dikelilingi hal negatif, kamu akan terjebak di sana. Hanya kita sendiri yang memutuskan apakah kita mau merasa senang atau nggak. Aku pernah ingin ke psikolog, padahal ibuku konsultan. Kadang kita butuh mediasi yang nggak berbias seperti hubungan ibu dan anak. Hal itu nggak ada salahnya juga. Intinya banyak cara yang bisa membantu diri kita sendiri menjadi lebih baik."