Tumbuh dalam broken home dapat menyebabkan seseorang memiliki emosi yang tidak stabil. Hal ini juga akan menimbulkan luka yang tidak dapat dilihat untuk siapa pun dan membutuhkan waktu untuk menyembuhkannya.
Seorang anak seharusnya belajar mencintai melalui teladan yang diberikan oleh orang tuanya. Nah, dalam keluarga broken home, seseorang mungkin tidak dilakukan baik dalam lingkungan tersebut. Dibutuhkan banyak refleksi diri dan usaha untuk mengatasi hal-hal yang kita lihat dan pelajari dari keluarga.
Lantas, apa dampak broken home saat dewasa? Simak di sini untuk mengetahui lebih lanjut!
1. Suka menyalahkan diri sendiri
Dampak broken home saat dewasa yang paling terlihat adalah perilaku menyalahkan diri sendiri hingga dewasa. Luka ini tercipta karena kita terjebak untuk membuat diri sendiri menjadi palsu agar disukai orang lain.
Sebagai anak-anak, kita ingin orang tua kita menyayangi dan menjaga kita. Jika orang tua kita tidak melakukan hal ini, kita berusaha menjadi anak yang patuh karena dengan begitu mereka akan mengasihi kita. Selain itu, kita juga terbiasa menyenangkan orang lain sehingga mengubur keinginan sendiri dan menciptakan diri yang palsu kepada dunia.
Ketika kita mengubur emosi, kita kehilangan kontak dengan siapa diri kita sebenarnya, karena perasaan adalah bagian integral dari diri kita. Kita menjalani hidup dengan ketakutan bahwa jika kita melepaskan topeng ini, kita tidak akan lagi diperhatikan, dicintai, atau diterima.
2. Pikiran selalu menjadi korban
Apa yang kita pikirkan dan yakini tentang diri kita sendiri mendorong self-talk. Cara kita berbicara pada diri sendiri dapat memberdayakan atau melemahkan kita. Negative self talk melemahkan kita dan membuat diri sendiri tidak mempunyai kendali atas hidup. Hasil akhirnya, kita akan terus berpikir atau ber-mindset sebagai korban.
Kita mungkin pernah menjadi korban saat masih anak-anak, namun kita tidak harus terus menjadi korban saat dewasa. Bahkan dalam keadaan di mana kita berpikir kita tidak punya pilihan, kita selalu punya pilihan, meski itu hanya kekuatan untuk memilih cara kita berpikir tentang hidup.
Kamu mungkin tidak mempunyai kendali atas lingkungan kehidupan saat masih anak-anak, namun yang perlu diingat bahwa kita bukan anak-anak lagi. Jadi, tanamkanlah pikiran kalau kita mampu mengubah situasi daripada pikiran sendiri.
Daripada menganggap diri sendiri sebagai korban, kamu bisa menganggap diri kita sebagai penyintas. Jika nanti kamu merasa terjebak dan tidak punya pilihan, ingatkan diri bahwa kamu lebih mampu dan bisa memegang kendali.
3. Menjadi pasif agresif
Ketika anak-anak tumbuh dalam rumah tangga yang hanya menampilkan ekspresi kemarahan yang tidak sehat, mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa kemarahan tidak dapat diterima.
Saat kecil mungkin kamu terbiasa menyaksikan kemarahan yang diungkapkan melalui kekerasan, sehingga setelah dewasa kamu berpikir bahwa kemarahan adalah emosi yang harus ditekan.
Atau jika kamu tumbuh dalam keluarga yang menekan amarah dan orang tua mengajarkan bahwa amarah adalah emosi yang seharusnya tidak kamu rasakan, kamu akan terbiasa tidak merasakannya. Bahkan sebagai orang dewasa kamu berhak merasakan kemarahan, lho!
Tanamkan pikiran ini, marah adalah emosi alami dan sehat jika kita bisa meregulasinya dengan baik. Kalau tidak diregulasi dengan baik atau mengungkapkan perasaan dengan luga, maka akan muncul sikap pasif agresif.
4. Menjadi pasif sepenuhnya
Jika kamu ditelantarkan semasa anak-anak, kamu mungkin telah mengubur kemarahan dan ketakutan dengan harapan bahwa perasaan ditinggalkan atau pengabaian akan datang lagi. Namun, jika sering mengabaikan terus perasaan amarah dan ketakutan, saat dewasa kita akan menjadi pasif dan tidak memenuhi potensi diri sendiri.
Saat kita mengubur perasaan kita, kita mengubur siapa diri kita sebenarnya. Karena trauma emosional masa kanak-kanak, kita mungkin belajar menyembunyikan bagian dari diri kita sendiri.
Namun sebagai orang dewasa, kita membutuhkan perasaan untuk memberitahukan siapa diri kita dan apa yang kita inginkan, serta membimbing kita menuju menjadi sosok yang diinginkan.
5. Takut berkomitmen
Melihat hubungan orang tua yang gagal dapat membuat anak merasa takut untuk berkomitmen, terutama ketika mereka memasuki fase dewasa dan dihadapkan pada pernikahan. Trauma yang terpendam selama bertahun-tahun dapat memengaruhi pandangan mereka tentang komitmen dan hubungan jangka panjang.
Hal itu dikarenakan kemungkinan kegagalan orang tuanya dalam membangun rumah tangga dapat membuat mereka tidak yakin apakah seseorang akan mencintai mereka seumur hidup atau mengalami kejadian serupa.
Itulah dampak broken home saat dewasa. Jika kamu kesulitan menghadapinya, kamu bisa berkonsultasi dengan para ahli seperti psikolog dan psikiater. Jangan enggan untuk meminta pertolongan, ya, Bela! Ceritakan juga ke orang terdekat yang bisa kamu percaya jika butuh diyakinkan mengunjungi ahli.