Perupa Natasha Tontey telah membuka pameran karya terbarunya yang berukuran besar dan imersif, Primate Visions: Macaque Macabre, di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum MACAN), Jakarta. Dalam karya multimedia tersebut, Tontey menelusuri hubungan antara populasi monyet makaka jambul hitam asli Minahasa Selatan, yang disebut yaki, dengan masyarakat adat setempat.
Sang perupa menghadirkan sebuah semesta fiksi berwujud film dan instalasi, yang mempertanyakan hubungan simbiosis antara hewan dan manusia. Karya ini merupakan karya komisi untuk Audemars Piguet Contemporary, yang direalisasikan melalui kerja sama antara tim kuratorial internal dengan Tontey dan Museum MACAN.
Menelusui jejak nenek moyang
Penelusuran Tontey (1989) atas warisan budaya nenek moyangnya adalah inti dari Primate Visions: Macaque Macabre. Dalam karya tersebut, ia merujuk pada keikutsertaannya dalam praktik-praktik ritual, juga pada pengamatannya terhadap norma-norma sosial yang berlaku di kampung halamannya di Minahasa—dalam hal ini, dengan populasi monyet makaka.
Monyet makaka jambul hitam, dalam bahasa Minahasa disebut yaki, dianggap oleh masyarakat adat sebagai bagian dari struktur kehidupan sosial sehari-hari, sekaligus sebagai hama karena kerap turun ke desa dan mencuri hasil panen.
Hubungan tersebut makin pelik dengan diakuinya status yaki sebagai spesies yang terancam punah, sehingga mendorong organisasi-organisasi internasional untuk menggalakkan pelestariannya. Karya Tontey berupaya membongkar bias dan hubungan antara manusia dan hewan, membayangkan sebuah dunia yang memungkinkan terciptanya pemahaman antar spesies secara lebih mendalam.
Penelitian dengan cara yang menyenangkan
Berpijak pada beberapa teks teoretis, salah satunya karya tulis Donna Haraway, penelitian Tontey menggunakan metode mendongeng yang jenaka untuk membedah interaksi rumit antara yaki dan masyarakat Minahasa. Video kanal tunggal karya Tontey, yang merupakan bagian utama Primate Visions: Macaque Macabre, mengikuti sekelompok ahli primata yang membebaskan kawanan yaki yang dikurung di sebuah hutan.
Para tokoh protagonis ini terlibat dalam percakapan dan eksperimen, sembari membayangkan hubungan antara dua spesies tersebut di masa depan. Melalui penafsiran ulang Mawolay, sebuah ritual Minahasa yang mengharuskan warga setempat mengenakan kostum serupa monyet untuk mencegah yaki menjarah desa, Tontey mengajak audiens memasuki sebuah realitas fiktif untuk membangun empati, pemahaman, dan kesabaran antar makhluk.
Instalasi dari set asli film
Video sang perupa ditampilkan berdampingan dengan instalasi yang berasal dari bagian asli set film, yakni kostum dan sejumlah perangkat latarnya untuk membawa para audiens menjelajah lebih jauh ke narasi film saat berinteraksi dengan objek-objek tersebut dalam lingkungan fantastisnya.
Menerapkan kualitas format film kelas B, film horor, dan metode produksi teatrikal swakarya, pameran ini menempatkan karya Tontey dalam tradisi panjang produksi film Indonesia yang didorong oleh energi kreatif.
Bagian dari rangkaian karya komisi terbaru Audemars Piguet Contemporary
Pembukaan pameran ini menandai rangkaian karya komisi terbaru Audemars Piguet Contemporary yang sedang dipamerkan untuk publik di seluruh dunia. Karya-karya komisi tersebut di antaranya adalah Lunar Ensemble for Uprising Seas (2023) karya Petrit Halilaj dan Álvaro Urbano yang sedang dipamerkan di Museu d'Art Contemporani de Barcelona (MACBA), serta Becoming Another (2021) karya Aleksandra Domanovic yang sedang dipamerkan di Kunsthalle Wien, Wina, sebagai bagian penting tinjauan karya sang perupa di pertengahan kariernya.
Natasha Tontey, berkata, "Primate Visions: Macaque Macabre berupaya untuk membongkar dan mengamati hubungan yang rumit dan kerap kontradiktif antara manusia dengan yaki, monyet makaka jambul hitam di Minahasa. Melalui fiksi spekulatif, saya berupaya menjelajahi dinamika yang saling terkait antara primatologi, ekofeminisme, dan teknologi. Naratologi dan pengalaman imersif menyoroti jalinan yang rumit, hubungan yang ruwet antara manusia dan yaki, yang mencerminkan interaksi antarspesies yang rumit, serta mendorong pemirsa untuk merenungkan hubungan antara dirinya sendiri dengan dunia non-manusia. Primate Visions: Macaque Macabre adalah dunia yang seru sekaligus mengerikan, penuh dengan keganjilan radikal!"
Hamparan imaji narasi spekulatif yang melampaui pola pikir antroposentris
Venus Lau, Direktur, MACAN, berkata, "Dengan bangga kami mempersembahkan karya Natasha Tontey, Primate Visions: Macaque Macabre di Museum MACAN. Melalui penggabungan instalasi dan video imersif yang memikat, Tontey mengundang pemirsa untuk menjelajahi hamparan imaji narasi spekulatif yang melampaui pola pikir antroposentris, sekaligus membangkitkan kesadaran tentang warisan budaya yang terabaikan dan keterkaitan antara manusia dan non-manusia. Karya yang menggugah ini mengajak kita untuk merenungi batas-batas budaya dari berbagai bentuk kehidupan di dunia ini, dari sudut pandang spesies lain."
Lingkungan yang hidup dan multisensoris
Denis Pernet, Curator, Audemars Piguet Contemporary, mengatakan, "Dengan Primate Visions: Macaque Macabre, Natasha Tontey telah menciptakan sebuah lingkungan yang hidup dan multisensoris, yang membawa pemirsa dalam sebuah perjalanan transformatif ke dunia fiktif buatan Tontey. Pameran ini menyingkap kemiripan yang tak terduga antara manusia dan spesies lain, serta membayangkan sebuah masa depan yang lebih kolaboratif, mencerminkan keyakinan Audemars Piguet bahwa kekuatan kreativitas dapat menghubungkan manusia satu sama lain. Kami merasa bangga telah mendukung sang perupa dalam proses komisi karya ini, karyanya yang berukuran paling besar dan rumit, dengan bekerja erat bersama tim di Museum MACAN untuk mewujudkan proyek ini di Jakarta."
Kapan kamu mampir ke sini, Bela?