Saat menikah kamu dan suami sama-sama bekerja, dengan gaji yang berbeda. Salah satu dari kalian mungkin mendapatkan promosi dan memiliki jenjang karier lebih baik. Sementara yang lain sulit berkembang dan gajinya pun tak kunjung meningkat. Meski seharusnya uang menjadi milik bersama ketika kita sudah memutuskan untuk menikah, tapi pada kenyataannya masih ada rasa kepemilikan, "Ini kan uangku" atau "Ah, ini uang dia". Apalagi jika selisihnya terlampau banyak, misal yang satu hanya bisa menghasilkan sepertiga dari yang lain.
Ketidaksetaraan pendapatan ini juga lama-lama akan mengikis romantisme dalam hubungan. Tidak secara terang-terangan, tapi bisa menjadi bom waktu dalam pernikahan. Paling tidak empat hal inilah yang akan kamu alami saat menghadapinya.
1. Ada yang sering membuat keputusan sepihak
Karena merasa telah menghasilkan lebih banyak uang, satu pihak akan merasa berkuasa untuk membuat keputusan dan pihak lain akan kurang didengar pendapatnya. Konsep uang adalah milik bersama hanya tinggal sekedar konsep saja.
Sekarang coba pikirkan, saat membeli kebutuhan rumah, siapakah pengambil keputusan terakhir? Apakah dia yang memiliki pendapatan lebih tinggi atau mengambil jalan tengah dari dua pendapat?
Sering kali hal ini tidak disadari karena mereka yang pendapatannya lebih rendah merasa bahwa mereka memang harus patuh dan merasa "Ah, aku ini siapa?".
2. Kebutuhan rumah tangga dibebankan pada satu pihak
This article supported by vivo as Official Journalist Smartphone Partner IDN Media
Kasusnya tidak selalu seperti yang dijelaskan di nomor satu. Ada juga, mereka yang penghasilannya lebih rendah merasa bahwa uangnya adalah milik mereka sendiri jadi kebutuhan rumah tangga harus dipenuhi dengan pendapatan pasangannya yang lebih tinggi.
Ini dilakukan mungkin karena ia merasa rentan secara finansial dan ingin menyimpan uangnya sendiri, jadi seluruh tagihan biar saja dibayar oleh pasangan. Toh, pendapatan pasangannya lebih besar.
Ini bisa saja jadi masalah karena satu pihak akan merasa terbebani sebab bekerja keras sendiri. Tapi sebenarnya masalah ini juga bisa dengan mudah diatasi dengan menempatkan mereka yang berpenghasilan lebih rendah sebagai penentu anggaran rumah tangga, jadi dia paham betul uang siapa yang harus digunakan untuk apa.
3. Satu pihak merasa bertanggungjawab penuh mencari nafkah
Biasanya pencari nafkah utama akan merasa terbebani dengan tanggungjawab ini, dia tidak boleh main-main dengan pekerjaannya. Dia tidak bisa kehilangan pekerjaannya karena keuangan rumah tangga tertumpu padanya. Sementara pasangannya, memiliki pekerjaan yang lebih fleksibel dan bisa dijalani dengan santai.
Padahal sebenarnya pola pikir harus diubah, karena dalam pernikahan semua orang pasti punya porsi tanggung jawabnya sendiri. Jika istri berpenghasilan lebih rendah dan lebih fleksibel dalam bekerja, bukan berarti tanggung jawabnya tidak lebih besar. Istri mungkin harus mengurus rumah tangga yang tentu tidak mudah, memakan waktu, tenaga, dan pikiran juga. Itu juga merupakan tanggungjawab yang harus diperhitungkan juga selain penghasilan berupa uang bukan? Ini berlaku juga jika suami penghasilannya lebih kecil.
4. Semua pekerjaan rumah tangga dibebankan ke satu pihak
Karena merasa sudah bisa mendapatkan lebih banyak uang, ada satu pihak yang bersikap sepeti 'bos' di rumah, sementara pihak lain menjadi 'pelayan'nya. Mereka yang punya penghasilan lebih besar merasa sudah sangat lelah dalam bekerja dan sudah sepatutnya tinggal istirahat saja di rumah. Padahal entah besar atau tidak uang yang dihasilkan, bukankah setiap pekerjaan memang melelahkan.
Bagaimanapun seharusnya pekerjaan rumah tangga dibebankan pada setiap penghuninya. Jika ada yang ingin beristirahat maka pastikan semua orang di rumah itu juga bisa beristirahat di saat yang sama. Jangan sampai ada yang enak-enak istirahat, sementara yang lain masih mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk?
Umumnya ini dirasakan perempuan. Jika tidak bekerja mereka akan dianggap pelayan di rumahnya. Kalaupun sudah bekerja, perempuan tetap akan menjadi pelayan di rumahnya. Kalau tidak disubordinasi, ya, akan mendapatkan beban kerja ganda, apakah kamu juga merasakannya?