Istilah skena sedang berseliweran di media sosial TikTok dan Instagram. Tidak hanya berisi penjelasan, namun konten yang ramai penonton juga menggambarkan sindiran kelompok tertentu hingga sekadar menjadi bahan lelucon. Namun, apa sebenernya arti skena? Simak pembahasan singkatnya!
Skena sendiri diambil dari Bahasa Inggris; Scene. Melansir dari subculturelist.com, istilah “Scene” pertama kali digunakan secara luas oleh jurnalis pada tahun 1940-an untuk mengkarakterisasi cara hidup marjinal dan bohemian dari orang-orang yang terkait dengan dunia jazz.
Lalu pada perkembangannya, jurnalis telah menerapkan istilah tersebut dengan lebih longgar ke berbagai situasi lain, seperti; scene puisi Venice West, scene beatnick East Village, hingga scene teater London. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya istilah ini merambah lebih luas lagi ke dunia musik, seperti punk scene, hip-hop scene, grunge scene, rock scene dan sebagainya.
Wacana jurnalistik ini tidak hanya berfungsi untuk mendeskripsikan musik, pakaian, dan perilaku yang sesuai dengan sebuah adegan, tetapi juga berfungsi sebagai sumber daya budaya bagi penggemar genre musik tertentu, yang memungkinkan mereka membentuk ekspresi kolektif dari identitas underground (bawah tanah) atau alternatif dan untuk mengidentifikasi kekhasan budaya mereka dari arus mainstream. Tapi memang, istilah scene di sini, kini lebih diindentifikasikan untuk ranah musik.
Skena di musik Indonesia
Jika dalam Bahasa (gaul) Indonesia, mengutip dari prambors.com, menyebutkan kalau skena merupakan singkatan dari tiga kata yaitu Sua, cengKErama, kelaNA. Bisa diartikan istilah skena dapat dipahami sebagai perkumpulan kolektif yang bisa menciptakan suasana untuk bercengkerama sampai berkelana bersama saat berkumpul. Ya, sama juga, sih, ya.
Tapi mengapa terdengar begitu distinctive atau terkhusus sekali? Karena berkaitan dengan hadirnya indie music, atau musik indi. Musik independen adalah musik yang diproduksi secara independen dari label rekaman komersial atau anak perusahaannya; ini mungkin termasuk pendekatan otonom dan do-it-yourself untuk merekam dan menerbitkan.
Kebebasan berkarya di produksi musik ini, turut menciptakan kultur sendiri—yang kembali lagi ke penjelasan awal; adanya ekspresi kolektif dari identitas musik underground atau alternatif, dan untuk mengidentifikasi kekhasan budaya mereka dari arus mainstream.
Jadi apakah mereka yang berada di jalur ini menjadi Si Paling Keren?
Pada akhirnya, siapapun berhak menyukai musik sesuai selera masing-masing tanpa harus menghakimi. Lagi pula, bisa saja bukan, si pencinta Danilla ternyata juga ARMY sejati?