Dalam cerita-cerita dongeng, cara paling romantis untuk menyatakan perasaan sayang adalah menulis surat untuk si dia yang jauh di sana. Setelah itu, memanggil merpati pengantar surat dan memercayakan dia untuk terbang dan menjatuhkan suratnya di depan rumah kekasih. Begitu banyak usaha yang dikeluarkan hanya untuk mengucapkan rindu kepada yang tersayang. Selain kemampuan merangkai kata-kata yang puitis, kecepatan pengiriman pesan yang entah kapan sampainya seolah menambah romantisme kisah cinta.
Seiring berkembangnya teknologi, romantis bukan lagi masalah penantian panjang dan tulisan tangan yang indah, melainkan emoji berbentuk hati, jaringan internet yang nggak putus-putus serta kuota internet yang banyak. Ekspresi sayang kepada pacar kerap dicurahkan dalam bentuk foto. Katanya, a picture is worth a thousand words. Kadang, foto yang dibagikan bukan sembarang foto, tetapi foto yang memiliki “nilai” tersendiri bagi penerimanya, foto yang nggak bisa sembarang orang lihat dan sangat intim. Tukar-menukar foto pribadi kepada pacar ini berubah menjadi tren yang disebut sexting.
1. Apa itu sexting?
Istilah ini sebenarnya sudah lama ada, seenggaknya sejak tahun 2005, dalam sebuah artikel di Los Angeles Times di mana sexting dimaknai sebagai sex messaging atau seks melalui pesan singkat. Sempat menghilang, istilah ini kembali muncul setelah The National Campaign and Unplanned Pregnancy bersama Cosmogirl.com mengadakan survei di tahun 2008 tentang tren bertukar foto dan teks vulgar antar remaja, seperti yang ditulis dalam The Atlantic.
Menurut Walker, Sanci dan Temple-Smith dalam Journal of Adolescent Health menyebutkan kalau sexting sebagai produksi dan distribusi gambar secara eksplisit yang mengandung seksualitas melalui teknologi komunikasi. Namun, sexting kini nggak sebatas gambar, tapi juga teks serta video.
2. Siapa yang melakukannya?
Saling mengirim gambar dan kata-kata berbau seksual sebenarnya bisa menjadi “bumbu” dalam hubungan suami istri. Menurut psikolog Inez Kristanti saat diwawancarai oleh Popbela, cinta dapat dibagi berdasarkan tiga komponen yakni intimacy, passion dan commitment. Bagi pasangan yang sudah menikah, hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas, salah satunya yaitu sexting, masuk dalam komponen passion. Sexting pun dianggap wajar dilakukan oleh pasangan yang sudah berkomitmen untuk membangkitkan semangat dan gairah dalam hubungan mereka.
Sayangnya, sexting bukan hanya dilakukan oleh pasangan resmi, tapi juga mereka yang masih menjalin hubungan tingkat pacaran, bahkan orang yang baru dikenalnya di dunia maya. Penelitian yang dilakukan oleh Drouin, Vogel, Surbey dan Stills dalam tulisan Let’s talk about sexting, baby: Computer-mediated sexual behaviors among young adults, mengungkapkan bahwa sexting dilakukan baik dengan pasangan tetap atau nggak tetap. Maka dari itu, sexting dipandang sebagai permulaan sebelum melakukan hubungan seksual yang sesungguhnya dengan pasangan nggak tetap.
Sebuah data mencengangkan dicatat oleh situs Cybersafewarwickshire.com bahwa pada tahun 2017 lalu, ada 400 anak di bawah usia 12 tahun harus berhadapan dengan polisi di Inggris dalam 3 tahun terakhir. Sebanyak 4 ribu kasus anak di bawah umur membagikan foto-foto berbau seksual kepada teman-temannya.
