Pemerintah Korea Selatan mencanangkan tunjangan sebesar 650 ribu won atau Rp7,7 juta untuk anak muda yang kesepian dan punya gangguan interaksi sosial. Program ini hadir untuk mengatasi masalah hikikomori atau seseorang yang menarik diri dari kehidupan bermasyarakat. Tunjangan yang diberikan oleh Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga bertujuan untuk mendorong anak muda agar lebih banyak keluar rumah dan bersosialisasi dengan masyarakat.
Fasilitas apa saja yang diberikan?
Kebijakan ini juga memberikan fasilitas penunjang lainnya yang kiranya membantu neningkatkan rasa percaya para anak muda di Korea Selatan. Bantuan ini mencakup uang tunai sebesar 650 ribu won atau Rp 7,7 juta, dukungan pendidikan, pekerjaan kesehatan, dan pelatihan atau kursus untuk memperbaiki penampilan fisik. Adapun tunjangan ini diperuntukkan bagi anak muda berusia 9-24 tahun yang mengalami krisis kepercayaan diri dan kecemasan sosial.
Fenomena hikikomori yang tak bisa disepelekan
Majunya teknologi dan berkembangnya media sosial, membuat segelintir generasi muda terlena dengan interaksi virtual di dunia maya. Belum lagi kurangnya rasa percaya diri dan tak mendapat dukungan dari orang sekitar menjadikan anak muda memilih menarik diri dari dunia luar secara ekstrem.
Fenomena kesepian atau Hikikomori menjadi momok bagi Pemerintah Korea Selatan. Istilah berasal dari bahasa Jepang ini digunakan untuk mendeskripsikan kondisi penarikan dan isolasi sosial ekstrem. Pasalnya, sekitar 3 persen dari orang muda berusia 19 hingga 39 tahun di Korea Selatan mengalami fenomena tersebut. Mereka yang terisolasi, memilih untuk menyendiri di ruang terbatas dan membatasi interaksi sosial secara langsung.
Dampak kesepian yang tak bisa disepelekan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kesepian akut berisiko kematian yang dampaknya setara dengan merokok 15 batang sehari. Peristiwa ini tentulah bukanlah sepele. Melainkan adalah ancaman kesehatan global yang mendesak. Menurut WHO, kematian akibat kesepian memiliki dampak setara dengan merokok 15 batang sehari.
Lembaga kesehatan dunia ini pun membentuk Komisi Koneksi Sosial untuk membantu menyelesaikan masalah kesepian yang kian mengkhawatirkan. Komisi yang diketuai oleh U.S. Surgeon General Dr. Vivek Murthy dan African Union Youth Envoy Chido Mpemba ini beranggotakan 11 pembuat kebijakan ini berupaya menganalisa peran utama koneksi sosial dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
"Tingginya angka isolasi sosial dan kesepian di seluruh dunia membawa konsekuensi serius untuk kesehatan dan kesejahteraan. Orang yang tak memiliki koneksi sosial yang kuat lebih rentan terkena stroke, gangguan kecemasan, demensia, depresi, bunuh diri, dan lainnya. Komisi WHO ini akan membantu membangun koneksi sosial sebagai prioritas yang paling menjanjikan," ungkap Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghbereyes.
Mayoritas penderita Hikikomori di Korea Selatan berasal dari kalangan kurang mampu atau menengah ke bawah
Sebanyak 40 persen anak muda Korsel yang terisolasi dari kehidupan sosial bermasyarakat berasal dari keluarga kurang mampu atau menengah ke bawah. Mirisnya lagi, faktor ekonomi bukan menjadi penyebab utama kesepian di Negeri Ginseng. Masalah emosional seperti KDRT, bullying, dan kekerasan verbal dan mental adalah salah satu penyebab mengapa banyak membuat kawula muda merasa tertekan dengan hidupnya.
Faktor lainnya seperti kesulitan keuangan, penyakit mental, masalah keluarga, atau tantangan kesehatan juga mendukung gambaran miris tersebut.
Cerita pilu seorang penderita kesepian di Korea Selatan
Salah seorang remaja yang tak mau disebutkan namanya menceritakan kisah miris hidupnya. Ia menjadi takut untuk keluar rumah dan memilih mengasingkan diri karena menderita depresi akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Ketika saya berumur 15 tahun, (KDRT) membuat saya sangat tertekan sehingga saya mulai hidup terasing. Saya memilih sering tidur. Tidak banyak pilihan kegiatan selain makan saat lapar. Setelah itu saya kembali tidur,” ungkapnya.
Cerita di atasnya ternyata bukan satu-satunya yang terjadi. Banyak sekali anak-anak muda di Korea Selatan yang menjadi korban kekerasan oleh keluarganya. Belum lagi perundungan di sekolah yang marak terjadi di Negeri Ginseng itu. Membuat mereka menjadi minder dan takut untuk bersosialisasi, sehingga menimbulkan kecemasan sosial yang parah.
Langkah konkrit Pemerintah Korea Selatan untuk mengatasi masalah kesepian
Akan hal tersebut, Pemerintah Korea Selatan berupaya mencanangkan program untuk mendukung kesejahteraan psikologis warganya. Peningkatan layanan konseling berupa pemeriksaan kejiwaan pada kaum remaja setiap dua tahun sekali, juga menjadi langkah inovatif untuk menyelesaikan masalah kesehatan mental. Bahkan agenda ini masuk dalam skala nasional dan kuota yang tersedia hingga 1 juta orang, melansir KBS World.
Profesor Ilmu Politik Universitas Myongji, Shin Yul mengatakan agenda kesejahteraan ini dilancarkan untuk mendukung stabilitas emosi dan psikologis para penyendiri yang menarik diri dari dunia sosial. Terlebih menurut data The Korean Institute for Health and Social Affairs, sebanyak 350 ribu orang warga Korea Selatan berusia 19 sampai 39 dinilai terisolasi dan kesepian.
"Kebijakan ini pada dasarnya adalah kebijakan kesejahteraan. Meski tampak baik untuk mencoba berbagai pendekatan demi bisa meningkatkan populasi usia pekerja, ini tak dapat dilihat sebagai solusi jangka panjang untuk menyelesaikan populasi di sini," jelas Profesor Ilmu Politik Universitas Myongji, Shin Yul.