Menerima pertanyaan, “Kapan menikah?” akan sering kamu dengar kala usia sudah menginjak angka 20an. Terutama bagi perempuan, menikah di usia muda nampaknya sudah menjadi perbincangan yang tak terhindarkan. Baik karena alasan kesehatan atau kebiasaan, perempuan diharapkan bisa segera menemukan pasangan hidup mereka. Padahal pada kenyataannya, tidak semua perempuan siap menikah di usia belia. Ada cukup banyak perempuan yang lebih memilh memprioritaskan hal lain sebelum menikah. Lalu jika tingkat kesiapan perempuan berbeda, apakah menikah di usia muda tetap harus dipaksakan?
Ada cukup banyak orang yang ingin segera menikah karena faktor usia. Meskipun kalau ditanya soal kesiapan emosional, hal ini masih menjadi tanda tanya.
Seorang teman pernah bertanya pada saya kapan kira-kira rencana akan menikah. Waktu itu saya menjawab, “Yah yang jelas di atas umur 25 lah”. Dengan wajah kaget, ia lalu berkata bahwa umur di atas 25 itu terlalu tua untuk menikah. Menurutnya, seorang perempuan akan lebih baik kalau menikah di bawah 25. Saya pun menjawab pernyataannya tersebut dengan jawaban:
"Ya kalau belum siap, bagaimana? Masa mau menikah karena urusan umur?"
Ilustrasi obrolan di atas mungkin pernah kamu dengar atau bahkan alami juga. Seringkali usia dijadikan patokan untuk mengukur kepantasan pernikahan. Walaupun telah hidup di era modern, masih banyak orang yang menganggap bahwa di usia tertentu orang seharusnya sudah menikah. Padahal kalau dilihat dari kematangan mental, orang tersebut belum tentu siap. Namun karena faktor kebiasaan, tuntutan untuk segera menikah seringkali datang.
Kesiapan seseorang untuk menikah jelas tidak ditentukan dari usianya. Ada orang yang mungkin sudah siap saat ia masih muda. Sementara tak sedikit juga yang belum siap, meskipun secara umur terbilang telah cukup. Beberapa di antaranya bisa jadi tidak memikirkan pernikahan karena masih banyak yang dikejar. Entah itu karir, pendidikan, atau hal lainnya.
Menikah kerap juga dilihat sebagai keharusan. Sehingga jika ada yang belum melakukannya, maka fase hidupnya dianggap belum sempurna.
Meskipun tidak dikatakan secara gamblang, menikah seringkali dilihat sebagai bentuk kewajiban. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi dan bekerja, maka orang-orang sekitar seolah mewajibkanmu memasuki fase berikutnya yakni menikah. Jika hal tersebut belum terpenuhi, maka ada anggapan bahwa hidup belumlah lengkap. Secara tidak langsung, kita diharuskan melakukan siklus hidup yang dijalani oleh kebanyakan orang.
Tentunya bagi sebagian orang hal seperti ini cukup menganggu. Kamu juga mungkin bertanya, haruskah kita mengikuti standar hidup seperti yang dilakukan orang lain? Apakah kita harus menikah karena alasan usia? Lalu kalau tidak melakukannya, apa itu pertanda kita salah?
Sederet pertanyaan di atas bisa jadi ada di kepalamu. Kamu yang sudah berada di usia matang mungkin sering mendengar pertanyaan serupa. Pertanyaan mengenai kapan akan menikah entah dari orangtua, keluarga besar, atau tetangga yang kadang bikin risih telinga.
Namun yang perlu diingat adalah pernikahan bukanlah pertandingan. Kamu tidak harus menikah karena alasan usia atau tuntutan orang.
Popbela paham kalau rentetan pertanyaan tentang kapan akan menikah akan membuatmu jengah. Rasanya kalau bisa, ingin deh cepat-cepat menikah untuk membungkam mulut mereka. Tapi ingat pernikahan bukanlah pertandingan. Kamu tidak harus kok memenuhi ekspetasi orang kalau memang secara mental belum siap berkomitmen dalam pernikahan.
Nikmati saja jalan cerita hidupmu, Bela. Karena kalau waktunya sudah tiba, rasa siap itu akan datang dengan sendirinya. Kelak saat kamu bertemu dia yang membuat yakin, Popbela percaya tidak perlu waktu lama untuk mengatakan “ya” pada pernikahan. Ikutilah setiap alur hidup yang sudah Tuhan persiapkan. Karena pernikahan bukanlah pertandingan yang pemenangnya ditentukan dari siapa yang menikah duluan.