Sebagai negara yang memiliki beragam suku dan agama, yang nama pacaran atau memiliki hubungan dengan seseorang yang berbeda suku dan agama di Indonesia tentu tak bisa dihindari.
Kalau untuk perbedaan suku, mungkin bagi sebagian orang tidak akan masalah. Tapi bagaimana jika kamu menjalani sebuah hubungan asmara dengan seseorang yang agamanya berbeda denganmu?
Memang, ada hubungan beda agama yang berakhir bahagia. Namun tak sedikit pula yang berakhir pilu. Contohnya beberapa cerita dari para pembaca Popbela berikut ini.
“Aku pernah pacaran beda agama, tahun 2009 hingga 2011, ketika masih kuliah. Aku berjilbab dan dia anak pendeta, tapi selama dua tahun itu sama sekali ga ada masalah soal perbedaan agama kami. Dia sering nungguin aku di depan mushola pas waktunya salat, ngehargai aku juga pas lagi puasa. Terus aku juga selalu ingetin dia buat ke gereja tiap minggu. Sampai teman-temanku bilang, aku sama dia cocok dipajang di TMII sebagai bentuk kerukunan antarumat beragama, hehe..”
“Sampai suatu hari pas mau lulus kuliah, ngerasa one step closer to the next stage of life, kan. Ya, cari kerja, terus nikah kayak orang-orang normal. Tapi beda agama gimana, dong? Saat itu, aku pernah sampai mikir, apa dia convert ke agamaku sampai kami nikah dan punya anak aja dulu? Udah gitu, setelahnya terserah dia, deh, mau balik lagi ke agamanya, pisah pun nggak apa-apa. Aku pikir dulu, tuh, udah sayang banget sama dia dan kayaknya nggak akan sanggup ngejalanin hidup berumah tangga sama yang lain.”
“Akhirnya kami putus, karena nggak tau mau ngapain habis lulus. Pas banget di waktu itu kayaknya masalah, tuh, ada aja. Walaupun kami putus di tahun 2011, kami masih kontak dan suka jalan bareng sampai 2013. Hingga akhirnya kami saling menarik diri masing-masing. Aku berdoa, kalau dipaksa ngelupain itu susah banget, aku minta sama Tuhan buat kasih keikhlasan di hati, kalau kami tidak berjodoh. Bukan karena kami bukan orang yang nggak baik untuk satu sama lain, tapi karena memang Tuhan adalah nomor 1 di atas segalanya.” - Tita (nama samaran)
“Merasa sebagai bagian dari kaum minoritas, aku yang beragama Katolik bertemu dengan seorang cowok Muslim. Dia meyakinkan aku bahwa cintanya mampu meneguhkan aku dalam ikatan pernikahan, hingga akhirnya aku rela melepaskan sesuatu yang sejak bayi saya imani. Seiring berjalannya waktu, aku merasa tidak mendapat bimbingan dalam cara beribadah. Tingkahnya berubah aneh dan kasar, bahkan dia mulai melupakan ibadah.”
“Meski kami dikaruniai seorang putri, pernikahan kami hanya berlangsung 1,5 tahun saja. Di sini saya mengerti bahwa cinta Tuhan lebih besar daripada umatnya. Aku terlalu lemah dengan percaya kepada cinta manusia yang bisa luntur seiring berjalannya waktu. Padahal dulu mama aku pun tidak setuju dengan keputusan aku itu.”
“Setelah bercerai, dia (mantan suami) seakan lupa dengan anak dan tanggung jawabnya. Jadi aku dan putriku sekarang bahagia dengan cara kita sendiri. Tapi, Tuhan tidak pernah tidur. Dia selalu punya hal ajaib untuk kita. Dia menunjukkan ada seseorang yang menyayangi kami dengan tulus dan yang pastinya seiman dengan aku. Semoga banyak orang di luar sana yang tidak meninggalkan Tuhan hanya demi cinta manusia, ya, tapi benar-benar cinta dengan agama yang ditujunya.” - Ella (nama samaran)
“Aku pernah menjalin hubungan beda agama, putus nyambung, kurang lebih yang terakhir itu jalan 1 tahun. Mulai yang awalnya keluarganya terima aku, sampai akhirnya dia selingkuh sama yang seiman dengannya. Aku akhirnya ditinggal nikah, padahal dia masih pacaran sama aku. Parahnya, aku sampai hamil. Ini sebenarnya aib dan aku malu ceritanya, tapi aku mau sharing cerita ini supaya jangan ada yang sampai kayak aku.”
