Mata publik masih terus tertuju kepada Livi Zheng dengan berbagai kontroversi yang timbul, bersamaan dengan penayangan karya film terbarunya, “Bali: Beats of Paradise,” di Indonesia. Kritikus dan sineas pun ikut mempertanyakan Livi yang mengaku sebagai “sutradara Hollywood.”
VOA Indonesia melakukan verifikasi terkait kredibilitas Livi, termasuk catatan penghasilan filmnya di Amerika dan mewawancara eksklusif beberapa pakar film di Amerika, serta juru bicara perusahaan Walt Disney, tempat di mana Livi katakan kini ia bekerja.
Tidak Ada Catatan Penghasilan Box Office di Amerika
Saat menempuh pendidikan S2 jurusan produksi film di University of Southern California – School of Cinematic Arts di California, Livi ikut mendirikan rumah produksi Sun and Moon Films, dimana ia menjadi sutradara untuk iklan, film, dan profil perusahaan.
Sebelum lulus, tahun 2015 Livi merilis karya film arahannya yang berjudul “Brush With Danger,” yang didanai oleh beberapa investor dan sponsor yang namanya tidak mau disebutkan oleh Livi.
Tahun 2018, Livi merilis film dokumenter “Bali Beats of Paradise,” yang bercerita tentang seniman Bali, I Nyoman Wenten, yang memperkenalkan gamelan di Los Angeles. Film ini ditayangkan perdana di Samuel Goldwyn Theatre yang terletak di markas besar Academy of Motion Picture Arts and Sciences, di Beverly Hills, California.
Selain di Amerika, termasuk negara bagian California dan New York, film ini juga ditayangkan di Korea Selatan dan Indonesia.
Livi menyebut filmnya ini mendapat ulasan “It’s entertaining” atau “menghibur” dari surat kabar the Los Angeles Times. Namun, kutipannya tidak berhenti disitu. Los Angeles Times mengatakan, "Film ini menghibur, tapi tidak terlalu, terutama karena banyak dipenuhi dengan video-video yang ditayangkan setelah film ini usai (red: setelah credit title berakhir).”
Kepada VOA, Livi bercerita dua film arahannya ini mendapat distribusi untuk tayang di jaringan bioskop Amerika seperti AMC dan Regal, juga bioskop independen di beberapa negara bagian di Amerika, seperti Los Angeles, New York, Washington, New Mexico, dan Ohio.
“Kalau untuk film yang saya sutradarai langsung seperti layar lebar “Bali: Beats of Paradise” dan juga “Brush with Danger” itu kita langsung dapat distribusi bioskop, baik di Amerika maupun Indonesia,” ujarnya.
Situs IMDB Pro dan Box Office Mojo menyebutkan bahwa film “Bali Beats of Paradise” telah meraup total penghasilan sebesar $8.876 atau sekitar Rp124 juta dalam dua minggu masa penayangannya di 11 bioskop di Korea Selatan tanggal 19-28 April 2019. Namun, tidak ada catatan angka penghasilan untuk dua film tersebut di Amerika.
Diputar di Walt Disney Hanya untuk Karyawan
Livi kerap mengatakan bahwa film “Bali: Beats of Paradise” juga diputar di Walt Disney.
Lewat sebuah e-mail, the Walt Disney Studios di Burbank, California mengundang Livi beserta produser eksekutif, Julia Gouw, dan komposer gamelan, Nyoman Wenten untuk memutar film “Bali Beats of Paradise” di Feature Animation Southside Theatre di the Walt Disney Studios untuk ditonton bersama karyawan dan bukan untuk publik. Dalam kesempatan tersebut juga diadakan sesi tanya jawab bersama Livi dan Nyoman Wenten.
Paul Briggs, aktor suara sekaligus sutradara film-film Disney yang juga adalah story supervisor untuk film “Frozen” dan “Big Hero 6” ikut hadir di acara tersebut. Sebelumnya, Paul Briggs juga hadir di acara pemutaran perdana film “Bali: Beats of Paradise” di markas besar Academy of Motion Picture Arts and Sciences di Beverly Hills, California.
“(Livi) adalah sineas yang berbakat. Saya sangat menikmati “Bali Beats of Paradise!” Saya senang bisa diperkenalkan kepada musik yang indah dari Nyoman Wenten,” kata Paul Briggs kepada VOA Indonesia.
Dalam akun Facebooknya, Livi menyebut bahwa dirinya kini bekerja di Walt Disney Animation Studios, yang adalah bagian dari Walt Disney Pictures. Ketika dikonfirmasi, Livi menegaskan hal itu, “Iya betul. Saya jadi konsultan untuk Asia Tenggara untuk Walt Disney Pictures,” ujar Livi.
