Fenomena pernikahan anak di Indonesia sudah berada pada kategori darurat. Berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati urutan ketujuh di dunia dan kedua tertinggi di Asia Tenggara dalam kasus pernikahan anak. Anak perempuan Indonesia yang menikah di bawah usia 18 tahun pada 2016 mencapai 17 persen. Ini berarti satu dari tujuh perempuan di bawah 18 tahun di Indonesia sudah menikah.
Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny Rosalin menyebutkan NTB menjadi salah satu provinsi dengan tingkat perkawinan anak yang cukup tinggi, yakni mencapai 25 persen. Dengan begitu, satu dari empat perempuan di bawah usia 18 tahun di NTB telah menikah.
Selain fakta data statistik di atas, Popbela akan membahas dampak dan faktor apa saja yang membuat pernikahan anak di Indonesia terus meningkat. Yuk, simak ulasannya di bawah ini.
Banyak kasus perkawinan anak bukanlah atas keinginan si anak karena ada anggapan di masyarakat Indonesia, anak yang bersekolah dianggap sebagai beban bagi keluarga, terutama keluarga dengan kemampuan ekonomi lemah. Anak yang tak bersekolah dinikahkan agar keluar dari rumah orangtua. Ada juga anak yang dipaksa menikah karena kepercayaan orangtua, saat memasuki masa puber, rentan terjebak pergaulan permisif dengan lawan jenis. Padahal, semestinya anak dididik untuk bersosialisasi yang benar.
Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indry Oktaviani mengungkapkan bahwa ketentuan batas usia menikah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan kebijakan yang mendiskriminasi perempuan. Ia menilai pencantuman batas minimal usia perkawinan perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun mendorong praktik perkawinan anak terus terjadi.
Pernikahan usia dini adalah pelanggaran dasar hak asasi anak karena membatasi pendidikan, kesehatan, penghasilan, keselamatan, kemampuan anak, dan membatasi status dan peran. Anak yang mengalami pernikahan dini terpaksa berhenti sekolah atau tak dapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Jika dia anak perempuan, jika hamil di usia yang begitu belia, itu sangat berisiko karena organ-organ tubuhnya belum siap sehingga bisa berujung pada kematian.
Selain itu, mengasuh anak jelas butuh kematangan mental, sementara di usia yang masih anak-anak sudah harus mengasuh anaknya sendiri. Hari-harinya akan dipenuhi kesibukan merawat dan mengasuh anak dan tidak memiliki lagi kesempatan mengembangkan diri sesuai bakat dan potensi yang dimilikinya. Bahkan, berpotensi kehilangan kesempatan bekerja untuk mendapatkan penghasilan.
Menurut jurnal STUDI PEMUDA Vol. 3, No. 1, yang ditulis oleh Reni Kartikawati (2014) pernikahan anak juga berdampak pada potensi perceraian dan perselingkuhan dikalangan pasangan muda yang baru menikah. Hal ini dikarenakan emosi yang masih belum stabil sehingga mudah terjadi pertengkaran dalam menghadapi masalah kecil sekalipun. Adanya pertengkaran terkadang juga menyebabkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan seksual terutama yang dialami oleh istri dikarenakan adanya relasi hubungan yang tidak seimbang.
Pernikahan usia dini tak hanya berdampak pada aspek kesehatan dan kependudukan, tetapi juga ekonomi negara karena biaya kesehatan yang besar. Berdasarkan laporan terbaru Bank Dunia dan International Center for Research on Women berjudul Economic Impacts of Child Marriage, pernikahan usia dini akan merugikan negara berkembang hingga triliunan dollar AS pada 2030 jika tak diakhiri. Sebaliknya, menunda usia perkawinan akan berkontribusi besar pada peningkatan derajat pendidikan perempuan dan anak, pengendalian jumlah penduduk, serta peningkatan kesejahteraan perempuan di rumah dan di tempat kerja.
Mencegah dan menurunkan angka pernikahan anak memang nggak mudah, tetapi bukan berarti kita nggak bisa turut serta. Hal yang bisa kita lakukan adalah menyebarkan informasi tentang bahaya pernikahan di bawah umur supaya lebih banyak orang yang peduli dengan isu ini. Jangan lupa share tulisan ini ke teman-temanmu, ya!