Siapa bilang pernikahan dini itu cuma ada di sinetron? Ya, hal itu bukan isapan jempol atau dongeng semata, baru-baru ini masyarakat Indonesia digegerkan dengan kisah sepasang anak SMP asal Sulawesi Selatan yang kebelet nikah di usia yang masih sangat belia di media sosial. Sang mempelai pria sendiri berusia 15 tahun 10 bulan dan kekasih perempuannya saat ini berumur 14 tahun 9 bulan. Pernikahan mereka pun terjadi bukan tanpa alasan, di mana 'takut tidur sendiri' menjadi alasan keduanya menikah dini.
Memang terdengar konyol, namun itulah yang menjadi alasan keduanya begitu terburu-buru ingin menikah. Bukan tanpa rintangan, saat mendaftarkan penikahan mereka ke Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bantaeng, keduanya sempat ditolak karena usia mereka masih sangat muda untuk menikah. Meski begitu, usaha pasangan SMP yang kebelet nikah ini tak berhenti sampai di situ saja. Lewat bantuan keluarga, pasangan muda ini berhasil mendapat izin dari Pengadilan Agama untuk menikah di usia dini.
Fenomena perkawinan usia anak di Indonesia memang bukanlah hal yang baru dan masih sangat tinggi. Sekitar 1000 anak perempuan menikah setiap hari di Indonesia. Berdasarkan data UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia. Di Indonesia, perkawinan anak menghasilkan 375 pengantin anak setiap harinya. Meskipun kasus pernikahan dini menjadi permasalahan serius yang kini dihadapi bangsa ini, bukan berarti tidak ada solusi untuk mengatasinya. Berikut ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar fenomena pernikahan dini tidak semakin bertambah.
Undang-Undang Perkawinan yang berlaku saat ini dinilai bertolak belakang dengan regulasi perlindungan anak. Dalam UU Perkawinan tertulis bahwa usia minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan adalah 16 tahun. Sementara dalam UU Perlindungan Anak, sudah sangat jelas bahwa anak-anak yang berhak mendapatkan perlindungan adalah mereka yang berusia di bawah dan sampai dengan 18 tahun.
Pemerintah harus mengambil peran dengan merevisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini sudah ketinggalan zaman dan akan bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk ikut menghapus praktek pernikahan dini pada 2030, seperti yang telah disepakati dalam Sustainable Development Goals. Mau tidak mau, UU itu harus direvisi segera.
Masyarakat harus memahami bahwa pernikahan dini hanya akan memupus semua impian para pelaku, terutama yang dikorbankan adalah perempuan. Para orangtua harus sadar bahwa pendidikan itu sangat penting. Kalau masalahnya adalah karena keadaan ekonomi yang tidak mencukupi atau tidak adanya dana untuk pendidikan, ada banyak bantuan yang bisa digunakan contohnya. Seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Mengingat dampak negatif pernikahan dini, maka setiap individu harus mengupayakan agar menikah ketika usia sudah mencukupi. Dalam hal ini juga termasuk perlunya dukungan orangtua untuk tidak menikahkan anak pada usia dini. Karena ketika seorang remaja "dipaksa" untuk berkeluarga dan kemudian punya anak, fokusnya beralih pada upaya merawat keluarga dan anak-anaknya.
Akan tetapi jika pernikahan dini sudah terjadi, setiap pasangan mengupayakan agar pernikahannya tetap harmonis. Misalnya remaja harus menerima kenyataan dan menyesuaikan diri dengan kehidupan rumah tangganya. Tetap fokus dan bertanggung jawab terhadap berbagai perannya, sebagai ibu maupun istri. Sangat dimungkinkan juga perlu adanya dukungan masing-masing individu termasuk keluarga besarnya. Bagaimanapun mereka masih memerlukan pendampingan untuk menjalankan kehidupan keluarga di usia belianya.
Karena takut anaknya melakukan hubungan yang tidak seharusnya dengan lawan jenis, maka beberapa orangtua memaksakan menikahkan anaknya. Alasan takut hamil di luar nikah atau zina. Padahal, mungkin anaknya sedang menikmati masa-masa sekolahnya atau masa mudanya. Menikahkan anak di usia muda bukanlah solusi. Bekali anak dari rumah dengan norma susila dan norma agama. Dengan penjelasan yang efektif dan dari hati ke hati akan membuat anak memahani dampak negatif apabila terlalu jauh bergaul.
Kebutuhan Informasi bagi remaja milenial harus dikemas dengan cara yang kreatif untuk menambah wawasan bagaimana kehamilan ini berpengaruh pada kehidupan serta bagaimana menyikapinya. Karena semakin banyak informasi yang beredar di internet bisa membuat remaja memutuskan untuk menikah muda dengan alasan yang tidak masuk akal.