Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Kemerosotan Siswa Baru di Korea Selatan, Krisis Populasi Kian Nyata

Sekolah Korea Selatan kosong bak kota hantu

Ajenk Rama

Isu krisis populasi bukan omong kosong belaka, Korea Selatan mengalami masalah serius terkait kemerosotan siswa di banyak sekolah. Penurunan jumlah siswa yang mendaftar di tahun ajaran baru membuat sekolah harus 'menutup pintu' mereka. 

Melandainya populasi Korea Selatan sangat mengkhawatirkan, sebab Negeri 'Para Oppa' akan kekurangan generasi muda, yang berdampak besar bagi berbagai sektor di negara tersebut.

Pemerintah Korea Selatan tak tinggal diam melihat situasi ini, mereka mengambil langkah strategis untuk menuntaskan masalah populasi yang terus menyusut. Lalu, apa penyebab kemerosotan siswa baru di Negeri Ginseng itu? Strategi apa yang diambil agar sekolah-sekolah yang ada tidak menjadi 'kota hantu'? Mari kita simak penelusurannya di bawah ini. 

Rendahnya angka kelahiran per tahun

Berbagai sumber

Kenaikan populasi berkaitan erat dengan tingginya angka kelahiran di setiap negara. Jika populasi menurun, maka angka kelahiran akan rendah. Yup, tren demografis telah berubah di Korea Selatan. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah anak yang lahir dan bersekolah.

Menurut Korea Times, pada Februari 2024 hanya sekitar 19.362 bayi yang lahir di Korea Selatan. Total populasi diperkirakan menurun dari 51,67 juta pada 2022 menjadi 46,27 juta pada 2052, setelah mencapai puncaknya pada 51,75 juta pada 2024.

Jumlah bayi yang lahir mengalami kemerosotan sejak Oktober 2022. Menurunnya angka kelahiran akan mengurangi jumlah siswa baru yang masuk. Data The Korea Herald,  jumlah siswa baru bersekolah di Februari 2024 sekitar 357.771, dari bayi yang lahir di 2017.

Penurunannya cukup curam, sebab merosot dari 406.243 kelahiran di 2016. Tahun 2020, jumlah bayi yang lahir hanya 272.337 jiwa.  

Keengganan untuk melangsungkan pernikahan

Berbagai sumber

Menurut hasil jejak pendapat dari Komite Kepresidenan untuk Masyarakat Lanjut Usia dan Kebijakan Kependudukan (29 Maret - 3 April 2024) menunjukkan bahwa keengganan untuk melangsungkan pernikahan menurun sebesar 39 persen. 

Survei ini dilakukan kepada 2.011 partisipan (laki-laki dan perempuan) Korea dari usia 25 tahun sampai 49 tahun. Perempuan menjadi partisipan terbanyak yang tak ingin menikah sebesar 33,7 persen. 

Dari Badan Statistik Korea, jumlah pernikahan hanya mencapai 193.673 di 2023, merosot sangat tajam dari 322.807 pernikahan di 2013. Tren penurunan pernikahan tidak terjadi instan, melainkan telah terjadi selama 11 tahun (2012 - 2022). Penurunan ini berdampak ke angka kelahiran di negara Korea. 

Banyak faktor yang menyebabkan pernikahan tak lagi menjadi prioritas, yaitu beban peran dan tanggung jawab setelah menikah, kekhawatiran finansial, beban utang, kesempatan kerja belum merata, serta jaminan work-life balance belum terwujud. 

Lebih dari 150 sekolah tidak memiliki siswa baru

Koreatimes.co.kr

Imbasnya cukup luar biasa, lebih dari 150 sekolah dasar di Korea Selatan tidak mempunyai siswa kelas satu di Maret 2024. Kementerian Pendidikan Korea Selatan mengatakan jika hampir setiap Provinsi dan Distrik Metropolitan, memiliki setidaknya satu sekolah dasar yang tidak punya siswa baru. 

Jeolla Utara menjadi Provinsi dengan 34 sekolah tanpa siswa baru. Melansir Korea Herald, jumlah siswa sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas secara nasional diprediksi turun dari 5,13 juta di 2024 menjadi 4,83 juta di 2026. 

Pada 2029 mendatang, jumlah siswa diperkirakan terus melandai hingga mencapai 4,275 juta, artinya mengalami penurunan sekitar 1 juta siswa dalam lima tahun. Jumlah siswa kelas satu diprediksi berjumlah 347.950 pada 2024 merosot ke 244.965 di 2029, menurut laporan yang dirilis oleh Komite Pendidikan di Majelis Nasional.

Berbagai langkah strategis Pemerintah Korea

Chosun.com

Pemerintah Korea Selatan memainkan berbagai langkah strategis untuk menyelamatkan negaranya dari krisis populasi berkepanjangan. Mereka memformulasikan kebijakan, yang sekiranya mampu mendongkrak angka kelahiran. 

Beberapa kebijakan adalah memperpanjang cuti berbayar khusus ayah, kampanye sosial untuk mendorong laki-laki berkontribusi saat pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga, subsidi penitipan anak, hunian sewa bagi orang tua baru, hingga insentif finansial bagi keluarga yang mendaftarkan sekolah. 

Selain itu, Pemerintah tengah membuat kebijakan baru pada April 2024, yaitu memberikan insentif ke bayi yang lahir sebesar 100 juta won atau Rp1,1 miliar. Saat ini, orang tua yang memiliki anak di Korea menerima bantuan sekitar 35 juta won atau Rp414 juta sampai 50 juta won atau Rp592 juta melalui berbagai program (dari lahir - anak berusia 7 tahun). 

Pemerintah Korea Selatan telah menggelontorkan dana lebih dari US$200 miliar untuk meningkatkan populasi, namun berbagai langkah itu belum membuahkan hasil positif yang signifikan.  

Sebuah benefit yang sangat menggiurkan, ya. Nah, apakah kamu tertarik untuk melahirkan dan bersekolah di Korea Selatan, Bela?

IDN Channels

Latest from News