Saat hendak menikah, pasti ada banyak hal yang perlu dipersiapkan. Mulai dari seserahan sampai maskawin dan mahar. Maskawin dan merupakan salah satu hal penting yang perlu dipersiapkan dengan matang terutama oleh mempelai laki-laki.
Biaya yang besar pun rela dikeluarkan untuk memberikan mahar dan maskawin terbaik. Tapi, apa sih bedanya mahar dan maskawin dalam pernikahan? Berikut penjelasannya serta beberapa fakta-fakta menarik tentangnya.
1. Perbedaan mahar dan maskawin dari bahasanya
Perbedaan mahar dan maskawin bisa dilihat dari asal bahasanya. Mahar diambil dari bahasa Arab, Al Mahr, yang berarti sebagian harta suami yang diberikan untuk istri saat akad nikah. Mahar juga memiliki sebutan lain, yaitu nihlah, shadaq, ‘alaiq hibah, dan faridah.
Maskawin adalah penyebutan mahar dalam bahasa Indonesia. Mahar atau maskawin adalah sebuah pemberian kepada perempuan, baik berupa uang, barang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan ketentuan Islam.
2. Mahar merupakan bukti keseriusan
Mahar menjadi bukti keseriusan, kerelaan dan kesepakatan mempelai laki-laki dalam membangun rumah tangga dengan istrinya. Ini merupakan pelengkap atau simbolis. Mahar bersifat tidak memberatkan dan biasanya telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Tak harus barang mahal, mahar bisa berbentuk jasa yang bermanfaat, seperti mengajar atau memberdayakan. Ini bahkan bisa dibayar dalam utang jika pengantin laki-laki belum mampu membayar secara tunai.
3. Hukum mahar dalam Islam
Dalam Islam, ada hukum yang mengatur tentang mahar dan mas kawin. Hukum mahar tertuang dalam Alquran surat An-Nisa ayat 4, Allah berfirman:
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya."
Mahar hanya diperuntukkan untuk perempuan yang dinikahi saja, keluarga bahkan suaminya sendiri pun tak bisa menggunakannya kecuali seizin sang istri. Ini dikutip dari penjelasan Syaikh ‘Abdul ‘Azhim al-Badawi.
“Dengan demikian, mahar adalah hak istri yang wajib dipenuhi suami. Dan mahar adalah harta milik istri, tidak halal bagi siapa saja, baik ayahnya atau orang lain, untuk mengambil darinya sedikitpun. Kecuali jika si wanita merelakan jika mahar tersebut diambil.”
4. Tidak ada aturan resmi tentang nilai mahar
Tak ada syariat yang menetapkan besaran nilai mahar. Mahar boleh saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan saling rida. Akan lebih baik kerelaan dari sang pemberi. An-Nawawi menjelaskan,
في هذا الحديث أنه يجوز أن يكون الصداق قليلا وكثيرا مما يتمول إذا تراضى به الزوجان، لأن خاتم الحديد في نهاية من القلة، وهذا مذهب الشافعي وهو مذهب جماهير العلماء من السلف والخلف
“Hadis ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) dan boleh juga banyak (bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling rida, karena cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan juga pendapat jumhur ulama dari salaf dan khalaf.” (Syarh Shahih Muslim 9/190)
Dalam sebuah hadis, Rasulullah pernah mengatakan:
"Wanita yang paling besar berkahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya." (H.R. Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Ini berarti perempuan diperkenankan untuk tidak memberatkan calon suami perihal mahal atau tidaknya mahar tersebut.
5. Mitos tentang utang mahar
Ada beberapa kekeliruan tentang arti dari utang mahar. Contohnya, saat berumah tangga, suami kerap meminjam uang dari istri atau meminjam barang berharga yang dulu merupakan mahar bagi istri.
Ketika bercerai, sang istri menuntut agar utang mahar tersebut dikembalikan. Sebenarnya, hal itu bukan disebut utang mahar. Istilah dari utang mahar atau mahar terutang sendiri adalah mahar yang sudah disebutkan dalam akad nikah, namun belum pernah dibayar oleh suami.
Saat sudah diberikan pasca ijab kabul, maka mahar tersebut menjadi hak pribadi dan tidak lagi disebut mahar. Oleh karena itu, itu akan disebut utang bukan utang mahar. Hubungan hukumnya jatuh pada utang piutang biasa.
6. Syarat mahar dan ketentuan gugurnya
Ada beberapa hal yang menjadi acuan untuk memberikan mahar atau maskawin. Ini biasa disebut dari syarat mahar yang termasuk:
- Harta atau benda berharga
- Barangnya suci dan bermanfaat
- Bukan barang ghasab karena akan tidak sah; ghasab sendiri adalah mengambil barang milik orang lain tanpa izin kepada pemiliknya, tetapi tidak ada maksud untuk memilikinya karena berniat akan dikembalikan
- Bukan barang yang tidak jelas keadaannya atau tidak disebutkan jenisnya
Selain itu, mahar juga bisa gugur. Menurut Mazhab Hanafi, semua mahar akan jauh dari suami apabila terjadi salah satu dari empat sebab, yaitu:
- Perpisahan yang bukan karena perceraian, misalnya seorang perempuan memilih membatalkan perkawinan akibat adanya cacat pada suaminya.
- Khulu’ terhadap mahar sebelum terjadinya persetubuhan atau setelahnya.
- Pembebasan dari semua mahar sebelum terjadinya persetubuhan atau setelahnya.
- Istri menghibahkan semua mahar untuk suami.
7. Dua macam mahar
Ada dua macam mahar yang diberikan suami kepada istri, yaitu:
1. Mahar Musamma
Ini merupakan mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan saat akad. Para ulama juga sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut.
Menurut Syafi’i, Hambali, dan Imamiyah, mahar ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dan tidak ada batasan minimal dalam mahar. Menurut Hanafi, jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Apabila suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu maka akad tetap sah dan wajib membayar mahar sepuluh dirham.
Menurut Maliki, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham, apabila akad dilakukan kurang dari jumlah mahar tersebut, kemudian terjadi pencampuran maka suami harus membayar tiga dirham.
2. Mahar mitsil
Mahar mitsil adalah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri. Pada waktu akad nikah, jumlah mahar belum ditetapkan bentuknya. Ada tiga kemungkinan yang diwajibkan dalam mahar mitsil diwajibkan, antara lain:
- Ketika berlangsungnya akad nikah, suami tidak menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya
- Suami menyebutkan mahar musamma dan mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat
- Suami menyebutkan mahar musamma namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat terselesaikan
Tak ada ukuran pasti terkait jumlah dan bentuk dari mahar mitsil. Biasanya, ini disesuaikan dengan kedudukan istri di tengah-tengah masyarakat.
Itulah perbedaan mahar dan maskawin dalam pernikahan serta beberapa fakta-fakta menariknya.