Akhir-akhir ini sedang ramai mengenai bunga Edelweiss yang tak boleh dipetik. Betul, bunga Edelweiss atau bahasa latinnya, Anaphalis javanica, yang tumbuh di kawasan taman nasional memang tidak boleh dipetik apalagi dengan sembarangan. Pasalnya si bunga keabadian ini merupakan salah satu jenis bunga yang rawan terhadap kepunahan. Pelarangan pemetikan Edelweiss sendiri sudah diatur dalam suatu hukum.
Walau demikian, banyak para pendaki di gunung Bromo yang nekat untuk memetik bunga tersebut. Selain itu, tak sedikit masyarakat daerah yang juga memetiknya untuk dipakai dalam kegiatan ritual. Terkini yang sedang hangat, adalah kritik untuk Aurel Hermansyah yang membagikan foto dengan bunga Edelweiss. Belakangan diketahui bahwa bunga tersebut dibeli dari hasil budidaya.
Bunga tersebut sudah banyak dibudidayakan saat ini, salah satunya oleh Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Nah, agar kamu tak asal kritik dan lebih tahu, yuk, simak fakta-fakta di balik budidaya bunga Edelweiss di kawasan wisata Bromo berikut ini.
Lestarikan bunga Edelweiss dan dampaknya
Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS) mengembangkan program budidaya Edelweiss. Hal ini dilakukan atas dasar kesadaran bahwa bunga tersebut rawan punah. Selanjutnya juga bertujuan agar tidak ada pengunjung atau pendaki yang memilih untuk mengambil dari kawasan nasional, melainkan dapat membeli dari hasil budidaya masyarakat setempat.
Dari budidaya tersebut, dampak baik dirasakan banyak pihak. Pertama, untuk kelestarian bunga Edelweiss sendiri. Kedua, untuk pengembangan keterampilan dan ekonomi masyarakat daerah setempat. Ketiga, untuk para pelancong yang datang sehingga mereka bisa selalu melihat keindahan bunga tersebut tanpa harus melanggar hukum.
Terdapat 1.500 bibit Edelweiss dibudidayakan di Probolinggo
Program pembudidayaan itu terdiri dari sekelompok warga yang berada di beberapa daerah. Salah satunya adalah kelompok Pokdarwis Gunung Bromo Tengger. Mereka membangun areal budidaya tanaman edelweis yang menjadi satu lokasi dengan rumah adat Tengger. Lokasinya berada di lereng puncak Seruni Point, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Ketua Pokdarwis, Sugeng Djumadyono mengatakan, ada sekitar 1.500 bibit Edelweiss yang dibudidayakan di areal rumah adat Tengger seluas setengah hektar. Bibit-bibit itu ditanam agar tanaman Edelweiss tetap terjaga kelestariannya.
Desa Wisata Edelweiss & pelestarian kebudayaan
Sugeng juga menyebutkan, jika sampai saat ini tanaman Edelweiss masih digunakan warga Tengger dalam upacara adat Suku Tengger, seperti Agem-agem dalam perayaan Karo. Maka itu, dengan adanya lahan budidaya ini, ke depannya para warga tidak lagi mengambil bunga Edelweiss dari alam bebas. Cukup diambil dari tempat tersebut untuk keperluan adat.
Di daerah lain yang cukup terkenal, yaitu Desa Wonokitri di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, atau tepat di kawasan penyangga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Desa ini disebut juga Desa Wisata Edelweiss yang diusulkan oleh Kelompok Tani bernama Hulun Hyang. Bahkan pada 2018, desa tersebut sudah memiliki legalitasnya melalui SK Bupati.
Ketua Kelompok Tani Edelweiss Hulun Hyang, Teguh Wibowo menuturkan bahwa awal dibangunnya desa ini adalah untuk melestarikan kebudayaan masyarakat Desa Wonokitri. Dulunya, masyarakat Desa Wonokitri kerap mengambil Edelweiss dari kawasan pegunungan. Namun setelah adanya larangan, maka kelompok tani ini berinsiatif untuk membuat program budidaya.
Sarana edukasi dan hiburan
Tanaman Edelweiss merupakan bagian dari kearifan lokal warga Suku Tengger Bromo. Terlebih jenis Anaphalis javanica yang keberadaanya mulai langka. Kehadiran areal budidaya tanaman edelweis ini diharapkan bisa menjadi tempat pembelajaran bagi para siswa sekolah maupun masyarakat umum, yang ingin belajar menanam Edelweiss dan mengenal budaya Suku Tengger.
Saat peresmiannya pada 2019 lalu, Camat Sukapura saat itu, Yulius Christian berharap tempat tersebut dapat menjadi mini museum bagi wisatawan yang berkunjung. Sebagai informasi tambahan, rumah adat Suku Tengger sendiri memiliki luas 10x9 meter persegi, di mana di dalamnya terdapat berbagai peralatan sehari-sehari khas warga Suku Tengger serta Pawon Tengger.
Sementara di Desa Wisata Edelweiss, Teguh mengatakan bahwa pembudidayaan ini juga merupakan wujud dari konsep eco wisata yang digagas Desa Wisata Edelweiss. Wisatawan yang datang dapat mempelajari informasi seputar budidaya Edelweiss, mulai dari pemilihan biji, penyapihannya hingga cara menanam.
Tak hanya sarana edukasi, Desa Wisata Edelweiss juga memiliki taman Edelweiss yang cantik sebagai daya tariknya. Wisatawan bisa berfoto di tengah hamparan bunga abadi dengan panorama latar belakangnya yang terlihat indah, yaitu pegunungan khas kawasan Bromo. Ditambah pula dengan cuaca dingin berkabut nan sejuk.
Memetik bunga dan suvenir edelweis
Untuk kamu yang berkunjung ke dua desa tersebut, kamu bisa membeli suvenir atau bunga tersebut. Khusus di Desa Wisata Edelweiss, wisatawan bisa membeli suvenir bunga Edelweiss yang dijual berbentuk gantungan kunci, boneka, kalung dan lainnya. Harga suvenir yang dijual mulai dari Rp20 ribu hingga Rp50 ribu
Untuk suvenir gantungan kunci dijual dengan harga Rp20 ribu, kalung Rp50 ribu, serta boneka Rp50 ribu. Ada juga suvenir yang biasa dipakai untuk pernikahan, dijual dengan harga mulai dari Rp150 ribu sampai Rp250 ribu.
Nah, itu dia fakta-fakta dari budidaya bunga Edelweiss yang ada di Bromo. Bagaimana, Bela? Sudah makin tahu kan tentang budidaya bunga Edelweiss. Jangan lupa bagikan ke yang lain, ya!