Ada begitu banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan dan melampiaskan gairah seksual seseorang, mulai dari hal-hal yang umum dan bersifat normal, sampai dengan yang mengarah pada kelainan atau perilaku yang menyimpang. Salah satu perilaku seksual yang menyimpang adalah dengan menggunakan kekerasan.
Normalnya, nggak ada satu pun orang yang senang dengan 'kekerasan' dalam bentuk apa pun, kan? Nah, hal ini justru berbanding terbalik dengan konsep pemikiran seorang sadomasokis atau orang yang melakukan praktik seksual sadomasokisme.
Praktik ini memungkinkan seseorang untuk melibatkan penyiksaan dan kekerasan selama melakukan hubungan seksual. Lantas, mengapa mereka membiarkan hal itu terjadi?
Nah, untuk mengenal apa itu sadomasokime lebih dalam, yuk simak penjelasan Popbela berikut ini!
Sadomasokisme berasal dari dua konsep perilaku seksual, yaitu sadisme dan masokisme. Sadisme merupakan kenikmatan atau kepuasan seksual yang didapat dari penderitaan dan rasa sakit orang lain. Sedangkan masokisme adalah sebaliknya, kenikmatan atau kepuasan seksual dari rasa sakit atau penderitaan yang ditimpakan pada diri sendiri, sering kali terdiri dari fantasi untuk dipukuli, dihina, diikat, disiksa, atau dibuat menderita.
Jadi, sadomasokisme dapat didefinisikan sebagai kesenangan seksual yang dihasilkan dari penderitaan, rasa sakit, kesulitan atau penghinaan, yang terjadi pada diri sendiri mau pun pasangan. Perilaku ini dapat dijadikan sebagai peningkatan hubungan seksual atau pengganti kenikmatan seksual.
Sadomasokisme melihat keuntungan dari rasa sakit
Melansir dari huffpost.com, James Ambler, seorang mahasiswa pascasarjana psikologi di Northern Illinois University melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui mengapa beberapa orang terlibat dalam perilaku seksual yang menyakitkan seperti sadomasokisme. Ia merekrut “switches” atau orang-orang dalam komunitas BDSM yang suka menerima dan memberikan rasa sakit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan fungsi jangka pendek di bagian otak orang-orang yang memainkan peran penerima rasa sakit. Wilayah ini berkaitan dengan kontrol eksekutif, memori kerja, dan fungsi tingkat tinggi lainnya. Rasa sakit dari sadomasokisme dapat menyebabkan otak mengalirkan darah dari daerah ini sehingga kesadaran bisa berubah secara subjektif dan menghasilkan daya tarik pada sadomasokisme.
“Salah satu alasan mengapa aktivitas sadomasokisme ini begitu ekstrem pada tingkat tertentu adalah karena aktivitas tersebut sangat efektif dalam menyebabkan otak mengubah distribusi aliran darahnya,” jelas Ambler. Di sisi lain, orang yang menyerah pada rasa sakit akan mengambil manfaat dari kondisi ini.
Berasal dari rasa trauma
Ada sejumlah alasan mengapa seseorang melakukan praktik sadomasokisme. Jawabannya, sebagian besar bergantung pada individu itu sendiri. Salah satu alasan yang umum terjadi adalah karena rasa trauma.
Pada beberapa orang, mengambil peran atas kepatuhan atau ketidakberdayaan merupakan bentuk pelarian dari tekanan hidup, tanggung jawab dan rasa bersalah. Hal ini biasanya diakibatkan dari kejadian masa lalu yang membuatnya menyimpan trauma kejiwaan sampai akhirnya tumbuh dewasa.
Sering digunakan sebagai pelampiasan seorang sadisme
Ketika mengenal sadomasokisme, kita akan sadar bahwa orang sadis lebih memiliki kuasa atas semua tindakan seksual yang dilakukan bersama. Mereka akan memperoleh kekuasaan, otoritas, dan kendali atas penderitaan masokis. Hal ini yang bisa membuat mereka dengan mudahnya memindahkan atau mengkambing hitamkan perasaan masokis. Mereka bisa melampiaskan perasaan tidak nyaman seperti kemarahan dan rasa bersalah kepada pasangannya.
Sadomasokisme bisa terjadi pada berbagai usia
Sadomasokisme tidak hanya bisa terjadi pada orang dewasa, lho. Beberapa orang melaporkan pernah mengalaminya sebelum pubertas.
Menurut sebuah penelitian, mayoritas sadomasokis laki-laki (53%) mengembangkan minat mereka sebelum usia 15 tahun, sedangkan mayoritas perempuan (78%) mengembangkan minat mereka setelah itu.
Sadomasokisme tidak sepenuhnya seksual, melainkan spiritual
Jika ditelaah lebih lanjut, ternyata sadomasokisme tidak sepenuhnya terkait soal seksual, lho. Ada sisi lain yang membuatnya bisa berhubungan dengan meditasi atau spiritual. Ellen Lee, seorang mahasiswa pascasarjana psikologi di Northern Illinois University, dengan pembimbingnya, Brad Sagarin, dan Tim Peneliti BDSM mereka melakukan sebuah penelitian nonseksual yang bersifat menyakitkan pada beberapa orang di komunitas.
Mereka menindik sementara kulit semua peserta dan mengaitkan tali di sana. Tali itu kemudian saling dihubungkan satu sama lain. Hasilnya, terjadi peningkatan kadar kortisol selama ritual tersebut. Selain itu, ada hasil yang mengejutkan yang terjadi. Para peserta melaporkan bahwa stresnya berkurang. Mereka juga merasa bisa lebih terhubung dengan orang lain.
Pengobatan sadomasokisme
Sadomasokisme biasanya dilakukan dengan perasaan sukarela tanpa paksaan, maka pelakunya jarang meminta bantuan, kecuali mereka berubah pikiran dan terluka. Untuk itu, pengobatan sangat bergantung pada kemauan dan motivasi mereka untuk berubah.
Beberapa jenis terapi telah ditemukan dalam mengobati sadomasokisme termasuk psikoterapi, terapi perilaku kognitif, keengganan dan pendekatan terapi perilaku positif, terapi realitas, pengobatan hormonal, teknik rekondisi dan restrukturasi.
Itulah sejumlah informasi yang bisa membuatmu mengenal sadomasokisme. Semoga bermanfaat!