Sebutan ‘pelakor’ atau perebut laki orang kerap disematkan kepada perempuan yang merupakan pasangan selingkuh seorang laki-laki yang sudah memiliki istri atau pasangan. Istilah tersebut begitu akrab di telinga kita. Ketika melihat sejumlah pemberitaan media yang menceritakan perselingkuhan para selebriti, sosok pelakor inilah yang selalu disorot. Dia juga yang sering mendapatkan kecaman, ejekan, hingga bertahun-tahun kejadian perselingkuhan itu berlalu, sosok pelakor tetap diingat.
Contohnya saja ketika perselingkuhan antara Angelina Jolie dan Brad Pitt, ketika Brad Pitt masih berstatus suami dari Jennifer Aniston. Sosok Angelina lalu dibanding-bandingkan dengan Jennifer. Hingga akhirnya Angelina menikah dengan Brad lalu bercerai dengannya, kejadian itu dikait-kaitkan kembali dengan perselingkuhan yang dulu pernah terjadi. Bahkan ketika mereka yang terlibat sudah move on, netizen yang hanya menjadi penonton seakan-akan tak bisa melupakan si pelakor.
Berita terbaru adalah tentang perselingkuhan antara Nissa Sabyan dan keyboardis grup musik Sabyan Gambus, Ayus. Nissa pun langsung mendapat cap sebagai pelakor dan menerima kecaman dari netizen.
Tapi kenapa, sih, kita atau masyarakat pada umumnya lebih fokus pada sosok pelakor alias perempuan saat sebuah perselingkuhan terjadi? Ini beberapa alasannya dan kenapa seharusnya kita berhenti menggunakan istilah pelakor.
1. Menganggap sebuah hubungan atau pasangan bagaikan properti
Tahukah kamu arti kata “perebut”? Menurut KBBI, perebut adalah “orang yang mengambil secara paksa milik orang lain”. Nggak bisa dipungkiri kalau kita sering menggunakan bahasa yang menggambarkan kepemilikian atau properti saat membicarakan hubungan.
Contohnya saja, “dia sudah ada yang punya”, “kamu adalah milikku”, “kalau aku tak bisa memiliki kamu, tak boleh ada yang punya”. Seakan-akan ketika membicarakan pasangan atau kekasih sebagai sesuatu yang bisa diambil, bisa dimenangkan, atau bisa dicuri.
Membicarakan sebuah hubungan layaknya sebuah barang mungkin bisa memberikan rasa aman. Namun jika kamu menganggap pasangan adalah sebuah barang yang bisa diambil atau dicuri, tentu tak bisa dibenarkan. Bagaimanapun, pasangan sama denganmu, manusia yang bisa bertindak, berpikir, dan tentunya mempunyai pilihan, apa akan melakukan perselingkuhan atau tidak.
2. Stereotip perempuan sebagai sosok penggoda
Bukan hal aneh lagi kalau perempuan telah dikonstruksikan dalam masyarakat sebagai sosok yang menggoda. Perempuan selalu digambarkan sebagai sosok yang senang bersolek, bergaya, berdandan, dan menarik perhatian lawan jenisnya. Tak jarang digambarkan pula ketika seorang perempuan menggoda laki-laki, maka laki-laki adalah korban yang tak dapat menolak godaan tersebut.
Hal itu sama saja ketika ada kasus perkosaan, maka perempuan yang menjadi korban juga sering disalahkan. Menggunakan pakaian yang terlalu seksi dan minim, selalu disebut sebagai penyebab perkosaan. Namun tentu saja kita tahu, bahwa bukan itu intinya.
Sama halnya dengan perselingkuhan, tak selalu pihak perempuan yang menggoda duluan. Tak bisa juga mengatakan bahwa pihak lelaki tak kuasa menahan godaan dan akhirnya memilih untuk berselingkuh. Itu sama saja, kita membenarkan perilaku lelaki dan menyalahkan pihak perempuan.
3. Terasa lebih mudah menyalahkan orang lain
Ketika pasangan kamu selingkuh, kamu mungkin akan merasa lebih mudah untuk menyalahkan orang lain alias pihak ketiga. Tentu hal tersebut lebih mudah ketimbang menyalahkan suami, seseorang yang kamu cintai dan seseorang yang kamu kenal sejak lama. Akan lebih mudah untuk memfokuskan kemarahanmu dan menyalahkan orang lain, dengan harapan rasa sakit hati kamu akan lebih cepat sembuh.
Rasa sedih dan sakit hati akan perselingkuhan pasangan yang kamu percaya tentu tidak mudah. Namun melimpahkan kesalahan hanya pada satu pihak tentu tidak sepenuhnya benar. Agar kamu bisa sembuh dari rasa sakit hati, yang perlu kamu lakukan adalah melihat kenyataan bahwa pasanganmu telah melakukan hal yang menyakitimu. Kamu harus bisa melihat bahwa dia juga harus bertanggung jawab atas perselingkuhan tersebut.
Alasan kita perlu berhenti menggunakan istilah pelakor
1. Perselingkuhan dilakukan oleh kedua belah pihak
Yap! Perselingkuhan dilakukan oleh kedua belah pihak. Perselingkuhan tak bisa terjadi jika ada satu pihak yang menginisiasi perselingkuhan, sedangkan pihak yang lain seakan-akan pasrah dan tak punya pilihan. Lalu kenapa hanya sang perempuan yang mendapatkan perundungan? Kenapa kita kerap menyalahkan pihak perempuan? Apakah karena si perempuan berstatus single atau belum punya pasangan, jadi dia yang dituduh sebagai perebut lelaki orang?
Bagaimanapun, setiap pihak punya pilihan dalam hidupnya, baik itu untuk berselingkuh atau tidak. Jangan anggap pihak laki-laki sebagai barang yang bisa demikian mudah direbut. Intinya, perselingkuhan tidak akan terjadi jika tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak, sehingga baik si perempuan maupun si laki-laki sama salahnya.
2. Kita tak pernah tahu apa yang dialami orang lain
Mencap seorang sebagai pelakor sama saja dengan menghakimi perilaku orang lain tanpa kita tahu kejadian yang sebenarnya. Ketika kamu melihat atau membaca tentang sebuah kasus perselingkuhan, tak bijak rasanya jika kamu langsung menghakimi mereka. Bagaimanapun, hubungan tersebut mereka yang menjalani.
Apa yang kita lihat atau baca mungkin hanya sebagian kecil dari yang mereka rasakan. Sehingga sudah saatnya kita tidak lagi menghakimi perilaku atau keputusan orang lain. Kita tidak tahu bagaimana rasanya berjalan di sepatu mereka.
3. Cap pelakor hanya membenarkan perilaku laki-laki
Ketika kamu menyebut seseorang sebagai pelakor, maka itu sama saja kamu membenarkan perilaku laki-laki untuk berselingkuh. Banyak orang menggunakan analogi seperti, "Ibarat kucing kalau disodorin ikan asin, ya pasti dimakan". Seakan-akan perselingkuhan terjadi, karena godaan si pelakor. Lagi-lagi, ini sama saja seperti membuat sosok perempuan untuk bertanggung jawab penuh atas perselingkuhan, sedangkan si laki-laki bisa terbebas dari hukuman. Tidak adil, bukan?
Perselingkuhan itu jelas salah, apalagi bagi pasangan yang sudah berkomitmen. Namun menyalahkan satu orang akan perselingkuhan itu dan mencap orang itu sebagai pelakor juga tak bisa dibenarkan. Menurut kamu bagaimana, Bela? Bagikan pendapat kamu di kolom komentar, ya!