Sebuah laporan di China menyebutkan adanya pelonjakan permintaan cerai usai karantina yang dilakukan sejumlah warganya demi mencegah penyebaran virus corona atau COVID-19. Kantor pendaftaran pernikahan di Dazhou, Provinsi Sichuan di bagian Barat Daya China mengatakan ada lebih dari 300 pasangan telah melakukan gugat cerai ke pengadilan setelah aturan karantina terhadap warganya dicabut.
Meski ada yang menyebut meningkatnya permintaan cerai itu bisa karena berkas-berkas yang terlambat akibat lockdown, ada pula yang mengatakan perceraian terjadi pasangan itu tidak terbiasa berada dalam satu rumah sepanjang waktu. Ditambah lagi situasi yang mungkin membuat mereka stres dan takut, sehingga memicu pertengkaran.
Di Indonesia, di mana kasus COVID-19 terus meningkat, pemerintah akhirnya menerapkan sejumlah aturan social distancing yang meminta warga untuk tetap di rumah, bekerja dari rumah, belajar di rumah, serta menjauhi keramaian. Walaupun pemerintah belum menerapkan aturan lockdown, tetap saja banyak perubahan yang terjadi di masyarakat, terutama bagi mereka yang biasanya berangkat ke kantor dan mengantar anak ke sekolah, kini harus bekerja dari rumah sekaligus menjadi guru bagi anak mereka.
Penerapan social distancing ini memang baru seminggu dirasakan di Jakarta dan beberapa kota lainnya. Tapi adakah kemungkinan pasangan yang sudah menikah mengalami yang dirasakan oleh pasangan di China? Lalu bagaimana cara menghadapi pertengkaran yang muncul, ketika pasangan yang terbiasa menghabiskan waktu secara terpisah, kini harus berada di rumah dalam waktu yang cukup panjang?
Popbela meminta pendapat dari psikolog Ratih Ibrahim, yang juga merupakan pendiri dan CEO Personal Growth Counseling & Development. Simak saja wawancara eksklusif Popbela berikut ini, ya.
1. Perubahan dinamika saat pasangan work from home dan self-isolating
Menurut Ratih, tentu saja perubahan dinamika hubungan pernikahan akan terjadi saat kamu melakukan self-isolating atau work from home. Apalagi menurutnya, situasi yang menyebabkan kamu harus berada di rumah itu bukan untuk liburan atau bersantai-santai.
“Bisa terjadi perubahan dinamika antar pasangan menikah, potensinya besar, terutama bagi mereka yang biasanya sehari-hari memiliki jarak dalam beraktivitas. Bisa suami dan istri sama-sama bekerja, atau suami bekerja dan istri di rumah. Tetap saja, artinya mereka yang tadinya sehari-hari berada di dua tempat yang berbeda dari Senin sampai Jumat, sekarang mereka harus terus-menerus berada di rumah bersama-sama. Apalagi situasinya bukan situasi santai seperti liburan, tapi cukup mencekam dan bikin was-was juga.”
Ratih juga menambahkan, bahwa dalam setiap perubahan tentu membawa dampak negatif dan positif. Apakah pasangan menjadi lebih sering bertengkar, karena terus-menerus berada di tempat yang sama dalam jangka waktu yang lama? Jawabannya, bisa ya, bisa tidak, tergantung dari hubungan yang memang telah terjalin di antara pasangan.
"Berada dalam satu tempat dalam jangka waktu yang panjang tentu saja memiliki dampak, baik negatif maupun positif. Negatifnya, bisa jadi karena hubungannya sudah memiliki konflik, sehingga potensinya untuk lebih meruncing itu makin besar. Tapi kita juga harus lihat sisi positifnya, karena sebagai keluarga kita lebih bisa memiliki quality time, dengan pasangan atau dengan anak. Justru di saat-saat seperti ini kita bisa saling memberikan support," jelasnya.
2. Tidak bisa menyamaratakan kasus di China dengan yang kita alami
Meski begitu, Ratih mengungkapkan sebaiknya kita tidak serta-merta menyamakan kejadian yang terjadi di luar negeri. Menurutnya, kita sebagai masyarakat Indonesia tentunya memiliki karakter dan budaya yang berbeda.
