Akhir-akhir ini ramai perbincangan resesi. Bukan hanya resesi ekonomi, ternyata resesi seks juga sedang menghantui, khususnya beberapa negara-negara maju. Negara yang sedang menghadapi resesi ini adalah Korea Selatan.
Negeri Gingseng ini memang sudah mengalami masalah kesuburan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2021 sendiri, tingkat kesuburan di Korsel turun 0,03 persen menjadi 0,81 persen. Lantas apa siih resesi seks ini dan apa yang menyebabkannya? Berikut penjelasan yang lebih lengkap, lanjut scroll, Bela!
Resesi seks adalah menyusutnya berhubungan seks
Resesi seks merujuk pada fenomena berhubungan seks yang kian menurun. Ini pertama kali dicetuskan pada tahun 2018 oleh Kate Julian dalam tulisannya di The Atlantic. Resesi seks merujuk pada fenomena hubungan seks yang kian surut.
Resesi seks bisa jadi fenomena di mana orang-orang menjadi kurang aktif secara seksual. Mengutip dari Parent Map, sebuah penelitian menunjukkan bahwa kehidupan pandemi COVID-19 ini justru telah menyebabkan penurunan tajam dalam frekuensi dan kualitas seks.
Semakin tahun, penelitian mencatat bahwa adanya penurunan frekuensi berhubungan seks pada banyak orang. Tren resesi seks ini menjadi paling menonjol di kalangan remaja dan dewasa muda.
Ekonomi jadi salah satu penyebab resesi seks Korea Selatan
Tentunya penyebab resesi seks menjadi pertanyaan banyak orang. Dari hasil wawancara dengan para ahli, Kate Julian mendapat berbagai macam jawaban terkait penyebab resesi seks. Beberapa di antaranya:
- Penggunaan antidepresan
- Tingkat kecemasan tinggi
- Tekanan ekonomi
- Video porno
- Kurang tidur
- obesitas
- Pola asuh atau cara orangtua mendidik
Di samping itu, tidak adanya lagi tekanan untuk berhubungan seks, ragam orientasi seksual, prioritas berbeda (pendidikan, karier), dan kemerdekaan lebih untuk memilih pasangan hidup, menjadi penyebab munculnya resesi seks.
Di Korea Selatan sendiri ada tiga hal yang menjadi penyebab resesi seks. Pertama, tak ingin berkencan atau menikah. Mayoritas perempuan di Korea mengaku tak punya waktu, uang, hingga kapasitas emosional untuk berkencan.
Para generasi muda ini bahkan dijuluki "generasi sampo", yang berarti generasi yang menyerah terhadap tiga hal, yaitu berkencan, menikah, dan punya anak. Pernikahan dan berkencan bukan menjadi priortias para anak muda Korea Selatan.
Kesulitan ekonomi juga menjadi alasan mereka tak mau menikah dan punya anak, walau pemerintah sudah memberikan biaya untuk persalinan hingga pendidikan. Ini karena banyak di antara orang-orang tersebut hanya bekerja sebagai buruh kontrak, berupah rendah, dan jaminan pendapatan yang tak menentu.
Alasan ketiga, tak punya waktu karena sibuk kerja. Dalam sepekan saja, jam kerja di Korea Selatan bisa mencapai 68 jam. Melihat hal tersebut, pemerintah sampai memangkas jam kerja menjadi 52 jam sehingga para warga punya kehidupan personal usai bekerja.
Beberapa negara maju juga dihantui resesi seks
Selain Korea Selatan, resesi seks ini juga menghantui Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Singapura, dan Rusia. Melihat negara di kawasan Asia, Jepang misalnya, menjadi salah satu negara dengan yang paling hebat dihantam fenomena ini.
Mengutip CNBC, dalam sebuah laporan resmi terbaru tahun 2021, angka laki-laki dan perempuan di Jepang yang tidak ingin menikah telah memecahkan rekor baru. Rilisan Institut Nasional Kependudukan dan Jaminan Sosial menemukan bahwa 17,3% laki-laki dan 14,6% perempuan berusia antara 18 dan 34 tahun di Jepang mengatakan mereka tidak berniat untuk menikah.
Tiongkok sendiri dilaporkan tengah mengalami 'resesi seks', karena dalam satu dekade terakhir angka kelahiran turun ke tingkat terendah sejak tahun 1960-an. Tak ada alasan langsung mengapa angka kelahiran turun.
Tapi, beberapa pakar demografi menyebut bahwa hal ini diakibatkan oleh rendahnya perempuan yang menginginkan kehamilan dan setengah dari perempuan muda yang tinggal di perkotaan juga enggan menikah.
Dari tak punya waktu atau energi menjadi alasan mereka untuk tidak menikah. Ada juga yang tak percaya pada pernikahan, sampai mengatakan tidak pernah jatuh cinta. Kultur kerja 9-9-6 (bekerja 9 pagi sampai 9 malam, enam hari seminggu) juga menyumbang faktor.
Penurunan jumlah pernikahan di negara-negara ini memiliki konsekuensi terhadap tingkat kelahiran, pertumbuhan penduduk yang negatif, kurangnya individu usia produksi hingga akhirnya mengancam perekonomian negara di masa depan.
Budaya kencan di Korea Selatan
Budaya kencan di Korea Selatan sendiri terbilang unik. Salah satunya adalah kencan buta yang sangat umum. Mengutip dari Korea JoongAng Daily, setiap aspek kencan di Korea tampak begitu terstruktur dan terstandarisasi, dari mulai bagaimana kalian bertemu hingga saat mulai berkencan telah direncanakan.
Prof. Irene Yung Park dari departemen budaya dan sastra komparatif Universitas Yonsei, menjelaskan bahwa “kencan” adalah konsep sosial yang relatif baru di Korea, yang berkembang pada tahun 1960-an dengan struktur keluarga yang afektif.
Keluarga afektif adalah konsep keluarga modern saat ini, di mana cinta adalah syarat awal untuk menikah. Sebelum muncul tren kencan, konsep yang dipakai adalah model keluarga Konfusianisme, di mana pernikahan adalah sarana untuk mengamankan stabilitas sosial dan ekonomi, merupakan standar.
Karena pengenalan budaya kencan Korea yang relatif baru, praktik kencan masyarakat Korea diciptakan terutama karena kebutuhan sosial, bukan norma yang sudah ada sebelumnya. Ada tahapan-tahapan tersendiri dalam kencan di Korea Selatan, bahkan istilah "aturan 3 kencan", yang berarti kalian masuk ke tahap yang lebih serius.
Karena terlalu banyak budaya dan tahapan-tahapan yang mungkin menguras banyak waktu atau biaya, menjadikan para generasi muda saat ini malas untuk berkencan. Mereka juga lebih fokus pada tuntutan karier atau pendidikan daripada mengerus hal percintaan.
Itulah penjelasan tentang resesi seks yang dialami oleh Korea Selatan dan menghantui beberapa negara lainnya. Kalau menurutmu, Indonesia juga akan terkena, nggak?