Karena terkait kontrak, Livi tidak mau berbicara banyak mengenai pekerjaannya. Namun, VOA Indonesia meminta konfirmasi langsung dari juru bicara Disney yang mengatakan:
“Para sineas film “Raya and the Last Dragon” melibatkan orang-orang yang luar biasa di Asia Tenggara saat melakukan penelitian ke daerah itu, termasuk Livi Zheng.”
Film animasi Disney, “Raya and the Last Dragon” yang disebut di atas adalah film yang mengangkat kebudayaan Asia Tenggara, yang kini masih dalam tahap produksi.
Situs IMDB menyebutkan bahwa film yang akan dirilis November 2020 mendatang ini ternyata juga disutradarai oleh Paul Briggs.
Siapa Saja Bisa Jadi “Sutradara Hollywood?”
Dalam poster film “Brush With Danger” yang tercantum di situs IMDB yang menyimpan informasi lengkap untuk beragam film, serial televisi, video game, dan layanan streaming online, tertera kalimat “Film Hollywood.”
Mengenai pengertian kata “film Hollywood,” Livi mengutip penjelasan seseorang bernama David Mullich, di situs Quora yang merupakan tempat warganet mencari informasi.
Setelah ditelusuri oleh VOA Indonesia, David Mullich adalah seorang produser sekaligus desainer video games yang ternyata tidak punya catatan karir di dunia film.
“Menurut David Mullich, Hollywood adalah sebuah nama yang mendeskripsikan industri perfilman di Amerika. Hollywood dimulai di Los Angeles, California. Jadi film Hollywood adalah film Amerika,” jelas Livi.
Kritikus film sekaligus salah satu pendiri Washington DC Area Film Critics Association, Nell Minow, memiliki pemikiran yang berbeda.
Menurutnya, secara tradisi, film Hollywood adalah film yang diproduksi oleh rumah produksi film besar seperti 20th Century Fox, MGM, Columbia, dan Paramount. Penyebutan ‘film Hollywood’ juga tergantung dari mana dana untuk pembuatan film itu berasal.
“Jika dana tersebut berasal dari perusahaan, maka film itu adalah film Hollywood. Namun, jika kamu menggalang dana hanya untuk menggarap sebuah film dan mendapat uang dari berbagai sumber, maka itu adalah film independen dan bukan film Hollywood,” tegas Nell Minow kepada VOA.
Menurut produser film dan serial televisi, Neal Weisman, yang juga adalah ketua jurusan produksi film di New York Film Academy, di New York, definisi ‘film Hollywood’ atau ‘sineas Hollywood’ masih rancu.
“Definisi umum (sineas Hollywood) adalah mereka yang bekerja untuk studio (besar),” ujarnya.Namun, Neal kurang nyaman dengan definisi itu, karena banyak film independen yang memakan biaya cukup besar, dan bisa bersaing dengan film-film garapan studio besar.
Dalam mengajar, Neal Weisman banyak menggunakan kalimat ‘film Hollywood’ sebagai referensi kepada industri film dan televisi di Amerika. Tetapi ada juga pengecualiannya.
“Jika ada sineas Indonesia yang membawa proyek mereka atau menemukan proyek di Amerika Serikat atau Los Angeles, dan mereka membuat film independen, dan kebetulan saja mereka tinggal dan bekerja di Los Angeles, saya mungkin tidak akan menyebut film itu film Hollywood,” ujar Neal Weisman kepada VOA.
Neal Weisman menambahkan, berdasarkan sejarah banyak sineas yang bukan warga negara Amerika yang sudah berkarier di negara asalnya lalu datang ke Hollywood dan membuat film berbahasa Inggris yang sukses di industri film Hollywood, seperti Alfred Hitchcock, Billy Wilder, dan Guillermo del Toro.
“Jadi ada kemungkinannya untuk menjadi, tanda kutip sineas Hollywood, walau tidak lahir di Amerika Serikat atau warga negara Amerika atau memulai kariernya di Amerika Serikat,” jelasnya.
Kedua film Livi diproduksi oleh rumah produksi Sun and Moon Films yang berpusat di Amerika dan memang ada yang mengambil lokasi syuting di sekitaran kota Los Angeles.
“Jika anda tinggal dan bekerja di Los Angeles, saya rasa tidak ada yang bisa mencegah untuk menyebut anda atau memanggil anda sineas Hollywood,” jelas Neal Weisman.
Apakah sebutan sebagai sineas Hollywood ini adalah prestasi atau bukan, semua kembali lagi kepada penjelasan mana yang ingin dijadikan acuan. Seperti kata Livi, “asalkan ada uang membuat film di Amerika sangatlah mudah.” (di/dw)
Disclaimer: Artikel ini bersumber dari laman VOA Indonesia