“Pas aku hamil, ternyata dia sudah jalin hubungan lagi sama orang lain yang seagama dan sudah mau menikah. Akhirnya aku minta dia tanggung jawab dan bilang ke orangtuanya. Tapi ternyata orangtuanya sangat menolak aku, karena kita berbeda iman, aku Muslim dan dia Protestan. Mamanya bukan menolong malah minta aku menggugurkan janinku, alasannya karena mantan pacarku itu sudah mau menikah sebentar lagi.”
“Dia yang tadinya mau bertanggung jawab, karena merasa dibela oleh mamanya akhirnya malah ikut menyuruh aku untuk aborsi juga. Perasaan aku hancur banget. Aku coba pertahankan janinku, cuma kondisi mentalku juga saat itu nggak stabil. Aku depresi, hampir bunuh diri, dan ketika aku periksa diri ke bidan, aku mendapat kabar janinku tidak berkembang dan aku juga membutuhkan terapi untuk kesehatan mentalku. Dua bulan setelah aku menggugurkan kandungan, dia menikah.
“Wah, hancur banget, sih, aku waktu itu. Tapi aku coba terima kesalahan diri aku juga. Sedih, yang awalnya indah, ternyata nggak berakhhir dengan indah juga.” - Feby (nama samaran)
“Cerita aku dengan si dia ini lumayan lama, sih. Berawal dari SMA, terus sempat putus, nyambung lagi, putus lagi, hingga pas kuliah nyambung lagi dan yang terakhir itu berjalan selama lima tahun. Awalnya kita nggak pernah bahas soal agama, sama-sama mengerti aja satu sama lain."
“Begitu mulai kerja dan usia juga mulai dewasa, mulai, deh, ada pembicaraan soal, gimana, ya, kelanjutan hubungan kita. Keluargaku kenal dekat dengannya, meski nggak bisa terima kalau dia beda agama, keluargaku tetap menerima dia sebagai pacar aku. Beda dengan aku, yang selama bertahun-tahun pacaran, nggak pernah sama sekali dikenalkan ke keluarganya.”
“Baru ketika aku meminta-minta untuk dikenalkan, dia baru mengenalkan aku dengan ibunya, tapi tidak dengan bapaknya. Ibunya pun seperti tidak memedulikan aku. Setiap bertemu, aku berusaha sopan, namun ibunya seperti tidak menganggap aku. Hal itu lumayan bikin aku sedih, karena aku merasa aku sosok perempuan yang nggak neko-neko, kok, aku punya prestasi akademis, aku punya karier, tapi kenapa dia seakan-akan meremehkan kehadiranku, hanya karena aku punya keyakinan yang berbeda.”
“Aku sebenarnya masih ingin mengusahakan, setidaknya kalau menikah, ya sudahlah kita beda saja. Tapi ternyata di pikiran mantanku tak bisa seperti itu. Dia mulai mengajakku ke gereja, tapi itu tidak bisa mengubah keyakinanku. Akhirnya kami pun putus. Aku selalu berpikir, kenapa, ya, aku harus dipertemukan dengan seseorang yang benar-benar aku cintai, tapi harus berpisah hanya karena keyakinan? Kenapa kita tinggal di negara Bhinneka Tunggal Ika, yang menghargai perbedaan, tapi tak bisa menyatukan dua agama yang berbeda?"
"Meski putus baik-baik, kami tak pernah lagi berhubungan. Dia menikah (dengan yang seiman) setahun setelah putus denganku. Hingga kini, aku masih bertanya-tanya bagaimana kabarnya, ya? Aku sekarang sudah punya pasangan baru dan aku sudah move on, tapi sesekali aku masih suka memikirkan tentangnya.” - Nadien (nama samaran)
Itulah sedikit cerita dari para pembaca Popbela yang pernah merasakan pacaran beda agama. Tentu tidak semua yang pacaran beda agama merasakan kisah yang sama sedihnya, namun ini bisa menjadi gambaran betapa sulitnya jika kita harus menjalin cinta dengan seseorang yang berbeda keyakinan.
Apakah kamu pernah mengalami hal yang sama, Bela?