Beberapa hari lalu ketika membuka Instagram story milik teman-teman satu kampus dulu, saya melihat Instagram story yang serupa dari beberapa orang. Instagram story itu berbunyi UGM Darurat Kekerasan Seksual. Bunyikan tanda bahaya. Tunjukan dukungan. Di bawahnya, tertulis di mana dan kapan gerakan memukul kentongan dilaksanakan. Memukul kentongan sendiri dijadikan simbol dukungan dari mahasiswa supaya kasus pelecehan seksual yang terjadi segera menemukan titik cerah.
Gerakan ini berawal dari sebuah artikel yang dipublikasikan oleh Balairung Press yang berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan pada 5 November 2018 lalu. Tulisan tersebut viral karena mengungkap pengakuan salah seorang mahasiswi Fisipol UGM yang pernah mengalami pelecehan seksual oleh rekan KKN-nya berinisial HS. Perempuan yang disebut Agni (nama samaran) tersebut menjelaskan kronologinya dan bagaimana kejadian yang membuatnya trauma itu terjadi. Yang membuat berita ini dibahas di berbagai media adalah sikap pihak kampus yang terkesan lambat dalam menyikapi kasus ini. Nggak hanya itu, nggak sedikit yang cenderung menyalahkan Agni atas kejadian yang ia alami.
Artikel tersebut sempat sulit diakses karena begitu banyak orang yang ingin membaca dan penasaran dengan proses yang ditempuh Agni selama ini. Isu tersebut juga mendapat perhatian dari sejumlah netizen yang mencurahkan perhatiannya dalam beberapa akun sosial. Dalam akun Instagram plush.yogyakarta misalnya, beberapa pengikut menulis pemikirannya terkait isu tersebut. “Cabut status mahasiswa-nya, yang terlanjur rusak moralnya tidak ada harapan untuk jadi bagian memperbaiki masa depan bangsa ini, makin hancur negara ini kalo kelak dipimpin oleh mahasiswa2 macam HS #kitaagni” tulis akun @auliyababystore. “Dukung aksi #kitaagni mbak agni saudara kita sesama perempuan sedang berani menuntut keadilan atas pelecehan seksual yg dia terima selama KKN”, tulis akun @rranasarip.
Baik mereka yang satu almamater maupun bukan juga mengungkapkan kepedulian dan dukungannya terhadap kasus tersebut dengan menyematkan tagar #KitaAgni dan mengingat bahwa kejadian ini bisa terjadi pada siapa saja.
Pelecehan seksual yang dilakukan di lingkungan kampus atau melibatkan orang-orang dari kampus memang menjadi permasalahan yang terjadi hampir di seluruh instansi pendidikan, nggak terkecuali di luar negeri. Melansir dari situs American Psychological Association, ada dua hal yang bisa dilakukan penyintas ketika dirinya mengalami pelecehan seksual. Pertama, mencari dukungan dari pihak kampus. Beberapa universitas menyediakan portal khusus yang berisi hak-hak mahasiswa, salah satunya yaitu portal untuk mereka yang mengalami pelecehan seksual. Selain itu, mencari dukungan lewat organisasi atau kelompok mahasiswa juga disarankan. “Pelaku cenderung menjauhkan penyintas dari orang lain, sehingga menjalin hubungan dengan kelompok mahasiswa bisa merendahkan tingkat risiko,” ujar James Quick, profesor asal University of Texas yang meneliti tentang pecelehan seksual.
Kedua, penyintas juga bisa mencari dukungan di luar lingkungan kampus dengan mengunjungi kelompok atau layanan sosial yang fokus pada masalah pelecehan seksual. Mengunjungi psikolog juga diperlukan supaya beban yang dirasakan sedikit berkurang karena bisa bercerita dengan orang yang tepat. Sayangnya, masih belum banyak orang yang peduli dengan isu pelecehan seksual dan lebih fokus pada siapa yang layak disalahkan.
Semoga kasus ini segera bisa diselesaikan ya, Bela.