Masalah penurunan populasi di Jepang mulai jadi kekhawatiran pemerintah setempat. Pasalnya, dampak nyata kian terasa. Salah satunya penutupan sekolah di sejumlah wilayah karena tidak adanya siswa baru yang mendaftar.
Mengutip Reuters, sekolah yang baru-baru ini tutup adalah SMP Yumoto. Akhir Maret kemarin, institusi ini meluluskan dua siswa terakhirnya, Eita Sato dan Aoi Hoshi. Kabar penutupan sekolah yang telah berdiri sejak 76 tahun lalu ini rupanya sudah berembus sejak satu tahun lalu.
"Kami mendengar rumor penutupan sekolah saat di tahun kedua, tetapi aku tak menyangka ini akan benar-benar terjadi. Aku terkejut," kata Eita.
Berlokasi di Desa Ten-ei
SMP Yumoto merupakan salah satu fasilitas pendidikan yang tersedia di Desa Ten-ei. Berlokasi di prefektur Fukushima, wilayah ini memiliki kurang dari 5.000 penduduk. Jumlah generasi mudanya, terutama di bawah usia 18 tahun, pun diperkirakan hanya 10%. Padahal, di masa kejayaan desa ini pada 1950, setidaknya ada 10.000 jiwa yang bermukim.
Pengurangan populasi ini tak lepas dari imbas bencana nuklir Fukushima pada 11 Maret 2011 yang dipicu oleh tsunami. Desa Ten-ei berjarak kurang dari 100 kilometer dari lokasi ditanamnya nuklir. Praktis, willayah ini terpapar kontaminasi radioaktif.
SMP Yumoto adalah bangunan 2 lantai yang awalnya bisa meluluskan hingga 50 siswa dalam setahun. Di salah satu sudut ruangan, terdapat foto kelulusan dari masih hitam putih sampai berwarna. Sayangnya, jumlah siswanya kian berkurang mulai tahun 2000-an. Bahkan tak ada foto kelulusan dari tahun lalu.
"Aku khawatir orang-orang tidak akan mempertimbangkan daerah ini untuk pindahan dan memulai kehidupan keluarga karena tidak ada SMP," ungkap Masumi, ibu Eita yang juga lulusan SMP Yumoto.
Tradisi kelulusan yang berubah
Minimnya jumlah siswa ini kemudian membuat tradisi kelulusan sekolah berubah. Misalnya penyematan korsase yang seharusnya disematkan oleh adik kelas, kali ini disematkan oleh guru. Acara kelulusan pun hanya dilakukan di ruang kelas yang dihias sederhana. Keluarga Eita dan Aoi tampak hadir dan melakukan sesi foto bersama.
Eita dan Aoi sudah berteman sejak kelas 3 SD. Awalnya, ada tiga siswa lainnya. Namun, mereka tak melanjutkan ke SMP Yumoto seperti keduanya.
Di ruang kelas yang didesain untuk 20 orang tersebut, Eita dan Aoi duduk di tengah kelas. Awalnya mereka kerap bertengkar saat masih beradaptasi. Namun, mereka jadi terbiasa seiring berjalannya waktu. Keduanya berusaha menjalani kehidupan sekolah seperti umumnya, termasuk memiliki kegiatan ekstrakuriukuler olahraga berpasangan seperti tenis meja.
Rencana alihfungsi bangunan sekolah
Sementara itu, rencana alihfungsi bangunan sekolah masih dibicarakan oleh pihak-pihak yang berwenang. Di wilayah lain Jepang yang juga mengalami penutupan sekolah, bangunan akan disulap menjadi museum seni atau kilang anggur.
Sungguh disayangkan, ya, Bela.