Menikah adalah salah satu dari sekian sunnah Rasulullah yang diikuti umat Islam. Menyatukan laki-laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan juga disebut sebagai penyempurna separuh agama. Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka mereka harus siap lahir dan batin.
Di sisi lain, ada berbagai fenomena yang terjadi berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya, perempuan yang menikah ketika sedang hamil. Kerap menjadi perdebatan, apakah pernikahan itu menjadi sah di mata hukum dan agama? Untuk menjawab masalah ini, Popbela telah merangkum topik tentang hukum menikah saat hamil dalam agama Islam. Yuk, simak ulasannya!
Pemahaman berdasarkan empat mazhab
Hukum agama selalu menjadi patokan untuk menilai peristiwa yang sedang terjadi. Dalam Islam, kita mengenal empat mazhab sebagai penuntun. Yakni, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Untuk melihat kasus perempuan menikah saat hamil, simak beberapa pendapat dari keempat mazhab ini sebagai berikut.
1. Mazhab Hanafi
Dalam pandangan ulama Hanafi sendiri masih ada beberapa perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Melansir laman Perbandingan Mazhab Universitas Darussalam Gontor, seperti ini pemaparannya:
- Hukumnya tetap sah. Perempuan tersebut bisa menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau tidak.
- Pernikahannya sah, asalkan harus dengan laki-laki yang menghamili. Namun, belum boleh berkumpul sampai sudah melahirkan.
- Diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain asalkan sudah melahirkan.
- Boleh menikah, dengan syarat sudah melalui masa haid dan suci. Begitu sudah menikah, maka tidak boleh berkumpul, kecuali sudah melewati masa istibro' (masa menunggu bersih setelah perempuan mengandung).
2. Mazhab Maliki dan Hambali
Menurut pendapat kedua imam yakni, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, pernikahan dari perempuan yang sedang hamil tidaklah sah. Jika ingin tetap melakukannya, maka harus menunggu perempuan tersebut melahirkan, serta melewati masa 'iddah-nya.
Selain itu, dalam pandangan mazhab Hambali juga menambahkan satu syarat lagi. Yaitu, perempuan tersebut wajib bertaubat nasuha dari dosa zinanya. Jika tidak dilakukan, maka dia tidak boleh menikah dengan siapa pun.
3. Mazhab Syafi'i
Jika mengacu pada pendapat ulama Syafi'i, maka hukum menikah saat hamil adalah sah. Baik itu dilakukan oleh laki-laki yang menghamilinya maupun tidak. Melansir dari laman Lampung NU, mazhab Syafi'i menganalogikan hal tersebut seperti ini:
"Kalau satu orang mencuri buah dari satu pohon, ketika itu haram. Kemudian dia beli pohon itu, maka apakah buahnya tadi masih haram atau sudah halal? Itu sudah halal. Tadinya haram, kemudian menikah baik-baik, maka menjadi halal”.
Namun, apakah dosa zina itu terbebas? Tentu tidak. Hanya saja menurut mazhab ini, perempuan yang berzina tidak memiliki masa 'iddah, jadi pernikahan yang berlangsung tetap sah.
Pedoman Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan bagian dari fikih Indonesia. Pedoman ini juga mengacu dari kitab-kitab klasik untuk menyelesaikan segala permasalahan umat. KHI juga dijadikan sebagai dasar hukum oleh Pengadilan Agama.
Mengutip dari beberapa sumber yang berkaitan dengan permasalahan perempuan menikah saat hamil, dalam KHI dengan instruksi Presiden RI nomor 1 tanggal 10 Juni 1991, pada bab VIII tentang kawin hamil dari pasal 53 telah diputuskan sebagai berikut:
- Tertuang pada ayat 1, perempuan yang hamil di luar nikah bisa menikah dengan laki-laki yang menghamilinya.
- Dalam ayat 2, pernikahan perempuan hamil bisa dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anak.
- Pada ayat 3, setelah anaknya lahir, maka pernikahan tersebut tidak perlu diulang.
Sabda Rasulullah SAW tentang menikah saat hamil
Melangsungkan pernikahan saat mengandung adalah perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana yang tertuang dalam hadis berikut ini
لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
Artinya:
“Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang perempuan hamil (karena zina) hingga melahirkan.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim).
Kemudian dalam sabda Rasulullah SAW lainnya:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فلا يسقي ماءه زرع غيره
Artinya:
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia menuangkan air maninya pada tanaman orang lain.” (HR. Ahmad)
Dari sabda Rasulullah di atas ialah dilarang bagi seorang laki-laki menikah dengan perempuan hamil, kecuali sudah melahirkan. Begitu pun dalam hadis kedua, jika yang menikahinya adalah laki-laki lain, dikhawatirkan masih tersisa air mani dari lelaki yang menghamili perempuan tersebut.
Jadi ditegaskan agar menunggu selesai mengandung dan sudah bersih. Karena jika tercampur, dikhawatirkan akan membuat nasab anak menjadi rancu.
Itulah pembahasan tentang perempuan menikah saat hamil dari berbagai sudut pandang. Wallahu a'lam bissawab.