Iso-Late Show, Cuma di Indonesia (CDI), Tonton Tentang Tantang (TTT), hingga GTries. Istilah-istilah catchy tersebut merupakan nama segmen dalam kanal YouTube pengusaha perempuan asal Indonesia, Grace Tahir. Direktur Mayapada Hospital ini turut meluangkan waktunya untuk meramaikan dunia konten yang mendadak padat informasi karena pandemi.
Berkat perpaduan konten inspiratif dan gayanya yang anak muda banget, ia mampu menggaet lebih dari 130 ribu subscribers dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Tentu ia tidak sendiri. Bersamanya, ada Shabila Arben atau yang akrab dipanggil Shasha. Dua sosok yang awalnya mengenal secara pribadi ini kemudian berkolaborasi membangun Everest Media yang menjadi "dapur" untuk kontennya.
"Saya sebetulnya kenal beliau (secara) pribadi. Kemudian memang ada pekerjaan, proyek-proyek yang kita bersinggungan. Sebelumnya background saya di sini lebih ke education, music. Jadi kita memang pernah bekerja sama dalam hal tersebut," katanya kepada Popbela dalam sebuah wawancara eksklusif.
Perjalanan membentuk Everest Media
Sebagai co-founder, Shasha menjadi saksi bagaimana Everest Media lahir. Hal ini berangkat dari kebutuhan informasi soal COVID-19 di tengah masyarakat. Oleh karena itu, fitur siaran langsung yang dimiliki oleh Instagram dimanfaatkan keduanya untuk memuaskan rasa penasaran netizen.
"Everest Media itu terbentuk awal tahun ini. Jadi prosesnya udah kita lakukan saat pandemi sebenernya. Jadi dimulai dari Instagram live, simple aja sebetulnya. Jadi karena memang ada kebutuhan di masyarakat waktu COVID itu untuk menanyakan informasi tentang COVID. Kebetulan Grace Tahir kan punya hospital. Jadi mungkin informasi yang didapatkan dari beliau itu bisa lebih detail," ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, inisiatif sederhana ini menggaet perhatian publik dengan skala yang lebih luas. Diskusi pun tak lagi soal COVID-19 saja. Akhirnya, niat untuk lebih serius menggelutinya pun tercetus. Everest Media kemudian menjadi sebuah Perseroan Terbuka (PT).
Meski tak punya latar belakang di industri media, Shasha tetap mantap untuk terlibat. Lulusan S-2 Manajemen dari Universitas Pelita Harapan ini punya kemampuan untuk mengomunikasikan pesan kepada audiens yang saling melengkapi dengan latar belakang Grace sebagai pebisnis. Selain itu, pasar media di Indonesia juga ia nilai punya potensi yang amat besar. Ia ingin, apa yang dilakukannya bisa memberi dampak untuk banyak orang.
"Perjalanannya sendiri kalau dari saya pribadi kenapa tertarik gabung dengan Everest Media ini yang pertama itu saya melihat potensi di market media industry itu masih sangat besar, especially Indonesia dengan kita punya penduduk yang banyaknya itu luar biasa banyak. Alesan kedua adalah dengan media company gitu kita bisa ngasih impact yang lebih besar kepada masyarakat dibandingkan saya individu memberikan impact kepada orang di sekitar saya aja, circle saya. Tapi dengan adanya media company, seperti yang kita tahu kita bisa jangkau orang-orang yang bahkan di pelosok, atau mungkin orang Indonesia yang ada di luar negeri gitu. Impact yang kita berikan akan lebih multiply dengan kita memiliki media company ini," ungkapnya.
Jadi pemimpin perempuan
Tak pelak, jadi pemimpin perempuan pun punya tantangan tersendiri. Sebelumnya, Shasha bekerja di industri teknologi yang didominasi oleh laki-laki. Pernah ia mengalami dinomorduakan karena gendernya. Namun, kini ia lebih sadar dengan value dirinya. Setelah pindah ke industri media, perempuan yang hobi travelling ini mencoba untuk menjadi diri sendiri.
"Saya pernah bergabung dengan industri teknologi di mana itu semuanya lelaki, almost 90-95% dikuasai oleh laki-laki. Saya penah mengalami dinomorduakan lah, seperti itu. Nah, tapi sekarang itu saya lebih sadar kalau perempuan bisa menggunakan itu sebagai kelebihan mereka. Justru itu bukan kayak lu perempuan sendirian, laki-laki banyak, tapi kayak, 'oh gue the only woman here. So the attention will go to me'. Begitu juga di media seperti itu. Memang kalau di media sampai saat ini kalau tantangan nggak terlalu banyak dibandingkan industri yang saya geluti beberapa tahun belakangan. Di sini we just try to be ourselves dan posisinya sebagai pemimpin di sini seperti yang saya ucapkan tadi. Saya udah tahu value saya apa, passion saya di mana, dan kalau ada orang lain yang mengatakan, 'ah lu perempuan nggak bisa ini,' i don't care about that anymore. Used to be dengerin, tapi sekarang no sekarang lebih fokus ke visi," kenangnya.
Di Everest Media, tim yang berada di balik layar mayoritas berasal dari generasi Z. Shasha sendiri merupakan seorang millennial yang lahir pada 3 Oktober 1989. Sebagai pemimpin untuk tim dari generasi yang berbeda, ia berusaha membuat beberapa penyesuaian.