"Perlu dipahami juga kita tidak bisa menyamaratakan hubungan pernikahan di China dengan di Indonesia. Wajah mungkin serupa, tapi sifat dan karakter kita berbeda. Kita lihat saja contohnya pemerintah di China yang lebih ketat dibanding di Indonesia, bisa dikatakan otoriter, sehingga mungkin keseharian hidup mereka juga tegang dan sangat taat aturan. Ditambah lagi mereka harus dikarantina bersama-sama, sehingga orang yang tegang dan anxious bertemu dengan orang yang stres dan ketakutan di satu ruangan yang sama, bisa saja menimbulkan pertengkaran. Isu kecil saja bisa membuat mereka bertengkar," tegasnya.
"Sekarang kita lihat masyarakat di Indonesia, kita lihat orang-orangnya lebih santai, punya sense of humor yang tinggi. Pemerintahnya juga tidak otoriter. Jadi kalau menurut pendapat saya, kemungkinan terjadi seperti yang terjadi di China, kayaknya, sih, nggak."
3. Harus bisa saling mendukung dalam berbagai situasi
"Orang yang menikah itu, kan, bukan untuk memenuhi kuota. Pernikahan itu bukan karena nggak mau jadi jomblo atau perawan tua. Saya percaya masyarakat di Indonesia itu memahami bahwa pernikahan adalah sesuatu yang serius dan sakral, sehingga pernikahan bisa menjadi solid, saling menjaga, dan melindungi."
Ratih pun menekankan pentingnya memberi dukungan terhadap pasangan. Bagaimana kita bisa membagi waktu antara bekerja, mengurus rumah tangga, sekaligus mengajarkan anak untuk turut berpartisipasi dalam menjalankan kegiatan work from home dan social distancing ini.
"Selain itu yang dibutuhkan dalam keadaan yang seperti sekarang tentu saja saling support. Bapak atau ibu yang bekerja di rumah, saling memberi dukungan, saling menjaga kesehatan. Begitu pula dengan anak-anak. Saya yakin anak-anak bisa dengan mudah diberitahu. Mereka itu sangat cepat belajar. Jadi kita juga harus ajarkan mereka soal penyebaran virus ini dan kenapa saat ini mereka harus belajar dari rumah dulu."
4. Jadikan momen ini sebagai quality time bersama keluarga
Lalu, bagaimana cara kita bisa menjalani work from home dan social distancing ini dengan benar, ya? Supaya tentunya nggak merusak hubungan kita dengan pasangan.
"Yang pertama, nggak usah didramain, deh. Pasangan suami istri harus paham benar, diri mereka sebagai satu keluarga, yang juga bagian dari masyarakat, sehingga harus proaktif untuk menjalankan apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Justru waktu-waktu work from home ini menjadi waktu bagi kita untuk bonding bersama keluarga, lebih dekat dengan pasangan dan anak," tutur Ratih.
"Anak juga bisa dilibatkan, ajari mereka bahwa menjaga keluarga adalah tanggung jawab bersama. Tiap anggota keluarga secara bersama memiliki kesadaran, ini adalah saat yang tepat untuk saling mendekatkan diri dengan keluarga, lebih kompak, dan saling support."
Selain itu, menurut Ratih, banyak banget kegiatan yang bisa kita lakukan bersama keluarga di rumah. Kegiatan yang mungkin saja tidak bisa kita kerjakan ketika kita sibuk di kantor. Justru momen social distancing ini dipakai untuk lebih fokus pada pasangan dan keluarga.
"Sebenarnya banyak banget, kok, kegiatan bersama keluarga yang bisa kita lakukan di rumah. Ya, bersih-bersih rumah, mencuci mainan sehingga bersih dan aman dipakai anak, membaca buku bersama, floor time, berdansa bersama, nonton, apa saja," ujarnya.
5. Banyak baca, tapi juga saring informasi
Tak lupa juga Ratih mengingatkan agar kita selalu well-informed, artinya kita harus mencari banyak informasi, tapi juga jangan lupa melakukan cek dan ricek untuk mengetahui informasi itu benar atau hanya hoax.
"Selain itu penting juga untuk menyaring informasi mengenai COVID-19 ini, sehingga kita bisa memberikan informasi yang tepat untuk anak. Kalau tidak yakin dengan banyak informasi yang beredar, pilih informasi yang valid saja, dari website resmi pemerintah atau WHO. Jauhi membaca hoax atau menyebarkan hoax, karena hoax justru lebih ‘membunuh’ dan berbahaya dibanding virus itu sendiri."