Membicarakan topik tentang seks masih dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia. Banyak orang merasa malu dan enggan terbuka untuk membicarakan seks, meski pada pasangannya sendiri. Sedihnya, hal tersebut dapat berimbas pada kurangnya intimasi dan kualitas romantisme pasangan, bahkan dapat memicu ketidakharmonisan dalam hubungan.
Melihat hal ini, Durex, produk kontrasepsi modern dari Reckitt Indonesia, membuat penelitian The Pleasure Gap Study 2022. Studi ini didasari temuan awal Durex mengenai kesenjangan kepuasan seksual yang kerap dialami oleh pasangan di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Tak jarang, pasangan menganggap hal ini sepele dan membiarkannya berlarut-larut. Padahal, kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan, tentu berharap mendapatkan kepuasan yang setara saat berhubungan seksual.
Dalam acara Durex Intimate Soiree yang dilaksanakan pada Kamis (6/10/2022), Durex menghadirkan dr. Sandy Prasetyo, SpOG, seorang dokter kandungan di RSIA Brawijaya Antasari, dan Inez Kristanti, M.Psi, Psikolog Klinis dan Edukator Seksualitas, untuk menjelaskan tentang kepuasan seksual dalam hubungan.
1. Kesenjangan kepuasan seksual dalam hubungan
Pleasure gap atau kesenjangan kepuasan yang dirasakan ketika berhubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan, khususnya frekuensi yang tidak sama dalam pencapaian orgasme. Misalnya, ketika salah satu pasangan berhasil mencapai orgasme, sementara pasangan yang lain tidak merasakan kepuasan saat berhubungan seks.
Rupanya, hal ini banyak terjadi oleh pasangan di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Menurut dr. Sandy Prasetyo, SpOG, ada beberapa faktor yang menyebabkan kesenjangan kepuasan seksual. Ia mengungkapkan bahwa ini adalah hal yang penting untuk dikonsultasikan. Sebab, jika dibiarkan berlarut-larut, hal ini akan berimbas pada keharmonisan hubungan.
“Berhubungan seksual itu kan dua belah pihak, pasangan laki-laki dan pasangan perempuannya. Makanya yang dipuaskan nggak boleh cuma satu pihak saja, itu namanya egois. Memang harus dua-duanya (yang dipuaskan),” tutur dr. Sandy.
2. Kurangnya edukasi seks memicu timbulnya pleasure gap
Dokter Sandy melanjutkan, adanya kesenjangan kepuasan dalam sebuah hubungan salah satunya disebabkan karena pendidikan seks di Indonesia yang masih sangat minim. Hal ini menimbulkan kurangnya keterbukaan pasangan dalam mengomunikasikan preferensi dan keinginannya terkait aktivitas seksual bersama.
“Padahal, transparansi selama hubungan seksual juga menentukan faktor kesehatan dan keamanan saat melakukannya. Pasangan juga perlu terbuka tentang history kegiatan seksual yang pernah dilakukan oleh pasangan, melakukan pemeriksaan kesehatan seksual secara rutin, serta memilih kontrasepsi yang nyaman digunakan bersama, misalnya kondom,” lanjutnya.
3. Pentingnya komunikasi dan keterbukaan soal kepuasan seksual dengan pasangan
Menambahkan pendapat dr. Sandy, psikolog klinis, Inez Kristanti, M.Psi mengatakan bahwa komunikasi dan keterbukaan adalah hal yang penting dalam sebuah hubungan, khususnya ketika membahas tentang hubungan seksual. Hal ini berlaku baik pada laki-laki maupun perempuan. Kedua pasangan harus bisa mengomunikasikan apa yang mereka inginkan saat berhubungan seksual.
Ketika pasangan bisa berdiskusi mengenai hubungan seksualnya secara sehat, maka timbul rasa saling menghargai, saling percaya, dan saling memahami. Hubungan seksual pun menjadi lebih berkualitas dan setara yang memunculkan rasa puas, menurunkan level stres dan rasa cemas, sekaligus meningkatkan sexual confidence antara pasangan.
“Ketika ada equal respect, maka lebih mudah memunculkan equal pleasure, dan inilah yang membantu menjembatani kesenjangan kepuasan tersebut,” jelas Inez.
4. Foreplay lebih lama bisa meningkatkan kepuasan seksual
Menurut hasil penelitian The Pleasure Gap Study 2022 yang dilakukan oleh Durex, diketahui bahwa 89% pasangan menginginkan sesi foreplay yang lebih lama karena dapat membantu mereka mendapatkan kepuasan yang lebih baik. Selain itu, terungkap juga bahwa perempuan lebih menginginkan sesi foreplay yang lebih lama (92%) daripada laki-laki (86%).
Inez mengatakan bahwa sesi foreplay harus dibangun beberapa jam sebelum melakukan hubungan seksual. Tak melulu dengan sentuhan fisik, foreplay juga bisa dimulai dengan memperlakukan pasangan dengan baik, memberi pujian, bersikap lembut, atau memberikan hadiah kecil.
"Ada yang bilang foreplay starts at 7 AM. Jadi anggaplah memang segala sesuatu yang kita lakukan sebagai keintiman dengan pasangan itu menjadi salah satu bentuk foreplay juga, misalnya dengan kita bersikap baik sama pasangan. Dari sini terlihat bagaimana psikologis mempengaruhi gairah seksual seseorang,” ungkap Inez.
5. Penggunaan kondom jadi faktor pemuas hubungan seksual bagi perempuan
Selain foreplay, studi tersebut juga menemukan bahwa sebanyak 75% perempuan merasa lebih aman ketika menggunakan kondom, sehingga mereka dapat lebih menikmati aktivitas seksual dan mencapai kepuasan.
Terkait hal ini, Inez menjelaskan bahwa kondisi psikologis memengaruhi seseorang untuk mencapai kepuasan seksual. Penggunaan kondom dapat mengurangi kekhawatiran akan adanya kehamilan yang tak diinginkan, serta membuat seseorang merasa lebih aman dari risiko tertular penyakit menular seksual.
"Sebenarnya organ seksual terbesar manusia bukan genital, tetapi otak. Ini karena otak yang memerintahkan semuanya. Jadi, apa yang terjadi di tubuh kita sangat ditentukan oleh kondisi psikologis kita," ujar Inez.