Menikah memanglah merupakan impian setiap orang. Namun di beberapa negara khususnya negara maju, ternyata menikah bukanlah merupakan suatu impian lagi dan melajang merupakan sebuah pilihan. Di Jepang sendiri, sudah bukan hal tabu jika para perempuan Jepang banyak yang memilih melajang. Oleh karenanya, angka kelahiran di Jepang sangat kurang bahkan pemerintah sampai turun tangan untuk mengatasi hal tersebut.
Budaya melajang baru-baru ini mulai juga diikuti oleh masyarakat Korea Selatan yang dikenal dengan istilah honjok. Bukan hanya Korea Selatan, di Indonesia sendiri pun, beberapa millennial ternyata banyak yang memutuskan untuk hidup melajang. Kira-kira kenapa ya?
1. Adanya pergeseran budaya
Lain dulu lain sekarang. Perkembangan teknologi serta percepatan informasi membuat budaya secara otomatis akan terpengaruh. Dari kehidupan sehari-hari sampai prinsip hidup mulai berubah. Dengan teknologi semakin berkembang dan cepatnya informasi serta kemudahannya, kini orang saling terhubung lebih mudah. Kita bisa dengan mudahnya mengenal orang asing dan membagikan beberapa informasi pribadi. Berbeda dengan zaman dahulu di mana lingkaran pertemanan lebih terbatas dan lebih privasi serta detail.
Mudahnya menemukan orang baru secara nggak langsung bisa merubah juga pola pikir dan prinsip. Jadi nggak heran jika perselingkuhan sangat rentan terjadi. Para millennial yang menyadari hal tersebut mulai membentuk pemikiran tentang nilai kesetiaan dari suatu hubungan. Pikiran pesimis tersebut secara nggak langsung membuatnya nggak mudah percaya cinta. Jadi lebih baik melajang daripada terjerumus dalam hubungan yang melelahkan.
2. Korban perceraian orangtua
Ada dua hal yang memengaruhi seseorang dari perpisahan. Hal pertama, ia ingin ketika memiliki keluarga maka akan dijaga sekuatnya dan belajar dari perceraian orangtuanya. Hal kedua adalah memilih menghindari hubungan yang menurutnya rumit akibat perceraian.
Perpisahan orangtua tentunya akan membekas pada anak hingga ia dewasa kelak. Menerima kenyataan bahwa memiliki keluarga yang nggak utuh lagi menimbulkan luka tersendiri bagi si anak. Apalagi jika perceraian kedua orangtuanya berpisah secara kurang baik. Hal tersebut bisa menimbulkan trauma. Nah, ketika sudah trauma inilah yang membuat korban perceraian nggak mengurunkan niatnya menikah karena takut berakhir seperti orangtuanya.
3. Masalah keuangan
Semakin tahun, biaya properti dan rumah tangga pastinya semakin meningkat. Kadang hal demikian terjadi nggak sejalan dengan income. Belum lagi dengan gaya hidup yang ikut berubah juga. Jika nggak mengikuti zaman, kita akan tertinggal. Masalah keuangan ini ternyata bisa menjadi penyebab perceraian, Bela. Sudah banyak yang bercerai karena masalah ekonomi.
Untuk menghindari hal itu, nggak heran beberapa perempuan single lebih memilih sendiri karena merasa kurang mampu memenuhi tanggung jawab ketika melihat keadaannya. Padahal, rezeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Biasanya yang menjadi penyebab masalah ekonomi ini adalah gaya hidup. Jika kita dan pasangan pintar mengatur keuangan dan nggak mengikuti gaya hidup alias hidup bergaya sesuai kemampuan, tentang keuangan ini nggak akan jadi masalah.
4. Mengutamakan karier
Prioritas setiap orang memang berbeda-beda dan setiap pilihan prioritas pasti memiliki konsekuensi masing-masing. Seorang workaholic tentu mengutamakan karier daripada kehidupan asmaranya. Ia merasa puas dan cinta akan pekerjaannya. Kalau memang hal tersebut membuatnya bahagia, kita nggak bisa menghalanginya selama nggak merugikan.
5. Memiliki trauma
Pernah disakiti sampai stres dan depresi serta trauma merupakan suatu gangguan yang agak panjang pengobatannya. Pengobatan luka hati bisa lebih lama daripada luka fisik. Nggak heran jika seseorang yang sudah mengalami trauma seperti sering disakiti baik secara emosional dan fisik oleh pasangan bisa membuat seseorang nggak percaya dengan adanya cinta yang tulus.
Jika sudah mengalami hingga tingkat trauma, pastinya membutuhkan tenaga ahli untuk membantu menyembuhkannya. Dukungan dari orang-orang sekitar terutama keluarga juga dibutuhkan untuk membantu memberikan masukan positif agar ia bisa percaya lagi bahwa cinta yang tulus itu nyata adanya.