3. Apa yang dicari lewat sexting?
“Mungkin ada suatu kepuasan tersendiri melakukan hal tersebut atau karena jauh dari pasangan dan nggak mungkin berhubungan seks, jadinya melakukan hal tersebut. Bisa juga kalau terobsesi dengan lawan sexting-nya,” tutur Andre (nama samaran), laki-laki yang Popbela wawancarai terkait motif sexting. Meski mengaku belum pernah melakukan sexting, namun jawaban Andre nggak jauh berbeda dengan pernyataan C.J. Ferguson yang dimuat dalam jurnal psikologi Universitas Gunadarma berjudul Harga Diri, Sexting dan Jumlah Pasangan Seks yang Dimiliki oleh Pria Lajang Pelaku Perilaku Seks Berisiko karya Rahardjo dkk. “Sexting cenderung dilakukan oleh individu yang menganggap seks merupakan sesuatu yang menyenangkan dan memuaskan.”
Rupanya, sexting bukan hanya soal kepuasan. Dalam jurnal di atas juga disebutkan, laki-laki (remaja dan dewasa) lebih mudah melakukan sexting ketimbang perempuan. Hal itu menyangkut pada harga diri yang dimiliki laki-laki. Semakin banyak memiliki pasangan sexting maka laki-laki cenderung merasa memiliki harga diri yang lebih baik. Sedangkan perempuan cenderung lebih sulit melakukan sexting karena perempuan membutuhkan komitmen dan rasa aman dalam hubungan sebelum melakukan sexting.
4. Risiko yang mengintai
Rasa aman yang dibutuhkan perempuan erat kaitannya dengan aktivitas sexting yang menyimpan banyak risiko apalagi jika hal tersebut dilakukan secara terpaksa sebagai “bukti sayang”. Aktivitas sexting mengandalkan koneksi internet dan teknologi. Inez selaku psikolog juga memberikan risiko yang akan dihadapi pelaku sexting.
Ketika seseorang melakukan sexting, maka diam-diam teknologi yang kita punya menyimpan jejak tersebut. Menghapus chat, foto atau video berbau seksual dari smartphone belum tentu berarti aman. “Ada beberapa aplikasi yang masih menyimpan teks atau gambar yang terkirim. Lalu kalau kirim foto telanjang ke orang lain, kita nggak bisa menjamin foto tersebut akan terhapus. Walaupun dia nggak menyebarkan, gadget dia sewaktu-waktu bisa tercuri atau perlu diperbaiki oleh orang lain sehingga bisa saja gambar-gambar tersebut jatuh di tangan orang lain dan disalahgunakan,” tuturnya.
Fakta “horor” tersebut nggak berhenti sampai di situ. Meski kini sudah ada beberapa aplikasi yang secara otomatis menghapus data yang pernah dimuat, namun pelaku yang memiliki niat terselubung bisa mengabadikan data pribadi tersebut dengan cara screenshot. Jika foto-foto intim tersebut tersebar, maka bisa menimbulkan dampak psikologis. “Orang yang bersangkutan bisa merasa malu, kecewa pada diri sendiri, menyesal, merasa nggak berharga, apalagi kalau menerima ancaman dari pasangan bahwa foto-fotonya akan disebarkan. Kalau pun nggak disebarkan, orang yang pernah melakukan sexting atau mengirim foto vulgar merasa nggak tenang, takut sewaktu-waktu fotonya bisa tersebar.”
5. Sexting sama dengan tanda cinta?
Di pergaulan yang semakin bebas ini, nggak sedikit orang yang baru bertemu di internet, atau sepasang kekasih, yang bertukar foto vulgar sebagai ekspresi cinta. Bahkan, ada pula yang memaksa pasangannya untuk mengirimkan foto sebagai bukti sayang. Padahal, sexting merupakan hal yang bisa dilakukan tanpa perasaan atau komitmen karena sexting didorong oleh hasrat seksual untuk mencapai kepuasan dan memenuhi fantasi. Berbagi informasi pribadi kepada orang lain, apalagi melalui internet, akan sangat berisiko. Kita nggak pernah tahu maksud tersembunyi dari orang yang berinteraksi dengan kita. Bukan hanya disalahgunakan, bisa jadi foto tersebut hanya dijadikan sebagai koleksi yang bakal dibangga-banggakan kepada teman-temannya untuk meningkatkan harga diri di lingkungan sosialnya.
Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti lho, tapi sebagai pengingat bahwa apa yang kita lakukan di dunia maya akan selalu meninggalkan “jejak”. Daripada menyesal di kemudian hari, lebih baik mulai lebih berhati-hati saat menggunakan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.