Semenjak drama Korea dan K-pop menjadi tren baru di dunia, Korea Selatan mendapatkan pemasukan cukup besar dari industri hiburan tersebut. Pada tahun 2019 saja, melansir dari Soompi.com, Korea Selatan mendapat pemasukan sebesar 11,3 miliar Won atau setara dengan Rp133,23 miliar hanya dari royalti K-pop. Jumlah tersebut belum termasuk drama Korea atau variety show Korea Selatan yang juga memiliki banyak penggemar di seluruh dunia.
Melihat jumlah pendapatan yang begitu fantastis, tentu wajar jika kita berpikir bahwa Korea Selatan kini menjadi negara maju dan warganya pun hidup berkecukupan. Sayangnya, pada kenyataannya, hal tersebut berbanding terbalik.
Di Korea Selatan, kesenjangan sosial dan ekonomi sudah menjadi isu lama yang masih belum dapat diselesaikan. Masalah tersebut masih terus ada bahkan hingga berganti kepemimpinan.
Distrik Gangnam, dikenal sebagai kota mewah dan gemerlapan. Berbatasan langsung dengan Gangnam, terdapat sebuah desa dengan nama Desa Guryong. Berbeda 180 derajat dari Gangnam, Guryong merupakan kawasan kumuh yang terdapat di Korea Selatan.
Bagaimana potret kawasan tersebut dan bagaimana pemerintah setempat mengatasinya?
Guryong, potret kesenjangan sosial di Korea Selatan
Distrik Gangnam dikenal sebagai kawasan elit dengan biaya hidup yang tinggi di Korea Selatan. Untuk memiliki tempat tinggal di sana, kamu harus merogoh kocek hingga 2 miliar Won atau setara dengan US$1,8 juta. Itu pun kamu hanya mendapatkan satu unit apartemen ukuran standar dan bukannya rumah beserta tanah.
Bergeser sedikit dari Gangnam, kamu akan menemukan Desa Guryong. Berbanding terbalik dengan Gangnam yang dipenuhi gedung-gedung bertingkat, Guryong merupakan kawasan kumuh. Rata-rata, rumah di desa tersebut dibangun menggunakan bahan seadanya dan sangat rawan terjadi kebakaran, karena satu sama lain saling menempel.
Melihat fotonya saja, sudah begitu terasa betapa kesenjangan sosial dan ekonomi sangat tampak di sini, bukan?
Sebanyak seribu keluarga menempati Desa Guryong dengan pendapatan sangat sedikit
Melansir dari Bloomberg.com, Guryong ditempati oleh sekitar seribu keluarga miskin dengan pendapatan yang sangat sedikit. Kebanyakan dari mereka bekerja serabutan, buruh harian, hingga mengais botol bekas demi mendapatkan upah US$10 (setara dengan Rp145 ribu) per hari.
Pemerintah Korea Selatan sempat ingin menggusur Desa Guryong dan memanfaatkan lahan tersebut untuk membuat 4.000 unit rumah bersubdi. Warga setempat dan pemilik lahan menyetujui usulan tersebut asalkan pemerintah memberikan ganti rugi atas kepemilikan lahan sebesar US$1 miliar atau 1,18 triliun Won.
Pemerintah Korea Selatan tidak bisa menyanggupi usulan tersebut. Mereka hanya bisa memberikan ganti rugi sebesar US$383 juta atau hanya 30% dari jumlah yang diusulkan. Karena tidak menemui jalan tengahnya, masalah ini pun masih terus berlanjut sampai saat ini.
Guryong muncul sebagai imbas dari Olimpiade Korea 1988
Menilik sejarahnya, Desa Guryong tak lepas dari Olimpiade Korea 1988. Saat itu, pembangunan besar-besaran terjadi di Seoul untuk menyambut pesta olahraga terbesar di dunia. Banyak rumah digusur demi membangun venue olahraga Olimpiade Korea 1988.
Akibatnya, mereka yang tergusur dan tidak memiliki tempat tinggal, berusaha mencari tempat berteduh. Sampai akhirnya, beberapa kelompok masyarakat yang terkena penggusuran ini memilih Guryong sebagai tempat tinggal mereka yang baru.
Sejak tahun 1988, masyarakat menempati Guryong dengan gratis dan tidak tercatat dalam catatan kependudukan pemerintah. Namun, mereka dapat hidup dengan normal dan secara gotong royong mulai membangun gereja, saluran air, listrik, hingga taman kanak-kanak. Baru beberapa tahun belakangan, Desa Guryong menjadi perhatian pemerintah setempat.
Malam-malam mencekam di Guryong
Sulitnya mencapai kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak, antara warga Guryong dan pemerintah Korea Selatan menimbulkan masalah baru lagi. Warga Guryong takut jika di malam hari, orang tak dikenal membakar desa mereka demi mendapatkan sebidang tanah untuk dijadikan perumahan bersubsidi.
Warga Guryong takut kejadian tahun 2009 di sebuah desa kumuh di Seoul terjadi pada tempat tinggal mereka. Saat itu, pemerintah ingin membangun gedung di sebuah wilayah. Karena warga tak memberikan tanah tersebut, bentrokan pun tak terhindarkan. Kebakaran terjadi dan menelan korban jiwa.
Maka dari itu, warga Guryong kerap melewati malam-malam mencekam. Mereka bergiliran menjaga perbatasan dan melarang siapa saja untuk keluar masuk kawasan mereka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Kerap disindir melalui serial drama, film, ataupun lagu
Kesenjangan yang terjadi di Guryong dan Gangnam memang sudah menjadi masalah serius di Korea Selatan. Bahkan hal ini kerap menjadi sasaran kritik sosial bagi para pekerja seni di sana.
Contohnya saja keadaan hidup serba mewah di Gangnam pernah disindir oleh PSY lewat lagu populernya "Gangnam Style". Dalam video klipnya, PSY menunjukan betapa ia dapat hidup bermewah-mewah sesuai dengan gaya hidup Gangnam.
Selain itu, kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi, juga pernah diangkat dalam film peraih piala Oscar 2020, Parasite. Film tersebut menunjukan, bahwa di kota yang sama, kesenjangan sosial begitu terasa dan bahkan benar-benar tidak adil.
Itulah tadi potret Desa Guryong yang menunjukan sisi lain Korea Selatan yang gemerlap. Bagaimana pendapatmu, Bela?