Survei membuktikan bahwa sekitar separuh anak muda Korea Selatan hidup dalam kemiskinan. Hal ini diungkapkan oleh Pemerintah Metropolitan Seoul dan Institut Seoul pada Rabu (8/12). Sungguh kenyataan yang ironis, mengingat apa yang terlihat di lensa saat ini adalah muda-mudi Korea yang berlomba untuk berkarya lewat seni peran atau musik.
Kira-kira apa penyebab kemiskinan yang dialami para pemuda ini? Lalu, akankah hal ini ada kaitannya dengan penurunan angka kelahiran di Negeri Ginseng yang akhir-akhir ini santer dibahas? Melansir The Korea Herald, simak pembahasannya di bawah ini, yuk!
Penyebab anak muda Korea Selatan hidup miskin
Tidak lain dan tidak bukan, penyebab utama angka kemiskinan pada anak muda ini naik karena sulitnya mencari pekerjaan. Hal ini disampaikan oleh Profesor Shin Gyeong Ah dari Departemen Sosiologi Universitas Hanlim. Data dari Statistik Korea mencatat bahwa ada 45,4% populasi pemuda berusia 15 hingga 29 tahun telah menganggur selama lebih dari setahun pada tahun ini.
“Tingginya angka kemiskinan di kalangan generasi muda dapat dikaitkan dengan tingginya angka pengangguran secara konsisten. ... Jika tingkat pengangguran terus berlanjut, hal ini dapat menyebabkan peningkatan jumlah generasi muda NEET (not in education, employment, or training)–atau generasi muda yang 'tidak mengenyam pendidikan, pekerjaan atau pelatihan,'" kata sang profesor.
Akhir Oktober lalu, Statistik Korea juga merilis data yang menunjukkan 218.000 warga Korea Selatan berusia 15 hingga 29 tahun belum bekerja selama lebih dari tiga tahun pada Mei 2023. Bahkan 80.000 orang di antaranya menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah tanpa mencari pekerjaan atau pelatihan dan pendidikan untuk mendapatkan peluang kerja. Hal ini rupanya tidak terjadi tanpa alasan, lho.
“Pekerjaan dengan prospek bagus dan gaji yang layak–seperti posisi penuh waktu di perusahaan besar dengan lebih dari 300 karyawan–hanya mencakup sekitar 10 persen dari seluruh pekerjaan di negara ini,” ungkap Profesor Kim Sung Hee dari Sekolah Pascasarjana Studi Perburuhan Universitas Korea.
Sebagaimana negara maju lainnya, pekerjaan lepas (freelance) sudah umum di Korea Selatan. Namun, hal tersebut menimbulkan rasa tidak aman dalam kehidupan finansial para anak muda. Profesor Kim Sang Bong dari Universitas Hansung menyebut, negara ini memerlukan ekosistem yang jelas agar masyarakat terbiasa dengan bursa kerja baru.
“Jika kita tidak dapat menciptakan posisi yang secara tradisional dianggap sebagai pekerjaan yang baik, kita harus berusaha membuat pasar tenaga kerja lebih fleksibel dengan mempersempit kesenjangan upah antara pekerja tetap dan non-reguler dan melindungi pekerja yang tidak terkena hukum,” ujarnya.
Masih disokong orang tuanya
Kembali kepada data dari Pemerintah Metropolitan Seoul dan Institut Seoul, 55,6% populasi kaum muda di Seoul menghadapi kemiskinan aset. Artinya, mereka kekurangan aset likuid untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka selama tiga bulan. Mereka yang berusia 19 hingga 24 tahun mempunyai tingkat kemiskinan pendapatan pribadi tertinggi, yakni sebesar 73,4%. Lalu, bagaimana mereka bisa menyambung hidup?
Masih dari survei yang sama, sebanyak 41,2% responden mengaku masih disokong oleh orang tuanya. Solusi lain yang dipilih adalah membatalkan rekening tabungan atau deposito (17,7%) dan menerima pinjaman dari lembaga keuangan (11%). Namun, ada juga 10,4% populasi yang mengaku tidak dapat menemukan solusi kekurangan biaya hidup ini.
Survei lain yang dilakukan oleh Institut Kesehatan dan Sosial Korea (KIHASA) menunjukkan bahwa 57,5% orang berusia 19 hingga 34 tahun tinggal bersama orang tua mereka. Sebanyak 67,7% responden mengatakan mereka tidak berencana meninggalkan rumah orang tuanya. Setidaknya ada 56,6% yang kompak beralasan karena ketidakstabilan ekonomi. Masih dari Profesor Shin Gyeong Ah, hal ini juga akan berdampak kurang baik untuk pihak orang tua.