"Jadi di tim kita itu karena memang generasi Z yang banyak, jadi cara komunikasinya juga beda, dan kita itu bukan 'membebaskan' mereka untuk melakukan apa aja, nggak juga, tapi tidak se-strict 9 to 5 working. Jadi yang penting itu pekerjaan harus diselesaikan dengan baik, of course. Dan kalau misalnya memang memerlukan beberapa kali meeting atau segala macem, itu tetep harus diselesaikan. Tapi to be honest saya bisa bilang di Everest Media secara schedule itu lebih fleksibel," katanya.
Cara tetap eksis di tengah persaingan
Kembali lagi, dunia perkontenan yang kini banyak diminati memang sebuah kabar baik bagi ekosistem digital Indonesia. Namun, hal ini juga yang jadi PR besar bagi para kreator konten: bagaimana cara agar tetap outstanding di tengah lonjakan konten serupa?
"So what's important in Everest Media is we need to stay true to ourselves. Dan eventually I think audiens itu akan melihat kita sebagai seseorang atau sebuah platform yang berbeda dibandingkan platform-platform lainnya. You need to stay true to yourself. I mean kalau ada suatu konten yang lagi viral contohnya, kita plek ketiplek ikutin itu? No. You can copy, but you have to modify according to your own blood," jawab Shasha.
Dengan cara tersebut, ia menilai audiens akan terbentuk dengan sendirinya. Oleh karena itu, penggodokan ide yang dilakukan di Everest Media pun berangkat dari diskusi tim. Meski tetap mengikuti tren, value untuk memberi dampak kepada banyak orang itu sebisa mungkin terus terjaga.
"Misalnya, baru tadi kita interview ada sesuatu yang berhubungan dengan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Isunya kan kemarin sempat bergejolak lagi, ya? So, gimana caranya kita membicarakan itu dengan sisi Everest Media sendiri? Jadi bukan kita korek-korek siapa itu yang melakukan KDRT, tapi apa yang bisa kita dapatkan dari kasus KDRT ini? So, that's the thing yang kita jaga lah. Nggak cuma masalah sensasi atau segala macem, tapi we have to make sure dari setiap konten yang kita punya itu pendengar bisa mendapatkan sesuatu yang mungkin tidak didapat dengan konten-konten yang lain," paparnya.
Kesan berkecimpung di Everest Media
Tak dapat dimungkiri, bergelut di industri kreatif seperti media membuat Shasha bisa menjumpai figur publik dari berbagai profesi, seperti aktor, musisi, hingga politisi. Meski bukan dirinya yang melakukan wawancara secara langsung, ia tetap mendapatkan perspektif baru dari narasumber yang dihadirkan untuk konten Everest Media.
"Mungkin bukan saya yang interview mereka, tapi setiap ada yang interview saya dengerin. Dari situ saya dengarkanlah apa yang mereka omongin. Menurut saya itu hal-hal yang tak ternilai, itu adalah sesuatu yang berkesan, valuable memory buat saya. Contoh nih ada Bapak Gita Wirjawan, kalau nggak ada interview di Everest Media mungkin saya nggak akan tahu dia punya pemikiran seperti itu, jawabannya berbeda, dan something kayak very valuable. Saya nggak bisa dapatkan let's say saya ngobrol dengan ibu saya, misalnya, temen-temen, atau saya punya circle. Tapi dengan mendengarkan orang-orang yang kita interview inilah itu satu kesan pesan yang menurut saya nggak bisa didapatkan di industri lain yang saya pernah bekerja sebelumnya," terang Shasha.
Selain itu, Everest Media juga membuat Shasha bekerja dengan Grace yang notabene berasal dari keluarga pebisnis besar di Indonesia. Baginya, hal ini merupakan sebuah kehormatan karena ia ikut ketularan prinsip hidup baik yang diajarkan dalam lingkup keluarga Tahir.
"I feel really honored to know her as individual dan juga as a working partner. Karena bukan cuma masalah background, tapi masalah she is as a person. Saya ngerasa tiap kerja, value-value yang saya dapatkan itu nggak bisa saya dapatkan dari background kelas saya. Contoh, apa yang dia dapatkan dari bapaknya, karena saya dekat dengan Grace, dari papanya itu bisa nyampe ke saya. Jadi memang I love to learn. I love to listen to other people punya omongan, dalam artian mereka punya value apa, perspektif apa, karena it's very very interesting for me. Dengan adanya Grace Tahir ini, saya rasa value yang saya pegang sampai sekarang itu, kamu harus memberikan impact kepada orang lain," ungkapnya.
Menutup perbincangan yang isinya "daging" ini, Shasha memiliki harapan sederhana untuk para pelaku media Indonesia agar dapat memberi sumbangsih dalam kemajuan bangsa melalui karyanya. Ia ingin, konten yang dikonsumsi masyarakat tak sekadar sensasi yang mengejar jumlah penonton.
"Saya harap mungkin para pelaku media itu bisa terus memberikan sesuatu yang untuk kemajuan kita semua lah. Mungkin terdengar klise, but we still need that everytime. Just spread what positivity, anything. Konten-konten yang bukan cuma mengejar views, tapi juga ada bobotnya gitu. Kemasannya terserah lah lo mau buat kayak apa. Cuma harus tetap ada bobot yang pada saat kita lempar itu konten, we make sure at least itu orang bisa dapet something dari nonton kamu punya konten. No matter how small," pungkasnya.
Setuju banget, deh, dengan pernyataan di atas. Ingat Bela, tontonanmu mendefinisikan siapa dirimu. Oleh karena itu, kamu juga jangan lupa nonton dan subscribe kanal Grace Tahir di YouTube, ya!