Istilah pelakor atau 'perebut laki orang; menjadi kata yang tren dan viral beberapa tahun belakangan ini. Julukan ini sendiri muncul seiring fenomena perselingkuhan dalam rumah tangga yang kerap diekspos di media sosial.
Kehadiran orang ketiga atau pelakor acap kali menjadi penyebab rusaknya hubungan suami istri. Nggak hanya perempuan saja yang bisa menjadi orang ketiga, laki-laki pun punya potensi yang sama besarnya sebagai perusak rumah tangga orang lain.
Dalam hal perselingkuhan, tentu saja tak bisa serta-merta menyalahkan pelakor atau orang ketiga, karena faktanya perselingkuhan terdiri dari dua orang.
Dilihat dari sisi etika, jelas perilaku ini nggak sesuai dengan norma sosial di masyarakat. Apalagi melihatnya dari sisi agama, tentu agama mana pun melarang umatnya melakukan perbuatan tersebut.
Lalu, bagaimana hukum pelakor dalam ajaran agama Islam? Simak selengkapnya di sini.
1. Pentingnya membangun keharmonisan dalam rumah tangga
Tujuan hidup berumah tangga selain meneruskan garis keturunan adalah mencapai kebahagiaan. Dikutip dari NU Online, Islam sangat mengedepankan keharmonisan rumah tangga dan menganggap sebagai fondasi penting dalam membangun rumah tangga yang bahagia.
Rasulullah SAW melarang keras siapa pun yang melakukan perbuatan mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Rasullah SAW bersabda :
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها أو عَبْدًا عَلَى سَيِّدِه
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya. (HR Abu Dawud).
Dari pengertian hadis tersebut jelas Islam menilai buruk perilaku laki-laki yang merebut istri orang. Tak hanya dari pihak laki-laki yang merebut istri orang, Islam juga mengecam perempuan yang melakukan tipu daya untuk merebut suami yang bukan miliknya.
2. Larangan perempuan melakukan tipu daya untuk merebut suami orang lain
Penjelasan Islam mengecam perempuan yang merusak rumah tangga orang lain ada di hadis berikut :
لَيْسَ مِنَّا) أي من أتباعنا (مَنْ خَبَّبَ) بتشديد الباء الأولى بعد الخاء المعجمة أي خدع وأفسد (امْرَأَةً عَلَى زَوْجِها) بأن يذكر مساوىء الزوج عند امرأته أو محاسن أجنبي عندها (أَوْ عَبْدًا) أي أفسده (عَلَى سَيِّدِه) بأي نوع من الإفساد وفي معناهما إفساد الزوج على امرأته والجارية على سيدها قال المنذري وأخرجه النسائي
Artinya: (Bukan bagian dari) pengikut (kami, orang yang menipu) melakukan tipu daya dan merusak kepercayaan (seorang perempuan atas suaminya) misalnya menyebut keburukan seseorang lelaki di hadapan istrinya atau menyebut kelebihan lelaki lain di hadapan istri seseorang (atau seorang budak atas tuannya) dengan cara apa saja yang merusak hubungan keduanya. Semakna dengan ini adalah upaya yang dilakukan untuk merusak hubungan seorang laki-laki terhadap istrinya atau merusak hubungan seorang budak perempuan terhadap tuannya. Al-Mundziri mengatakan, hadits ini juga diriwayatkan An-Nasai. (Lihat Abu Abdirrahman Abadi, Aunul Ma‘bud ala Sunan Abi Dawud, [Yordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, tanpa catatan tahun], halaman 967).
Pengertian hadis di atas jelas bahwa siapa pun yang menjadi pihak ketiga dalam rumah tangga orang lain, dianggap bukan bagian dari pengikut Rasulullah SAW dan umat Islam.
Apa pun alasan yang dikemukakan pelakor atau orang ketiga, tindakannya merusak keharmonisan rumah tangga dan merebut suami orang lain jelas bukan perilaku yang disyariatkan Islam. Orang yang melakukan perselingkuhan atau merebut hak orang lain dianggap bukan bagian dari umat Rasulullah SAW.
3. Tegas melarang perempuan menguasai hak seorang istri yang sah
Islam mengecam keras perempuan yang meminta seorang suami menceraikan istrinya, dengan tujuan merampas hak-hak istri sah tersebut. Larangan ini tercantum dalam hadis riwayat Imam At-Tirmidzi:
عن أبي هريرة يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قال لَا تَسْأَلِ المَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا
Artinya: Dari Abu Hurairah yang sampai kepada Rasulullah SAW, ia bersabda: Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya untuk membalik (agar tumpah isi) nampannya. (HR Tirmidzi).
Hadis tersebut memiliki arti yang berbeda di kalangan ulama. Imam An-Nawai menganggap hadis tersebut ditujukan bagi pelakor atau pihak ketiga yang meminta istri sah untuk menceraikan suaminya, dengan tujuan ingin merebut suami juga hak-hak dari istri sah tersebut.
Sedangkan sebagian ulama lain, dikemukakan oleh Ibu Abdil Bar, berpendapat perempuan dalam hadis tersebut adalah istri yang dipoligami atau suaminya hendak melakukan poligami.
Nah, Bela, dari beberapa pandangan tersebut menegaskan bahwa Islam sangat mengharamkan usaha seseorang untuk merebut hak orang lain. Nggak hanya pihak perempuan saja, pihak laki-laki yang menjadi pria idaman lain (PIL) dalam rumah tangga orang lain pun dikecam juga perbuatannya.
Larangan tersebut beralasan mengingat tujuan pernikahan dalam Islam adalah membangun rumah tangga yang harmonis. Jadi siapa pun yang bermaksud merusak atau melakukan aktivitas desktruktif, bukan bagian dari ajaran Islam. Sebab, perbuatan tersebut lebih banyak mengandung masalah daripada manfaatnya.