“Jika pengangguran dan tingginya jumlah generasi muda NEET terus berlanjut, akan makin sulit bagi generasi muda untuk mandiri dari orang tua mereka dan mereka akan terus menerima dukungan finansial dari orang tua merek. Ujung-ujungnya, para orang tua juga akan makin sulit untuk menabung uang pensiun,” tambahnya.
Jadi menarik diri dari masyarakat
Dampak kemiskinan ini sudah terlihat langsung di kalangan anak muda. Mereka jadi cenderung menarik diri dari kehidupan bermasyarakat. Menurut survei Kementerian Kesehatan terhadap 5.000 anak muda berusia 19 hingga 39 tahun pada bulan Juli, 5% dari seluruh responden pernah mengurung diri. Kementerian memperkirakan ada sekitar 516.000 anak muda di seluruh negeri yang setidaknya pernah melakukan isolasi psikologis dan fisik, seperti memutus hubungan sosial atau tidak meninggalkan rumah selama berbulan-bulan.
Dalam survei terpisah dan berskala nasional, Kementerian memperkirakan terdapat sekitar 530.000 anak muda yang hidup menyendiri. Dalam survei tersebut, 18,5% responden yang tergolong remaja penyendiri menggunakan obat-obatan psikiatris. Sementara itu, 55,7% berharap untuk kembali ke masyarakat.
Wakil Menteri Tenaga Kerja Lee Sung Hee kemudian mengumumkan program bantuan dana sebesar 3 juta won untuk 9.000 pemuda pengangguran mulai tahun depan. Biaya dengan total investasi 28,1 miliar won ini nantinya akan menerima subsidi tunai satu kali, konseling, dan konsultasi pencarian kerja. Di sisi lain, Kementerian Kesehatan juga mengalokasikan 330,9 miliar won, naik 43% dari tahun ini, untuk kebijakan kesejahteraan pemuda tahun depan. Psikoterapi dan dukungan ekonomi telah diperkuat bagi kaum muda yang berada dalam krisis, termasuk kaum muda yang tertutup.
Berdampak pada keinginan untuk menikah dan punya anak
Aspek kehidupan lain yang juga terpengaruh dari kemiskinan ini adalah menurunnya keinginan anak muda untuk menikah dan punya anak. Statistik Korea pada Agustus 2023 melakukan survei kepada 36.000 anak muda tentang pandangan mereka soal menikah. Hasilnya, hanya 36,4% responden yang menyambut positif ide pernikahan. Angka tersebut turun drastis hingga 20,1% hanya dalam satu dekade. Padahal, persentase tersebut masih di angka 56,5% pada 2012.
Lagi dan lagi, keadaan ekonomilah yang jadi alasan terbesar seseorang untuk tidak menikah. Baik responden laki-laki maupun perempuan sepakat biaya pernikahan mahal. Lebih spesifik, 80% laki-laki menolak menikah karena ketidakstabilan finansial. Sementara itu, responden perempuan enggan menikah karena beban sosial untuk mengurus rumah tangga juga terasa berat selain faktor keuangan. Tak heran jika angka pernikahan di Korea Selatan menjadi yang terendah sejak data ini rutin dicatat pada 1970.
Faktor-faktor tersebut kemudian berkaitan langsung dengan penurunan angka kelahiran di Negeri Ginseng tersebut. Tingkat kesuburan total Korea pada kuartal kedua tahun 2023 adalah 0,7. Artinya, jumlah rata-rata bayi yang diperkirakan akan dilahirkan oleh seorang wanita seumur hidupnya turun 0,05 dari tahun lalu. Ini merupakan angka terendah sejak 2009, ketika statistik terkait mulai dikumpulkan.
Karena fakta lapangan yang kian mengkhawatirkan, pemerintah daerah pun berupaya mendorong generasi muda untuk menikah. Kota Seongnam di Provinsi Gyeonggi mengadakan acara kencan buta untuk mengatur pertemuan antara pria dan wanita yang belum menikah selama dua bulan mulai bulan Juli. Pemerintah Metropolitan Seoul juga sedang mempertimbangkan proyek serupa. Sementara itu, Provinsi Jeolla Selatan mendeklarasikan bahwa kota-kotanya “ramah kaum muda” pada 16 September. Mereka berjanji untuk melakukan berbagai tindakan seperti bantuan perumahan dan uang ucapan selamat bagi warganya yang bersedia menikah.
Duh, ternyata masalahnya sekompleks itu, ya, Bela. Bagaimana tanggapanmu?